Rabu, 28 November 2012

Hilangnya Hakikat Politik


Hilangnya Hakikat Politik
Agus Sudibyo ; Alumnus STF Driyarkara Jakarta
KORAN TEMPO, 27 November 2012


Pada titik ini, keberanian Dahlan Iskan memantik kontroversi tentang adanya anggota DPR pemeras sejumlah BUMN, juga keberanian Dipo Alam melaporkan beberapa kementerian ke KPK, menemukan signifikansinya. Tanpa mengesampingkan kemungkinan motif pribadi, kedua tokoh ini mengingatkan akan krisis hakikat politik.
Apakah politik itu? Bagaimana politik bekerja? Pertanyaan ini perlu direnungkan kembali saat ini, ketika kita berada di tengah-tengah banalitas praktek dan pemahaman politik yang sesungguhnya telah jauh menyimpang dari hakikat asalinya. Ketika bicara tentang politik, apakah yang ada di benak banyak orang? Hampir pasti adalah gambaran tentang bagaimana pergulatan para politikus dalam memenangi pemilu, memperebutkan jabatan-jabatan strategis, serta menguasai sumber-sumber daya publik.
Politik telanjur dipahami dalam kategori penguasaan dan dominasi atas berbagai domain publik, dan para politikus sedemikian identik dengan tindakan instrumentalistik untuk mengeksploitasi peraturan, prosedur, dan kedudukan guna mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Yang disebut politikus di Indonesia hari ini kurang-lebih mendekati deskripsi Max Weber tentang orang-orang yang menghidupi dirinya dari politik, dan bukan sebaliknya, orang-orang yang menghidupi politik dengan sumbangsih tenaga, pikiran, dan kearifan dirinya.
Persoalannya kemudian, apakah kita memandang politik yang sudah sedemikian jamak dipraktekkan dalam kategori penguasaan dan eksploitasi itu sebagai sesuatu yang normal atau abnormal? Apakah politik yang dipenuhi dengan ambisi pengejaran kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran diri diterima begitu saja sebagai kelaziman atau sebaliknya dilihat sebagai penyimpangan yang harus dilawan? 
Pada titik ini, keberanian Dahlan Iskan memantik kontroversi tentang adanya anggota DPR pemeras sejumlah BUMN, juga keberanian Dipo Alam melaporkan beberapa kementerian ke KPK, menemukan signifikansinya. Tanpa mengesampingkan kemungkinan motif pribadi, kedua tokoh ini mengingatkan akan krisis hakikat politik, yakni ketika proses pengambilan kebijakan, pengelolaan sumber daya publik, dan penyelenggaraan pemerintahan terus-menerus menjadi ajang penjarahan dan pengisapan kekayaan publik. Ketika para pemimpin tiada henti mengedepankan motif-motif privat saat bertindak dan memutuskan atas nama orang banyak. Jika terus dibiarkan, krisis ini tak pelak lagi akan membawa Indonesia ke dalam kebangkrutan moral-ekonomi-politik yang tak terperikan.
Hakikat politik seperti apakah yang dimaksudkan di sini? Filsuf republikan seperti Aristoteles atau Hannah Arendt sangat menekankan pemisahan antara yang publik dan yang privat ketika berbicara tentang politik. Menurut mereka, politik terjadi ketika warga negara memasuki ruang publik guna bertindak secara bersama-sama untuk kepentingan bersama, dengan mengesampingkan segala bentuk kepentingan pribadi. Politik hakiki sangat menekankan pentingnya pengendalian atau pengendapan hasrat pribadi ketika seseorang menduduki posisi publik tertentu. Tindakan pengejaran kepentingan pribadi atau kelompok yang lazim ditemukan dalam relasi-relasi kekuasaan dengan sendirinya ditempatkan dalam kategori tindakan privat, bahkan tindakan anti-politik. 
Politik yang hakiki pertama-tama bukanlah persoalan bagaimana memerintah dan mengendalikan orang lain, tapi bagaimana membantu orang lain agar mampu bertindak otentik dan bersikap kritis terhadap keadaan. Politik harus mendorong warga masyarakat mengekspresikan dirinya secara aktif, kreatif, tanpa tekanan di dalam ruang sosial yang pluralistik. Politik lebih dijelaskan dalam konteks partisipasi dan solidaritas, bukan dalam konteks penguasaan dan kontrol.
Politik hakiki ini memang sangat kontras dengan politik yang sehari-hari kita saksikan di negeri ini. Membayangkan perwujudan politik hakiki itu mungkin akan terlihat sebagai fantasi yang tidak realistis. Fantasi tentang sesuatu yang luhur dan mulia, di tengah-tengah realitas yang telah demikian bengkok dan jorok. Namun jangan-jangan kemauan untuk berfantasi itu titik-pijak yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan yang lebih akut dalam kehidupan bernegara kita. Perlu digarisbawahi, pembusukan politik di negeri ini bukan hanya disebabkan oleh perilaku eksploitatif-egoistis para pemimpin politik, tapi juga karena apatisme dan frustrasi terhadap realitas penyelenggaraan kekuasaan yang membuat masyarakat lupa akan politik yang hakiki.
Sekadar contoh, bukan hanya para politikus yang berpikir transaksional, tapi juga masyarakat. Alih-alih melawan politik uang, masyarakat belakangan bahkan tanpa malu-malu menerimanya sebagai kelaziman. Bicara tentang pemilu di mata banyak masyarakat kita sama halnya dengan berbicara tentang pembagian uang, sembako, bahan bangunan, pakaian gratis dari calon pemimpin. Masyarakat tak berpikir panjang bahwa pembagian "gula-gula" itu pada saatnya nanti dapat berdampak buruk terhadap hak-hak politik dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Masyarakat juga terjangkiti problem ingatan yang pendek. Ada banyak politikus atau pejabat bermasalah yang mereka pilih atau mereka biarkan kembali menduduki jabatan-jabatan strategis. Apatisme atau politik transaksional jelas berbicara di sini. 
Masyarakat seperti kehilangan kemampuan untuk berpikir dan mempertanyakan, sehingga pada akhirnya menerima keadaan politik yang demikian bengkok itu tanpa sikap kritis. Inilah yang digambarkan Arendt sebagai masyarakat yang mengalami kegersangan hidup (the desert of live). Masyarakat yang kehilangan kemampuan untuk menilai secara rasional-kritis, untuk menginderai ketidakberesan di sekitarnya, dan akhirnya larut dalam ketidakberesan itu tanpa merasa risih sama sekali. 
Pendek kata, krisis hakikat politik bukan hanya terjadi pada tataran tindakan politikus dan partai politik, tapi juga pada tataran kesadaran atau persepsi masyarakat tentang bagaimana seharusnya politik dijalankan. Krisis yang kedua ini pertama-tama harus diatasi karena dampaknya sangat serius: sikap permisif masyarakat terhadap segala penyimpangan dan pengkhianatan hakikat politik.
Bagaimana kita dapat membenahi perilaku korup-eksploitatif para pemimpin jika masyarakat telanjur mempersepsikan perilaku tersebut sebagai kelaziman dalam praktek kekuasaan? Bagaimana kita berharap munculnya Dahlan Iskan yang lain, yang berani mempersoalkan praktek kongkalikong anggaran publik, jika masyarakat tak lagi melihat praktek ini sebagai sesuatu yang perlu dilawan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar