Kamis, 29 November 2012

Guru dan Ancaman Intoleransi


Guru dan Ancaman Intoleransi
Ali Rif’an ; Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda
SUARA KARYA, 28 November 2012


Indonesia saat ini menghadapi masalah krusial dihadapkan pada masa depan toleransi yang sedang dalam keadaan bahaya. Sebab, bibit-bibit radikalisme yang dapat mematikan toleransi itu ternyata bisa juga bersemayam dalam diri seseorang yang kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yakni guru. Fakta ini bisa disaksikan dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) beberapa waktu lalu.
Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hasil survei itu menyebutkan bahwa responden, guru PAI, ada yang memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan. Bahwa dua bahkan mendekati tiga dari 10 responden menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu agama. Bahkan, beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan mengatasnamakan agama.
Fenomena ini tentu menjadi ikut mewarnai masa depan pendidikan sekaligus iklim toleransi di negeri ini. Sebab, apakah masih berlaku atau tidak, ada adagium yang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, jika gurunya saja bisa membenarkan aksi kekerasan dan tindakan intoleransi, bagaimana dengan muridnya.
Menurut Brenda Watson dalam Education and Belief (1987), salah satu sebab utama berkocolnya bibit radikalisme kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru. Sang guru dalam memahami agama terlalu rigit dan tekstual sehingga agama hanya mampu dicerna dari simbolnya saja, sementera substansi agama terabaikan, kalau tidak mau dibilang tercerabut. Hal itu ditambah dengan kurangnya wawasan kebangsaan dan toleransi yang dimiliki oleh guru.
Karena itu, sudah saatnya pada momentum hari guru yang jatuh pada hari Senin lalu ada semacam refleksi bersama ihwal "karakter" keberagamaan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan kata lain, para guru khususnya guru agama dalam mengajarkan materi-materi keagamaan harus memiliki bekal wawasan kebangsaan dan kemajemukan.
Guru harus memahami bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk individual dan komunal, suka hidup bersama, mengelompokkan diri, saling membutuhkan, saling berelasi, dan saling mempengaruhi. Sentimen agama dan kelompok secara berlebihan hanya akan menimbulkan kehidupan kian retak. Dalam hal ini, Karen Armstrong (2000) pernah mengatakan bahwa fanatisme agama secara membabi buta bisa mendatangkan tindakan-tindakan intoleransi.
Sebab, kemajemukan, termasuk dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Konsekuensi dari kemajemukan itu tentu saja kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan mengusahakan kerukunan dan toleransi. Masyarakat atau umat beragama yang menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi pada dasarnya menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Mereka lupa bahwa kerukunan dan toleransi merupakan kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal, yakni tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan.
Karena itu, perlu juga bagi seorang guru belajar tentang arti pentingnya multikulturalisme sebagai modal memperkuat wawasan kebangsaan. Sebab dalam spirit multikultural mengandung beragam prinsip penting, pertama, prinsip universalitas, yakni sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity). Kedua, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan disamping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang seyogyanya mampu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa.
Spirit inilah yang nantinya akan menggiring watak guru menjadi inklusif, terbuka oleh kritik dan masukan. Guru sebagai suluh peradan tentu mutlak memegang prinsip seperti itu. Sebab maju-mundurnya suatu bangsa tak lepas dari peran seorang guru. Guru perannya sangat sentral dalam posisinya di dunia pendidikan, bahkan kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, posisi guru juga sangat strategis dalam menanamkan watak dan karakter terhadap anak didik. Ketika guru telah membenarkan tindakan anarkisme, hal itu akan terus dingat oleh sang murid sampai ia besar kelak. Inilah yang dapat dianggap berbahaya.
Karena itu, spirit multikultural sekaligus watak toleransi harus dimiliki oleh seorang guru secara substansial. Para guru (juga) bisa belajar dari ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Banyak orang yang kagum dengan cara berfikir para cendekiawan muslim ini. Abu Hanifah, misalnya, dalam hidupnya selalu berusaha menghilangkan fanatisme terhadap sebuah pendapat. Ia selalu membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya.
Ia pernah berkata, "Ucapan kami ini adalah pendapat kami, menurut kami ini benar, bila ada seseorang memiliki pendapat yang lebih baik dan lebih benar, maka pendapat itulah yang berhak diambil."
Begitu pula dengan Imam Syafi'i. Ia adalah sosok yang meletakkan konsep penting tentang berdialog, menghindari fanatisme dan tidak mudah mencela pendapat orang lain. Imam Syafi'i pernah berkata, "Pendapat kami benar adanya, tapi memungkinkan adanya kesalahan, pendapat dari orang selain kami salah adanya tapi memungkinkan adanya kebenaran."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar