Rabu, 28 November 2012

Di Balik Sikap Abraham Samad


Di Balik Sikap Abraham Samad
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
MEDIA INDONESIA, 27 November 2012
Bandingkan dengan tulisan Laode Ida di Jawa Pos 26 November 2012

   
KETUA KPK, Abraham Samad, tampaknya sedikit `keseleo lidah' ketika mengeluarkan pernyataan dalam acara dengar pendapat di depan Tim Pengawas Century DPR (20/11/2012) terkait dengan kelanjutan penyelidikan dan penyidikan skandal Bank Century. Sebagian anggota DPR berpendapat bahwa Wapres Boediono `harus diperiksa oleh KPK' karena (dalam posisinya waktu itu sebagai Gubernur BI) dianggap berperan besar dalam pemberian dana talangan Bank Century--yang merugikan uang negara triliunan rupiah, apalagi setelah dua pejabat bawahannya ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, Abraham Samad barangkali `tidak hendak bersetuju' dengan keinginan sebagian politikus Senayan itu sehingga harus mencari alasan subjektif-spontan dengan menyatakan presiden dan wapres tak mudah diperiksa KPK mengingat keduanya sebagai `warga negara istimewa'. Kontan saja, sikap putra Sulsel itu mendapat reaksi dan kritik dari banyak pihak, terutama dari para ahli dan praktisi hukum, karena pendapat itu dianggap sangat keliru sehingga Abraham melakukan klarifikasi atau meralatnya sendiri.

Setelah memperoleh reaksi itu, dan juga barangkali setelah memperoleh masukan dari internal KPK, sehari kemudian Abraham seakan berbalik `seratus delapan puluh derajat' dengan menegaskan, “KPK yakin Boediono terlibat kasus Century, dan karena memegang prinsip equality before the law, KPK bisa saja memeriksa Wapres Boediono.“ Kendati demikian, ia pun masih terkesan mau menghindar untuk bertindak segera memeriksanya, yang diindikasikan melalui pernyataannya bahwa proses itu bergantung pada hasil pemeriksaan dua tersangka pejabat BI.

Sudah cukupkah kita menerima klarifikasi Abraham Samad seperti itu? Kesadaran untuk menerima kritik atas suatu kekeliruan yang dilakukan, tentu kita semua mengapresiasi. Namun, sebagai pejabat publik, apalagi penegak hukum bidang pemberantasan korupsi, masih perlu kita refleksikan atau diskusikan lebih jauh tentang mengapa sikap itu dilakukan dan apa dampaknya lebih jauh dalam kaitan dengan tugas strategis KPK.

Kemungkinan pertama, terkait dengan penguasaan materi atau derajat kecermatan Abraham Samad mengenai posisi presiden/wapres dalam penegakan hukum. Barangkali ia tak mendalami betul pengertian dan makna dari konsep `kesejajaran setiap warga negara di hadapan hukum'. Itu artinya, kualitasnya sebagai ahli hukum belum terlalu tepat untuk mendapat posisi sebagai penentu kebijakan di bidang pemberantasan korupsi dalam negara yang menganut prinsip equality before the law itu.

Atau mungkin juga akibat tergesa-gesa sehingga tak berpikir dulu sebelum mengeluarkan pernyataan sikap di depan publik, karena beranggapan bahwa pikiran dan pendapatnya sebagai Ketua KPK akan selalu di anggap benar oleh setiap warga bangsa. Ia tak menyadari sudah demikian banyak warga bangsa ini yang sadar dan terdidik dalam bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Jika penjelasannya seperti itu memiliki unsur kebenaran, kita pun patut prihatin karena seharusnya sudah tak lagi menjadi polemik di kalangan ahli hukum, apalagi yang menjabat pemimpin lembaga negara penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi. Ketakpahaman terhadap, atau ketakcermatan dalam menelaah, suatu permasalahan akan berimplikasi fatal pada putusan hukum (vonis) yang diambil.

Kemungkinan kedua terkait dengan kematangan personalitas (personality maturity). Ia belum memiliki kecukupan pengalaman untuk menangani permasalahan korupsi dengan berbagai variasi latar belakang figur yang harus dihadapi atau ditanganinya secara langsung. Akibatnya, bukan mustahil, terdapat sedikit perasaan minder (inferiority complex) dalam menghadapi figur-figur nasional, utamanya yang memiliki jabatan dengan kekuasaannya yang besar.

Dalam konteks ini, anggapan bahwa presiden/wapres merupakan `warga negara istimewa' sehingga tak mudah diperiksa mungkin saja merupakan `ekspresi kengerian' terhadap figur pejabat papan teratas yang powerful. Setidaknya, barangkali dalam diri Abraham Samad sarat dengan keraguan, tak yakin mampu membawa Boediono (yang sekarang menjabat wapres) ke dalam proses penyidikan di KPK terkait dengan skandal Bank Century.

Itu artinya, jika KPK melakukan diskriminasi dalam pemberantasan korupsi, bukan karena tak paham tentang kewajiban untuk bertindak berdasarkan `kesamaan posisi warga negara di hadapan hukum', melainkan lebih sebagai akibat perasaan minder atau takut berhadapan dengan pejabat yang memiliki kekuasaan besar di negeri ini. Makanya, publik bangsa ini sudah dapat memahami lebih awal bahwa akan sangat sulit untuk menggiring figur-figur kunci yang berperan penting dalam proses dan kebijakan bailout Bank Century; hanya akan menjebloskan figur-figur pelaku suruhan (bawahan dari) pejabat penentu.

Implikasi lebih jauh dari sikap KPK seperti itu ialah akan sangat sulit menjalankan tugas secara profesional dan independen. Terlebih lagi berhadapan dengan para petinggi politik karena merekalah yang berjasa menjadikan pimpinan KPK terpilih. Jadi, jikapun politikus-politikus terlibat, amat mungkin mereka akan selalu `terselamatkan' oleh perasaan `berat hati' atau `balas budi'. Maka, sangatlah mudah dipahami jika sejumlah politikus petinggi parpol yang terindikasi terlibat korupsi dalam kasus Wisma Atlet, Hambalang, atau pun proyek dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID), misalnya, belum tersentuh. Selain itu, sangat lamban penanganannya hingga saat ini, mereka hanya menjebloskan oknum figur pembantu. Sementara yang dicurigai sebagai otak dan pemain utamanya masih terus bebas berkeliaran, termasuk berleha-leha di kursi jabatan, KPK terus menggunakan strategi buying time (mengulur waktu).

Ya, begitulah. Namanya juga manusia, apalagi kultur bangsa ini yang sarat didominasi rasa ketimbang rasio. Celakanya, kali ini tampaknya merasuki jiwa para penegak hukum di KPK. Padahal, mereka diberi mandat atau difasilitasi dengan uang rakyat untuk menjalankan amanah reformasi, membersihkan negeri ini dari pihak-pihak korup yang masih merajalela di berbagai lini dan level pemerintahan. Tidak sebaliknya, `melindungi koruptor'. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar