Selasa, 27 November 2012

Hasrat Korupsi


Hasrat Korupsi
Fredy Wansyah Putra ; Alumnus Unpad, Siswa SC STF Driyarkara
SUARA KARYA, 27 November 2012


Bangsa Indonesia tampaknya menaruh harapan besar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat semakin tingginya skandal-skandal korupsi di Tanah Air. Setelah kasus Century, muncul kasus Hambalang dan kemudian kasus simulator SIM. Terkait ketiga kasus ini, hingga kini masih belum jelas tindak lanjutnya. Belum lagi, skandal-skandal lainnya yang diduga melibatkan para anggota dewan yang terhormat. Hal ini menandakan bahwa penanganan kasus-kasus korupsi di Tanah Air oleh lembaga independen khusus kasus korupsi, belum efektif.
Jauh sebelum KPK ditetapkan, yang dibentuk berdasarkan UU RI No 30 Tahun 2002, lembaga-lembaga serupa telah didirikan. Di era Orde Lama, melalui kepemimpinan AH Nasution, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Selanjutnya, pada 1963, melalui Kepres No 275, muncul 'Operasi Budhi' dengan pimpinan masih AH Nasution. Menimbang efektivitas kinerja Paran, Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kotrar) pun didirikan, yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno.
Sedangkan di era Orde Baru, ada Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Operasi Tertib (Opstib). Pada era reformasi, ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), yang menjadi cikal bakal KPK se-karang. Namun, karena afektivitas, lembaga-lembaga sebelum KPK 'gulung tikar'.
Memang, patut diapresiasi kerja-kerja KPK selama ini hingga menetapkan beberapa orang sebagai tersangka dalam beberapa megaskandal. Namun, terlalu naif apabila bangsa ini menaruh harapan setinggi-tingginya kepada KPK untuk membersihkan bangsa dari perbuatan korupsi. Skandal korupsi bukan semata perbuatan instansi (pemerintah), sehingga penangannya pun bukan cuma sebatas penanganan instansi. Korupsi dilakukan oleh manusia: manusia berhasrat tinggi. Perbaikan bangsa dari perbuatan korupsi seharusnya dibentuk penanganan antikorupsi yang menyinggung kepribadian dan kesadaran manusia.
Persoalan korupsi bukan sekadar persoalan institusi, tatakelola negara (good government), masyarakat, dan individu semata. Lebih kompleks dari itu. Perbuatan korupsi oleh seseorang maupun berkelompok (berjamaah) bermula dari keinginan seseorang (hasrat) untuk memenuhi apa yang dianggapnya sebagai kebutuhan. Karena keinginan itu sifatnya tiada batas, kebutuhan pun seakan-akan dilebih-lebihkan, keluar batas dari kebutuhan dasar diri. Dengan cara pikir bebas, seseorang pun bersiasat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Apabila siasat terlalu rumit, maka berkelompok merupakan cara yang dapat ditempuh. Sederhananya, korupsi yang dilakukan seseorang itu terkait suatu lembaga, kelompok, dan individu.
Secara individu, hasrat itu penggerak dari segala perbuatan manusia, termasuk untuk berbuat korup. Hasrat di dalam diri koruptor terlalu berlebih. Hasrat untuk membeli mobil mewah, rumah mewah, menghias tubuh dengan pernak-pernik ternama mampu menggerakkan semangat seseorang untuk bekerja (ekstra) untuk pemenuhan hasratnya. Hasrat memenuhi libido mampu menggerakkan seseorang untuk menarik lawan jenis hingga pemenuhan hasratnya tercapai. Hasrat mampu mengarahkan individu untuk berbuat apa pun agar keinginannya terpenuhi. Tingginya hasrat di dalam koruptor itulah mampu menggerakkan diri melewati batas-batas etis, korupsi.
Salah satu sifat dasar manusia ialah hasrat tersebut. Hasrat dapat menjadi buas apabila kondisi lingkungan (budaya-masyarakat) mendukung, termasuk bagaimana cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, secara historis sehingga berpengaruh terhadap karakter manusianya.
Di dalam mythem keagamaan, misalnya, selain mythem-mythem (klasik) Nusantara lainnya, ada kisah Adam memakan buah kuldi. Mythem ini berkembang hingga berpotensi membentuk karakter individu yang menyerupai Adam, yang 'bekerja' di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di sisi lain, kisah yang diciptakan sebagai pembelajaran etika itu menunjukkan bahwa laki-laki cenderung berperilaku korup atas sikap yang tak terkendali, seperti Adam yang telah dilarang memakan buah kuldi tetapi tetap memakan buah kuldi itu. Adam memiliki hasrat (dorongan atau will) yang jauh memuncak ketika melihat objek yang menstimulus hasrat tersebut. Kontestasi pemenuhan hasrat di dalam kehidupan bermasyarakat zaman kapitalisme ini, seseorang berebut memiliki mobil mewah atau barang-barang mewah lainnya. Seakan-akan kebutuhan, barang-barang mewah jadi stimulan agar hasrat semakin tinggi.
Jauh sebelum zaman kapitalisme merebak, seseorang berebut memiliki batas-batas tanah. Di dalam se-jarah kenegaraan yang dipimpin oleh raja, seperti Majapahit dan Mataram, yang dikenal akibat perbuatan korup yang dilakukan petinggi-petinggi kerajaan, menunjukkan bahwa kontestasi hasrat memunculkan potensi-potensi ke-curangan atau perbuatan tidak etis di dalam kehidupan bernegara yang menyebabkan kerugian besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Pada intinya, kontestasi pemenuhan hasrat terus akan berlanjut.
Perlu langkah solutif sampai ke akar (radic) untuk meminimlisasi perbuatan korup sebelum mencapai fase cita-cita menjadi negara yang bebas korupsi. Lang-kah penyadaran antikorupsi dan karakter antikorupsi perlu dicanangkan kepada siswa-siswi. Langkah ini diambil guna memasyara-katkan antikorupsi, sebagai masyarakat calon penerus bangsa.
Di sisi lain, bagi masya-rakat remaja yang sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada bangsa, diperlukan medium pendidikan ideologis yang efektif untuk membina bibit-bibit unggul calon pemimpin negara. Dalam hal ini partai, misalnya, sebagai 'distributor' orang-orang yang duduk di kursi amanah rakyat, diharapkan mampu mengemban tugas tersebut. Sejak fase remaja kader-kader partai dibina hingga menyentuh pembinaan hasrat pribadi, selain pembinaan ideologis sesuai ideologi yang diusung partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar