Senin, 26 November 2012

Etik Pemartabatan Guru


Etik Pemartabatan Guru
Muhdi ; Sekretaris Umum PGRI Provinsi Jateng, Rektor IKIP PGRI Semarang 
SUARA MERDEKA, 26 November 2012


BERDASARKAN Keppres 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru, yang menjadi dasar pertimbangan penetapan Hari Guru Nasional tiap tanggal 25 November adalah keyakinan pemerintah bahwa pelaksanaan pembangunan nasional, terutama pengembangan dan peningkatan kualitas SDM, sangat bergantung pada guru.

Untuk itu, pemerintah melalui Kemendikbud, Kemenag, dan PGRI pada tahun 2012 menetapkan pedoman Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT Ke-67 PGRI secara bersama-sama dengan tema ”Memacu Profesionalisasi Guru melalui Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik”.

Indonesia telah mereformasi dunia pendidikan, ditandai dengan pengundangan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) untuk mencapai pendidikan bermutu. Kebijakan ini selaras dengan visi negara kita menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada  2050, mengingat Indonesia memiliki bonus demografi.

Hal itu juga terkait dengan proporsi SDM usia produktif yang sangat besar dan berkualitas pada 2015-2035 sehingga aset tersebut bisa menjadi modal utama kemajuan bangsa. Tapi kondisi itu mensyaratkan SDM tersebut yang kini masih menjadi peserta didik di PAUD/ TK, SD/ MI, SMP/ MTs, SMA/ SMK, dan MAN/ MA mendapat pendidikan yang bermutu. 

Terkait dengan posisi guru, UU Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi keterwujudan penyelenggaraan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip profesionalitas guna memenuhi hak yang sama bagi tiap warga negara dalam memperoleh pendidikan bermutu. 

Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional juga mengemban fungsi untuk meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran demi meningkatkan mutu pendidikan. Saat ini jumlah guru PNS di bawah Kemendikbud tercatat 1.684.977 orang (PNS 1.549.211; PNS Depag 24.406; dan PNS DPK 133.326), guru tetap yayasan 314.355, guru tidak tetap 926.344 (guru bantu 15.584, guru honorer daerah 57.631, GTT 831.163, guru honorer sekolah negeri 21.966).

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pasal 8,9, dan 10 UUGD mensyaratkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik sekurang-kurangnya sarjana atau D-4. Adapun kompetensi menyangkut aspek pedagogik, kepribadian, sosial, dan keprofesionalan. Sertifikat pendidik diperoleh melalui pendidikan profesi dan portofolio/ pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). 

Regulasi menyangkut guru dan dosen tersebut secara tegas juga menyebut guru sebagai profesi, sebagaimana profesi yang lain. Ada banyak pengertian yang bisa membantu untuk memahami arti profesi, tapi untuk guru minimal harus mencakup empat kriteria, yakni memiliki tanggung jawab sosial atau mengabdi kepada nilai keutamaan; memiliki keahlian khusus atau pendidikan tertentu; berorganisasi profesi; dan memiliki kode etik.

Sebagai profesi, guru harus menjunjung tinggi nilai-nilai dan etika untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional. 

Untuk itu, guru harus menjadi anggota organisasi profesi. Terkait dengan penegakan kode etik, organisasi profesi guru membentuk dewan kehormatan dengan kepengurusan dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota; serta LKBH PGRI dengan struktur yang sama. 
Guru tidak perlu khawatir dengan kode etik itu, yang mengatur norma dan etika yang memang mengikat perilaku terkait pelaksanaan tugas keprofesionalan. Sejatinya, pengundangan kode etik itu justru untuk menjaga serta meningkatkan kehormatan dan martabat guru.

Rekomendasi Sanksi

Supaya sebagai profesi bisa menjaga kehormatan dan bermartabat, seorang guru harus mematuhi kode etik. Kode etik itu pun bersumber dari nilai-nilai agama, Pancasila, nilai-nilai empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial ,dan profesional), serta nilai-nilai jati diri, harkat, dan martabat manusia. 
Selain untuk menjaga martabat dan kehormatan guru, kode etik dapat mencegah praktik kesewenang-wenangan terhadap guru terkait tugas profesinya. Tapi kita tidak boleh menafsirkan bahwa hal itu berarti guru akan terbebas dari hukuman bila melakukan pelanggaran. 

Hal itu selaras dengan MoU yang ditandatangani Kapolri dan Ketua Umum PB PGRI. Transkrip kesepahaman itu, ”Perbuatan tindak pidana yang tak disengaja dan perbuatan yang rawan timbulnya tindak pidana berkaitan dengan profesi, proses penyelesaian hukumnya diutamakan melalui perdamaian dalam rangka menjaga kewibawaan guru di mata peserta didik, orang tua/wali, dan masyarakat, dengan tidak menyalahi dan tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan”. 

Artinya, guru yang melanggar kode etik lebih dulu akan ”diadili” oleh dewan kehormatan, dan guru tersebut bisa melakukan pembelaan diri dengan/ atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/ atau penasihat hukum, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. 

Dewan kehormatan akan merekomendasikan pemberian sanksi terhadap guru yang terbukti melanggar kode etik, kepada pimpinan organisasi tempat guru itu bekerja, sesuai dengan tingkatannya. Rekomendasi sanksi itu sejatinya merupakan upaya pembinaan kepada guru yang terbukti melanggar kode etik, tapi dengan tetap menjaga harkat dan martabat profesinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar