Selasa, 27 November 2012

Kerumitan Pemakzulan


Kerumitan Pemakzulan
Agus Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum, Pengelola Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi pada Program Doktor dan Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
SUARA MERDEKA, 27 November 2012


PERKEMBANGAN pengusutan kasus bailout Bank Century kian menarik setelah KPK menetapkan status tersangka dua direktur Bank Indonesia, Budi Mulya dan Siti C Fadjriyah. Yang mengejutkan, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan Boediono (waktu itu sebbagai Gubernur BI) berperan dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Century tahun 2008.

Karena saat ini Boediono menjabat wapres, dan berarti pejabat negara maka KPK tak memiliki otoritas dalam penyelidikan dan penyidikan pidananya. UUD 1945 pascaamendemen menempatkan presiden dan wakil presiden sebagai warga negara istimewa.

Penanganan tindak pidana terhadap mereka tak bisa dilakukan lewat hukum pidana konvensional tapi harus ranah politik di DPR, MK, dan kemudian MPR yang biasa disebut impeachment (pemakzulan).

Di titik inilah, sejumlah anggota Tim Pengawas (Timwas) DPR Kasus Century mendorong DPR menggunakan mekanisme hak menyatakan pendapat (HMP) guna menuju proses pemakzulan. Mungkinkah bisa menerapkan impeachment terhadap Wapres Boediono atau Presiden SBY?

Dari sudut hukum administrasi negara, sesungguhnya Boediono bukanlah penanggung jawab utama kelahiran kebijakan bailout melainkan Presiden (waktu itu) SBY. Kedudukan wapres hanyalah membantu presiden sesuai Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945. Tugas dan fungsi gubernur BI dan menkeu yang memiliki otoritas luar biasa di bidang keuangan, tidak otomatis berdiri sendiri dan kedap dari intervensi presiden sesuai Pasal 23C dan 23D UUD 1945 serta UU tentang Keuangan.

Konstruksi UUD 1945 menegaskan bahwa kebijakan teknis keuangan negara ada di ranah presiden, bukan wapres, atau gubernur BI, yang saat itu dijabat Boediono. Terkait persoalan teknis keuangan, presiden mendelegasikan pada menkeu yang saat itu dijabat Sri Mulyani Indrawati, yang juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan (JPSK).  

Tapi bukan berarti presiden bisa lepas tangan atas segala kebijakan ketua KSSK. Bukankah ketua KSSK adalah menkeu yang juga pembantu presiden, sesuai bunyi Pasal 17 UUD 1945 dan bertanggung jawab kepada presiden?
Ketika Sri Mulyani bertindak selaku Ketua KSSK dalam bailout Century maka ia bertindak untuk dan atas nama Presiden SBY. Tidaklah tepat bila SBY tidak ikut serta dalam kebijakan ini. Ketika Presiden berdalih tidak tahu atau tidak mau tahu maka ia bisa dianggap melakukan perbuatan tercela.

Sesungguhnya isu pemakzulan dari DPR itu tidak selayaknya ditujukan kepada Wapres Boediono tapi kepada Presiden. Namun SBY pun tak perlu risau karena memang konstitusi mengatur model dan sistem kontrol DPR terhadap presiden (check and balance) yang berpuncak pada pemakzulan.  

SBY juga tak perlu galau karena proses menuju pemakzulan amat rigid diatur dalam UUD 1945 dan semata-mata dimaksudkana agar DPR tak mudah menjatuhkan presiden. Hukum acaranya pun sangat ketat dan seolah-olah berbelit-belit, sebagaimana diatur dalam Pasal 7b Ayat (3) misalnya, DPR perlu mendakwa melalui sidang paripurna yang dihadiri 2/ 3 anggota DPR yang menyatakan pendapat presiden diduga melakukan tindak pidana dan perbuatan tercela, barulah pimpinan DPR mengajukan kasus ini ke MK.

Martil Politik

Bila MK menyatakan dakwaan terbukti sah dan meyakinkan secara hukum proses itu pun belum selesai. Putusan MK harus kembali dibawa untuk diparipurnakan di DPR, dan baru diusulkan ke MPR yang juga harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggotas DPR, dan 2/3 di antaranya harus menyetujui usul pemakzulan.

Secara teknis komposisi koalisi partai pendukung SBY di DPR, yakni PD, Golkar, PKS, PKB, PAN, dan PPP telah menguasai 2/ 3 parlemen. Artinya jika parpol koalisi ini solid dan tidak bersedia hadir dalam rapat paripurna maka proses pemakzulan tak akan bisa dilanjutkan. Artinya, secara teoritik dan teknis yuridis tersedia proses penghentian presiden dan wakil presiden namun secara prosedural dan teknis politis amat mustahil dilakukan.

Melihat prosedur hukum acara yang cukup rumit, mudah diduga sebenarnya amat sulit meng-impeach Presiden SBY, sepanjang komposisi dukungan politik di DPR berupa koalisi antarpartai tidak pecah kongsi.

Pranata ketatanegaraan untuk pemakzulan yang amat rumit ini sesungguhnya demi mempertahankan masa jabatan presiden agar tetap 5 tahun (fix term) dan tidak mudah dijatuhkan.

Sepanjang putusan MK hanya sebagai dokumen hukum dan lebih menitikberatkan pada mekanisme politik di DPR dan MPR sesungguhnya pemakzulan terhadap SBY dan Boediono hanya ada dalam ranah teori dan pranata UUD 1945, karena hamoir tak mungkin terjadi dan hanya ”ilusi”.

Dengan kemustahilan pemakzulan, kasus bailout Century ini sepertinya hanya akan berputar-putar pada pelaku di luar ring SBY. Bahkan pelan tapi pasti kasus ini menguap seiring dengan berbagai isu politik menjelang Pemilu 2014. KPK hanya menjadi martil politik SBY dan politikus DPR untuk menarik-ulur kasus ini hingga hilang dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar