Kamis, 29 November 2012

BP Migas Bubar, Benarkah Rakyat Memperoleh Kemenangan?


BP Migas Bubar,
Benarkah Rakyat Memperoleh Kemenangan?
Jaya Nasti ; Direktur Operasi Energy Center Universitas Proklamasi’45 Yogyakarta
SINDO, 29 November 2012


Badan Pelaksana dan Pengendali Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) pada 13 November 2012 lalu telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan judicial review terhadap sejumlah pasal UU Nomor 22/2001 tentang Migas yang diajukan oleh ormas Islam Muhammadiyah bersama sejumlah ormas Islam lain serta sejumlah tokoh Islam dan politik dikabulkan MK. 

Sebagai konsekuensi dari keputusan MK tersebut, BP Migas dinyatakan harus bubar karena keberadaannya tidak sesuai dengan konstitusi. Din Syamsuddin, selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah,menyebut keputusan MK tersebut sebagai kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semangat yang mendasari gugatan terhadap UU Nomor 22/2001 tentang Migas adalah nasionalisme sempit, yaitu semangat antiasing. 

BP Migas dituduh telah menggerogoti kedaulatan Indonesia dengan menggadaikan ladang-ladang migas kepada pihak asing, sehingga 70% ladang migas telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing. BP Migas juga dituding bekerja tidak efisien sehingga produksi migas selalu turun,dan status Indonesia telah berubah dari eksportir menjadi importir, khususnya minyak bumi. 

Pada 1997, produksi minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sekarang hanya tinggal 900 ribu barel, sedangkan kebutuhan minyak nasional meningkat mencapai 1,4 juta barel, sehingga 500.000 barel harus diimpor. Karena itu, logikanya, jika peranan asing dikurangi atau dihapus sama sekali, perolehan pemasukan bagi kas negara akan meningkat tajam. Hasilnya, kemakmuran bagi seluruh rakyat akan dapat dipercepat. 

Tuduhan bahwa BP Migas telah menggerogoti kedaulatan Indonesia dengan menggadaikan ladang-ladang migas kepada pihak asing sebenarnya ahistoris karena tidak sesuai fakta sejarah.Sejak ditemukannya ladang minyak pertama di Indonesia, pengelolanya adalah perusahaan asing.Pada saat BP Migas dibentuk pada 2002, sebagai pelaksanaan dari amanat UU Nomor 22/2001 tentang Migas, perusahaan migas asing telah mengelola sebagian besar lapangan migas di Indonesia. 

BP Migas menerima warisan dari Pertamina berupa blok dan lapangan- lapangan minyak besar yang sudah dikelola oleh perusahaan asing seperti Chevron (d/h Caltex), ExxonMobil, PetroChina dan lain-lain. Pada 1997, misalnya, dari lapangan minyak di Dumai yang dikelola Caltex dihasilkan sekitar 2/3 produksi minyak nasional. Pada waktu BP Migas dibentuk pada tahun 2002, produksi sumur-sumur minyak yang ada sudah menunjukkan tren menurun, cadangan minyak di sumur-sumur yang ada sudah menipis, disebabkan terus-menerus disedot, padahal minyak merupakan bahan yang tidak bisa diperbarui.

Yang pertama dilakukan BP Migas adalah mengubah kontrak kerja sama dengan perusahaan migas yang dulunya menggunakan sistem kontrak karya menjadi kontrak bagi hasil yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, di mana pemerintah mendapatkan bagian 85% dari hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi. 

Selanjutnya, BP Migas berusaha agar laju penurunan produksi minyak dapat diperlambat, antara lain dengan cara melakukan eksplorasi lapangan- lapangan minyak baru. Penurunan laju produksi minyak dapat diperlambat, dan pada 2012, produksi minyak mentah bertahan pada 900.000 barel per hari. Karena itu,semua kesalahan yang dituduhkan kepada BP Migas tidak berdasarkan analisa fakta, yang tetapi tuduhantuduhan yang tidak berdasar olehparapengamatmigasselaku narasumber.

Keputusan MK juga dapat dilihat sebagai akibat dari kesalahan pemahaman dan kurangnya pengetahuan para hakim konstitusi tentang industri migas dan kiprah BP Migas dalam mengendalikan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Kemenangan ormas-ormas Islam yang menggugat UU Nomor 22/2001 tentang Migas, yang didasari semangat antiasing, jika dilaksanakan secara konsekuen,akan memunculkan masalah besar yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia. 

Yang terjadi adalah terhentinya seluruh kegiatan eksplorasi migas karena Indonesia tidak punya teknologi dan modal yang cukup untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Karenanya tidak ada sumur-sumur migas baru untuk mengganti produksi minyak yang semakin menurun dari sumur-sumur tua, yang cadangan migasnya sudah habis atau semakin tipis. Sebagai dampak lanjutan dari kondisi di atas, produksi migas nasional menurun tajam. 

Pemerintah terpaksa melakukan impor minyak lebih banyak lagi.APBN menjadi terkuras untuk membeli minyak dari luar negeri. Harga bahan bakar minyak akan meningkat tajam karena Pemerintah tidak mampu lagi memberikan subsidi. Kelangkaan BBM akan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Banyak pabrik tutup karena kelangkaan BBM dan harganya yang selangit, lalu terjadi pemutusan hubungan kerja di mana-mana. 

Skenario lain sama buruknya. Misalnya kegiatan eksplorasi migas diteruskan oleh BUMN dan swasta nasional, sedangkan kebutuhan dana investasi disediakan pemerintah yang dialokasikan dari APBN untuk menambah permodalan Pertamina. Karena dana yang dibutuhkan sangat besar, minimal 25% dari APBN harus dikuras, akibatnya terjadi perlambatan dalam pembangunan di segala bidang.

Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan, program jaminan sosial, dan program penghapusan kemiskinan. Itulah kado ormas-ormas Islam yang dipimpin Muhammadiyah kepada rakyat Indonesia, bukannya kemakmuran rakyat yang semakin dipercepat, tetapi kesengsaraan rakyat yang semakin bertambah dan meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar