Rabu, 28 November 2012

Gurita Penjahat dalam Negara


Gurita Penjahat dalam Negara
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
SINDO, 28 November 2012


Jika kita mau jujur mengakui, negara ini sudah sah dikatakan sebagai tempat pemeliharaan dan perlindungan terhadap para penjahat. Betapa tidak? Tengok saja berbagai bentuk kejahatan terjadi secara berulang dengan pelaku yang silih berganti, sementara sumbernya dari elemen yang sama, yakni lembaga penyelenggara negara, partai politik, dan pebisnis. 

Parahnya, kepemimpinan yang kuat untuk memberantas penjahat tak pernah hadir, sehingga terasakan sepertinya sengaja dibiarkan untuk terus menggerogoti dan menggerus harta negara, termasuk di dalamnya melakukan perusakan sistematis dan massal terhadap moralitas rakyat dan generasi. Pernyataan seperti itu berangkat dari fakta lapangan yang secara telanjang pula ditonton atau dinikmati oleh masyarakat luas. 

Bahkan, baik para pelaku kejahatan maupun jejaring aktor (berikut lembaga) yang membentenginya, tak merasa malu lagi menunjukkan diri. Mereka seolah hendak menantang para pihak yang tak henti-hentinya bergerak melawan kejahatan dengan cara sendiri-sendiri, dengan berkata: “Hai para penggiat antikejahatan, meski Anda menuduh dan mengetahui kami berbuat jahat, kami tak peduli karena yang menentukan adalah proses hukum di mana oknum- oknumnya bisa diatur dengan kekuatan uang.” 

Memang selalu terbukti bahwa hukum berada di bawah kendali uang yang turut dimainkan oleh jaringan kekuasaan. Setidaknya terdapat empat jenis kejahatan besar yang kini merajalela, merusak bangsa. Korupsi dan mafia anggaran negara/daerah, narkoba, politik uang, dan penyedotan kekayaan alam. Keempat jenis kejahatan ini selalu melibatkan jajaran penyelenggara negara dalam barisan yang berperan, termasuk melindunginya. 

Artikel ini, karena keterbatasan ruang, hanya akan fokus pada perlindungan kejahatan terhadap praktik korupsi dan mafia anggaran, dan hanya sedikit menyinggung soal kejahatan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Korupsi dan mafia anggaran negara. Kejahatan ini sebenarnya menjadi lawan utama reformasi, karena memang gerakan mewujudkan era reformasi didorong secara kuat oleh kehendak kolektif warga bangsa untuk menggaruk dan membersihkan pemerintahan (penyelenggara negara) dari kotoran praktik korupsi.

Pada masa Soeharto— yang kemudian dikritik serta dijatuhkan karena,antara lain, dituduh korup itu—justru hanya terjadi di lingkar pusat dan jaringan kekuasaan secara terbatas. Sekarang malah terjadi sebaliknya, merebak dan merajalelanya praktik korupsi dan mafia anggaran di berbagai lini dan level pemerintahan; bahkan kecenderungannya terus direproduksi dari generasi ke generasi. 

Kesulitan dalam memberantas korupsi dan mafia anggaran adalah karena pelakunya melekat kuat di tubuh penyelenggara negara dan terkesan mendapat perlindungan dan atau saling berkonspirasi satu sama lain.Hal ini juga sama dengan pembiaran terhadap eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang secara sistematis dilakukan, bukan saja tanpa memperhitungkan hak generasi berikutnya, melainkan juga hak-hak masyarakat yang bersentuhan dengan SDA dimaksud sangat diabaikan, padahal diwajibkan dalam konstitusi untuk memberi bagian “... dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Yang terjadi sebaliknya, “SDA dikuasai oleh swasta dan dinikmati sebesar-besarnya untuk kesejahteraan pengusaha dan pejabat.” Ini artinya, konstitusi telah dilanggar dan dibiarkan oleh penyelenggara negara. Untung saja ada putusan MK terkait dengan judicial review UU Migas. Kondisi seperti itu terjadi akibat para pejabat birokrat bekerja sama pengusaha dan jajaran (lembaga) politik penentu utamanya dengan sebagian oknum anggota parlemen. 

Sementara petinggi eksekutif, Presiden RI, tidak memenuhinya janjinya untuk jadi panglima pemberantasan korupsi dan mafia anggaran. Lalu pihak parpol, jika jujur diakui, menjadikan penyalahgunaan anggaran negara sebagai bagian dari pemasukannya, sehingga pada tingkat tertentu memberi ruang besar pada para anggotanya (baik di eksekutif maupun parlemen) untuk leluasa “mencari dana partai”. 

Lalu bagaimana dengan pihak penegak hukum? Memang tiga lembaga (kejaksaan, kepolisian dan KPK) yang bertugas khusus memberantas korupsi dan mafia anggaran sudah juga bekerja menjalankan tugas. Tetapi, dua lembaga selain KPK sungguh tidak maksimal. Bahkan, kecuali di intern mereka juga selalu tercium aroma korupsi (seperti kasus korupsi simulator pengadaan SIM oleh POLRI), sudah jadi rahasia umum pula memanfaatkan kasus korupsi sebagai bagian dari “proyek basah” atau “ATM” yang setiap saat bisa ditarik uangnya. 

Padahal, kedua lembaga ini memiliki infrastruktur yang memadai baik di tingkat nasional mau di seluruh daerah di Indonesia. Sebenarnya infrastruktur itu akan sangat penting keberadaannya untuk memberantas korupsi yang merajalela dalam pemerintahan daerah otonom di era reformasi ini. Terlebih setelah putusan MK tidak perlu lagi izin presiden untuk memeriksa kepala daerah yang terlibat korupsi.

Artinya, tinggal diperlukan komitmen kuat dari jajaran kepolisian dan kejaksaan untuk bergerak memberantas korupsi. Dalam kaitan ini, Presiden SBY harusnya menggunakan tongkat komandonya untuk memastikan bahwa dua lembaga penegak hukum yang berada di bawah kendalinya itu bergerak menjalankan misi utama reformasi. 

Namun, sekali lagi, hingga kini Presiden SBY tak juga kunjung bertindak sebagai “panglima pemberantasan korupsi”, termasuk melakukan pembiaran terhadap praktik dan figur-figur pejabat yang terindikasi korup dalam parpol binaannya sendiri,padahal akan sangat-sangat mudah melakukannya. 

Soalnya,baik Presiden, jajaran lembaga pemberantas korupsi, parpol maupun pihak yang terindikasi terlibat, masing-masing berlindung dalam konsep “praduga tak bersalah”, “perlu bukti-bukti kuat”, dan sebagainya; padahal semua itu bisa disiasati secara canggih kerja sama antara oknum penegak hukum dan pelaku korupsi. Publik bangsa,sekarang ini, memang kemudian berharap pada KPK. 

Memang gerakan aktor-aktor di lembaga ini sangat gencar dan progresif. Namun ia juga memiliki kelemahan fundamental sehingga tak mungkin menjalankan tugasnya dengan baik. Ya, soal keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia, sehingga daya jangkaunya sangat terbatas. Hal ini karena memang desainnya hanya sekadar lembaga adhoc sambil memastikan pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap jajaran kejaksaan dan kepolisian untuk menjalankan tugasnya dengan baik. 

Dan, ternyata persoalan di KPK tak hanya sekedar itu, karena indikasi terakhir ini menunjukkan bahwa penuntasan kasus korupsi tak kunjung dilakukan yang dicurigai sebagai adanya tekanan politik, politik balas budi, dan bahkan mungkin ketakutan untuk bertindak tegas. 

Maka, lihat saja misalnya kasus Wisma Atlet, Hambalang, dan Century, KPK sangat ragu bertindak. Sebagian warga bangsa kemudian jadi skeptis. Bahkan Ketua KPK Abraham Samad sendiri menunjukkan sikap plin-plan terhadap posisi mantan Gubernur BI, Boediono, terkait dengan skandal bailout Bank Century.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar