Selasa, 27 November 2012

Konstitusionalitas Investasi Perikanan


Konstitusionalitas Investasi Perikanan
M Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA; Penulis Buku Hak Asasi Nelayan
SINAR HARAPAN, 26 November 2012


Memasuki tahun keempat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 (2009-2014), kapasitas pemerintah mengelola sumber daya perikanan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat kian diragukan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo saat pencanangan Bulan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan mengeluhkan sulitnya mendorong investasi di sektor perikanan karena ketidakpastian bidang usaha ini (Kompas, 3/10).
Kenyataannya, investasi di sektor perikanan terus mengalami pertumbuhan. Laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, total investasi perikanan pada 2009 hanya sekitar Rp 70 miliar. Pada 2012, sampai kuartal kedua saja, investasi sudah mencapai Rp 233,4 miliar.

Bahkan, sejak 2010 hingga sekarang, 99 persen dari total investasi perikanan merupakan Penanaman Modal Asing (PMA). Semuanya cukuplah meyakinkan kita bahwa investasi di sektor perikanan memiliki "kepastian"—setidaknya bagi pelaku usaha asing.

Hanya saja, investasi tidak lagi dimaksudkan untuk sekadar mengumpulkan sumber kapital. Paling utama adalah untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Pada konteks ini, investasi perikanan benar-benar mengecewakan.

Buruknya Kualitas

Buruknya kualitas investasi perikanan ditandai dengan rendahnya daya saing produk perikanan Indonesia di luar negeri, serta merosotnya kualitas hidup nelayan dan buruh perikanan di dalam negeri.

Buktinya, meski kurun lima tahun terakhir Indonesia masuk urutan kelima besar produsen perikanan di dunia, Data Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO, 2010) menunjukkan pendapatan Indonesia dari ekspor ikan justru terbilang rendah dibanding negara-negara produsen ikan lainnya; yakni pada urutan ke-13. Jauh di bawah Thailand dan Vietnam, yang masing-masing urutan 3 dan 5.

Ini menjelaskan betapa industri perikanan kita belum mampu menghasilkan produk bernilai tambah dan masih bergantung pada ekspor ikan non-olahan; lalu berimbas pada rendahnya penyerapan tenaga kerja.

Sepanjang periode 2009-2011, di saat investasi perikanan meningkat 230 persen lebih, industri perikanan hanya mampu menyerap kurang dari 250.000 orang tenaga kerja (processing labour). Bahkan, untuk pemenuhan bahan bakunya, industri perikanan lebih mengandalkan impor ketimbang memberdayakan nelayan dan potensi lokal.

Semuanya bermuara pada tingginya angka kemiskinan di kampung-kampung nelayan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) mengutip data Badan Pusat Statistik menyebut 25,14 persen dari total penduduk miskin Indonesia berasal dari wilayah pesisir.

Berbasis Hak

Kesalahan dalam memahami tantangan investasi perikanan terkini menyebabkan hilangnya kesempatan negara mengoptimalkan perannya di laut.
Padahal, FAO dalam Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab (1995), telah menjabarkan tujuan utama pengelolaan sumber daya perikanan adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan, mengentaskan kemiskinan, serta menjamin keberlanjutan lingkungan untuk kepentingan generasi hari ini dan mendatang.

Karenanya, pemerintah perlu bergegas mengendalikan pertumbuhan volume ekspor ikan Indonesia. Termasuk, menghentikan ekspor ikan non-olahan. Harapannya, hak rakyat atas pangan perikanan yang berkualitas dapat tercukupi.
Apalagi, Pasal 25B Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan serta Pasal 34 Ayat (2) UU Pangan yang baru saja disahkan 18 Oktober silam, telah mengharuskan pemerintah untuk tidak mengekspor ikan ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan ikan domestik.

Tunjukkan pula bahwa hukum dapat berperan efektif di laut. Pemerintah dapat menindaklanjuti laporan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang menemukan 80 persen awak kapal ikan yang beroperasi di Laut Maluku bukan pelaut lokal, bahkan asing.

Jika dapat ditertibkan, hak rakyat (pemudi-pemuda) Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, baik di atas kapal maupun di dalam kegiatan pengolahan ikan, dapat terpenuhi.

Awalilah dengan membenahi perangkat perikanan rakyat di tingkat kampung. Pembenahan termasuk dalam rangka memastikan nelayan mendapatkan haknya atas informasi iklim dan wilayah penangkapan ikan secara berkesinambungan, haknya atas subsidi bahan bakar minyak, termasuk hak untuk mendapatkan akses pasar ikan yang menguntungkan lagi berkeadilan.

Semuanya dapat terselenggara jika dua tahun ke depan pemerintah bersedia menginvestasikan sumber dayanya untuk merevitalisasi peran dan fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersedia di hampir seluruh pesisir Indonesia.
Jangan pernah (lagi) lupa, konstitusi kita menjelaskan bahwa dalam tiap rupiah nilai investasi, ada hak keluarga nelayan untuk sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar