Kamis, 29 November 2012

Demonstrasi Buruh dan Perjanjian Investasi


Demonstrasi Buruh dan Perjanjian Investasi
Joko Siswanto Peneliti Senior di Divisi Perbankan Internasional Bank Indonesia
KOMPAS, 28 November 2012


Rupanya demonstrasi buruh yang marak di sejumlah kota belakangan ini mulai menuai dampaknya. Kerugian akibat demonstrasi buruh yang lalu diklaim 20 miliar dollar AS, setara dengan Rp 190 triliun.

Lebih lanjut Apindo mengisyaratkan, sedikitnya 10 perusahaan akan merelokasi usahanya, yang berarti Indonesia akan kehilangan investasi 100 juta dollar AS. Seratus perusahaan dari 23 asosiasi juga mengancam melakukan aksi mogok produksi. Kondisi itu jelas memperburuk iklim investasi yang sedang dibangun pemerintah untuk mata investor asing.

Iklim Investasi

Ancaman mogok produksi sama seriusnya dengan tuntutan buruh. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal baru-baru ini mengatakan, investor asing tidak terlalu mempermasalahkan tuntutan buruh. Namun, mereka lebih mengkhawatirkan demonstrasi buruh yang anarkistis karena mengganggu produksi.

Adalah kewajiban pemerintah menjamin keamanan dan kepastian hukum, baik bagi pengusa- ha/investor maupun buruh. Jaminan keamanan dan kepastian hukum tak kalah penting dengan pembenahan infrastruktur dan peningkatan daya saing dalam memperbaiki iklim investasi. Salah satunya melalui perjanjian investasi bilateral (PIB).

Terdapat lebih dari 60 PIB yang dimiliki pemerintah dengan negara lain. PIB yang dikenal juga dengan Perjanjian Promosi dan Proteksi atas Penanaman Modal Asing (P4M) memuat kewajiban pemerintah dan hak investor asing terhadap jaminan keamanan dan kepastian hukum. Salah satu bentuk proteksi pemerintah adalah jaminan keamanan bagi investor asing dan investasinya dari kerugian yang ditimbulkan akibat demonstrasi buruh. Karena demonstrasi buruh, apalagi yang anarkistis, merugikan investor dan pada gilirannya juga merugikan buruh itu sendiri.

Dalam hal terjadi kerugian akibat demonstrasi buruh, investor asing memiliki hak memper- oleh kompensasi dari pemerintah karena pemerintah dianggap lalai memberikan jaminan keamanan. Meskipun belum ada contoh kasus gugatan investor asing kepada pemerintah terkait demonstrasi buruh, patut jadi perhatian bersama kemungkinan terjadinya pada masa datang.

Ruang investor asing untuk menggugat pemerintah dalam PIB sangat dimungkinkan. Hal itu tecermin, misalnya, dalam salah satu pasal dalam PIB yang berbunyi, ”Investments of investors of either Party shall at all times be acorded fair and equitable treatment and shall enjoy adequate protection and security in the territory of the other Party” (Pasal 2 Ayat 2 ”Promotion and Protection of Investments”, P4M RI-Korea Selatan, 1991).

Jika pemerintah lalai menjamin keamanan, pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada investor asing itu. Dalam P4M RI-Ceko (1998), misalnya, disebutkan, ”Investors of one Contracting Party whose investments in the territory of the other Contacting Party suffer losses owing to war, armed conflict, a state of national emergency, revolt, insurrection, riot or other similar events, shall be accorded ... compensation or other settlement....” (Pasal 5 Ayat 1 ”Compensation for Losses”).

Kedua contoh itu seyogianya menjadi wake-up call bagi pemerintah agar lebih serius melihat implikasi dari PIB atau P4M. Terlebih lagi perjanjian serupa juga terdapat di seluruh perjanjian perdagangan bebas yang dimiliki Indonesia, baik bilateral maupun regional (ASEAN).

Kritik terhadap PIB

PIB atau P4M sebagai salah satu upaya pemerintah menjaga iklim investasi tidak terbebas dari kritik. Pertama, menyangkut isu kesetaraan. Meskipun PIB bersifat resiprokal, posisi Indonesia sebagai negara pengimpor modal neto jelas tidak setara dengan negara mitra PIB sebagai pengekspor modal.

Kedua, investor asing dapat menggugat pemerintah. Meskipun PIB atau P4M adalah perjanjian antarpemerintah, investor swasta dapat menggugat pemerintah jika merasa dirugikan, termasuk ketiadaan jaminan keamanan. Suatu hal yang tidak dijumpai dalam perjanjian antarpemerintah. Sebagai contoh, di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), apabila pengusaha suatu negara dirugikan oleh kebijakan perdagangan negara lain, pemerintah asal pengusaha itu yang akan membawa gugatannya ke sebuah panel penyelesaian sengketa di WTO. Provisi investor-to-state dispute settlement mechanism dalam PIB menempatkan investor asing sejajar dengan pemerintah.

Ketiga, cakupan investasi itu sendiri. Dalam PIB boleh dibilang semua jenis investasi masuk dalam cakupan perjanjian, baik investasi langsung, portofolio, maupun investasi tidak langsung. Dengan demikian, semua jenis investasi itu wajib diproteksi oleh pemerintah. Implikasinya, pemerintah harus mencadangkan dana kontingensi yang sangat besar untuk menutup kompensasi atas kerugian investor. Suatu hal yang sangat membebani keuangan pemerintah di tengah keterbatasan pembiayaan pembangunan.

Ketiga kritik di atas hanyalah beberapa contoh untuk memberikan gambaran ketakseimbangan posisi Indonesia dalam setiap perjanjian investasi PIB. Sudah saatnya pemerintah meninjau kembali semua perjanjian internasional di bidang investasi yang berpotensi merugikan Indonesia.

Jangan sampai upaya pencitraan bagi jaminan keamanan dan proteksi hukum lainnya kepada investor asing justru berbalik membebani ekonomi kita sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar