Senin, 26 November 2012

Geopolitik Indonesia


Geopolitik Indonesia
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne, Paris
KOMPAS, 26 November 2012


Kita pantas berusaha agar Negara-Bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat bisa sintas (survive) hingga tetap eksis sampai kiamat. Untuk itu, sudah sewajarnya kita terus-menerus memedulikan suasana damai dalam kehidupan bersama.

Perdamaian intern ini terwujud apabila kelompok-kelompok—daerah, suku, komunitas religius dan adat—merasa puas karena telah berkesempatan menghayati nilai-nilai, atau setelah ada kepastian bahwa penghayatan tersebut akan terlaksana, sedangkan kematian biologisnya tidak mengandung unsur bunuh diri kolektif yang terorganisasi, terpimpin, dan terpaksa. Namun, realisasi perdamaian intern saja tidak cukup. Bersamaan dengan itu kita harus pula mengukuhkan kesintasan dan kekuatan, dua sisi dari kebajikan nasional, yaitu kepastian eksistensi Negara-Bangsa Indonesia. Berarti kita perlu menyadari kondisi keberadaan Indonesia di bumi.

Negara Maritim
Permukaan bumi yang ditempati Indonesia dinamakan oleh geografi ”archipelago”, istilah yang menyatakan framentasi. Kita biasa menyebutnya ”gugusan pulau”, sebuah ekspresi yang, tanpa penjelasan, bisa keliru dan memang telah menyesatkan kebijakan pembangunan negara kita sejak zaman Orba hingga Orde Reformasi dewasa ini.

Gugusan pulau memberikan gambaran ”pulau-pulau yang dikelilingi air”, padahal sejatinya adalah ”perairan yang bertaburkan pulau-pulau”. Sebutan ”tanah air” oleh nenek moyang kita bagi bumi Indonesia, yang dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928, tepat sekali mengingat luas lautan merupakan 75 persen dari keseluruhan wilayah nasional kita. Jadi, Indonesia setepatnya bukan ”negara kepulauan”, tetapi ”negara maritim”.

Nenek moyang kita membuktikan sudah bersemangat dan berbudaya maritim. Sriwijaya di abad VIII adalah kerajaan maritim yang, dengan kekuatan armadanya yang tangguh, mendominasi perniagaan laut dan menjamin jalur-jalur pelayaran yang melintas di wilayah kekuasaannya. Majapahit di abad XIV, walaupun kehidupan utama rakyatnya berdasarkan pertanian di darat, membangun armada dagang dan armada perang demi menjamin keefektifan kekuasaannya.

Aceh abad XVI, semasa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Muka- mal, telah membentuk armada perang sebanyak seratus kapal. Di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, seorang perempuan, sebagian dari kapal-kapal itu berhasil menumpas armada Portugis, yang ketika itu tergolong adikuasa. Kita juga mengenal tokoh-tokoh legendaris kepahlawanan di laut dari kerajaan maritim di Riau: Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Kesturi.

Ketika Belanda akhirnya bisa menguasai Indonesia di abad XVIII melalui politik divide et impera, upaya mematikan jati diri kita sebagai bangsa maritim menjadi agenda kolonialnya yang utama. Penjajah ini membatasi akses kita—penduduk pribumi, inlander—untuk berhubungan dengan laut. Ia melarang kita berniaga dengan bangsa lain kecuali Belanda. Padahal, suatu peradaban bermula secara alami di daerah pesisir di mana penduduknya berkesempatan melakukan interaksi dengan pendatang asing.

Belanda juga menutup akses pemuda terpelajar kita ke pendidikan perang maritim modern. Hingga saat runtuhnya kerajaan Belanda oleh serbuan Nazi-Jerman tahun 1941, Akademi Angkatan Lautnya (Den Helder) tetap menolak kadet asal Indonesia, padahal Akademi Angkatan Daratnya (Breda) sudah lama bersedia menerima.

Membangkitkan Batang Terendam

Bung Karno yang gemar mendalami sejarah kiranya menghayati natur kemaritiman Indonesia. Dengan petunjuknya, PM Djuanda membuat Deklarasi Wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan mulai memperjuangkan di forum internasional asas ”archipelago Indonesia” bersendikan Konvensi PBB 1958 tentang batas landas kontinen melalui the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Di pembukaan Munas Maritim 1963 Bung Karno menegaskan lagi bahwa kita tidak bisa menjadi kuat, sentosa dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu. Dia menunjuk Ali Sadikin sebagai Menteri Koordinator Maritim dengan tugas membangun Laut Nusantara yang begitu luas sebagai pilar utama penggerak perekonomian nasional.

Baru di tahun 1982 UNCLOS mengakui kepemilikan laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi—sekitar 75 persen dari luas total wilayah nasional—yang terdiri atas wilayah teritorial seluas 3,2 juta kilometer persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 kilometer persegi. Walaupun ketentuan internasional sudah diratifikasi dan mulai berlaku tahun 1994, sekitar 70 persen ZEE Indonesia belum disepakati negara-negara tetangga. Persepakatan di meja perundingan sulit dicapai berhubung pemerintah kita sendiri kurang serius dan lawan berunding tahu persis Indonesia tidak memiliki kekuatan laut riil sebagai pendukung perundingan.

Ketidakseriusan pemerintah tecermin pada insiden Gugus Tempur Kapal Induk USS Carl Vinson Juli 2003 di perairan Bawean, lepasnya pulau-pulau terluar Sipadan dan Ligitan, pembiaran pengerukan pulau perbatasan bagi keperluan Singapura memperluas daratannya. Selain ini sejak rezim Orba, semua pemerintahan di era reformasi tetap bangga melaksanakan land based oriented development yang dipandu Bank Dunia dan IMF. Pemimpin kita ”dipangku” oleh ide ekonomi liberal hingga ”mati” kesadaran nasionalnya.

Benua Keenam

Bumi Indonesia ditakdirkan bernatur maritim. Mengingkari takdir ini berarti mengabaikan particular natural endowments yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada kita. Perairan ZEE kita saja sudah berpotensi menghasilkan kira-kira 6,7 juta ton ikan per tahun. Belum lagi laut nasional yang seluas 75 persen dari seluruh permukaan wilayah nasional. Dengan ini kita berarti dianugerahi sebagian penting dari laut dunia yang volumenya sebesar 18 kali dari tanah yang ada di permukaan air. Laut kini dijuluki ”benua keenam” karena mengandung aneka kekayaan, bahan baku industrial, yang terdapat di dalam air laut, terletak di dasar laut, dan terkandung di dalam tanah di bawah laut.

Di setiap satu kilometer kubik air laut, selain mengandung oksigen dan hidrogen, terdapat pula 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, satu ton titanium, uranium, perak dan emas. Di dasar laut ada bungkalan- bungkalan sebesar kentang yang mengandung mangan, besi, nikel, tembaga, kobalt, titanium, dan vanadium. Di dasar Samudra Pasifik sebelah selatan terdapat tumpukan gumpalan semacam ini sejumlah 200 miliar ton di samping bahan-bahan fosfor. Adapun bumi di bawah permukaan laut mengandung minyak dan gas.

Jadi, takdir tidak memojokkan kita. Di dalam bingkainya Indonesia sebenarnya punya banyak peluang menyempurnakan nasib ketahanan nasional yang mantap. Untuk tujuan wajar itu, selain harus berusaha menguasai aneka kemampuan teknologis, kita perlu pula menetapkan landasan politik kebumian yang kukuh dan relevan dengan perkembangan bangsa-bangsa di sekitar kita di kawasan Pasifik. Landasan politik ini merupakan satu keniscayaan bagi kemantapan dan konsistensi manajemen pemerintahan ke arah ketahanan nasional. Berarti, kita perlu mengaitkan geografi dengan politik atau merumuskan satu geopolitik Indonesia.

Ada dua unsur pokok yang ditawarkan oleh geografi kepada politik, yaitu ”ruang hidup”, yang ditentukan oleh keluasan serta karakter fisiknya dan ”posisi”, yang menempatkan ruang di bumi serta mengondisikan relasi-relasinya. Bobot dari kedua unsur itu bisa berbeda karena urgensi politiko-strategis kita kaitkan dengan ”dunia luar”, faktor-faktor eksternal: perkembangan/pergolakan di kawasan Pasifik. Area total dari kawasan ini adalah yang terluas dari semua area geografis di dunia. Namun, permukaan tanah (pulau) yang ada di situ tergolong yang terkecil, sementara yang terbesar di antaranya adalah tanah (pulau) Papua Barat dan Timur. Kawasan yang sangat terpecah-belah dalam term kebangsaan ini terdiri atas tiga daerah budaya: Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia.

Yang paling bergolak di kawasan Pasifik dan diperkirakan akan terus begitu di masa depan adalah daerah Laut China Selatan, suatu perairan bertaburkan beberapa kepulauan yang sudah diketahui kaya dengan sumber alam. Ada enam negara Pasifik yang kini mengklaim kedaulatan nasionalnya atas kepulauan kaya itu dan satu di antaranya China yang sudah berupa satu kekuatan laut. Mengingat laut ini juga menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, jadi berfungsi selaku jalur transportasi perdagangan antarkawasan—Eropa Barat dan Timur, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Timur—Amerika Serikat dan Rusia merasa berhak campur. Maka, bagian Pasifik ini berpotensi besar jadi semacam Mare Nostrum zaman dahulu.

Bila demikian, Papua dan Maluku serta perairannya masing-masing merupakan ruang hidup terdepan Indonesia yang paling rawan terhadap gejolak di Laut China Selatan sekaligus unsur konstitutif yang sangat menentukan derajat ketahanan nasional. Dalam imajinasi geopolitik Indonesia, Papua dan Maluku berperan bagi ”jantung” Tanah Air, sementara pusat massa air arsipel Indonesia dan kepulauan Sunda Besar dan Sunda Kecil yang tersebar di situ menjadi ”arteri”.

Dengan begitu, maksim geopolitik Indonesia berbunyi: siapa yang ”menguasai” jantung arsipel Indonesia akan menguasai arterinya dan siapa yang ”menguasai” arteri akan berdaulat atas keseluruhan Negara-Bangsa Indonesia. Maksim ini selanjutnya menjadi rujukan dalam penjabaran konsep geostrategi Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar