Selasa, 27 November 2012

KPK, Independensi Yes, Intervensi No


KPK, Independensi Yes, Intervensi No
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 27 November 2012


Dalam satu minggu ini, saya dua kali mengikuti acara terkait Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang pertama adalah saat mengikuti ujian tertutup disertasi Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM. Kedua adalah Konferensi Internasional “Principles for Anti-Corruption Agencies” yang diadakan oleh KPK kemarin dan hari ini (26–27 November 2012). 
Kamis lalu, dalam disertasinya, Zainal menyampaikan pentingnya prinsip independensi bagi Komisi Negara Independen dalam menjalankan tugasnya, utamanya bagi Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komnas HAM, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers. Sementara konferensi internasional yang diselenggarakan KPK, dan dihadiri 40 perwakilan berbagai negara, mendiskusikan dengan sangat serius prinsip independensi yang harus dimiliki setiap komisi antikorupsi. 

Komisi antikorupsi adalah salah satu lembaga independen yang berkembang sangat cepat di dunia. Pada tahun 1990, hanya ada 20 komisi antikorupsi di seluruh dunia, namun pada 2012—dalam rentang waktu 2012, telah ada hampir 150 komisi antikorupsi di seluruh dunia. Penambahan hampir 130 dalam rentang waktu 22 tahun tentunya menunjukkan bagaimana persoalan korupsi telah menjadi salah satu fokus utama dunia internasional. 

Diprediksi dalam beberapa waktu ke depan, kelahiran komisi antikorupsi masih akan terus hadir. Kesuksesan komisi antikorupsi di Hong Kong dalam memberantas korupsi menginspirasi banyak negara dunia. Kesadaran dunia dalam ikhtiar bersama memberantas korupsi salah satunya ditunjukkan pula dengan hadirnya Konvensi PBB untuk Antikorupsi. Namun, khusus terkait komisi antikorupsi, cerita dunia tidak hanya soal cerita sukses. 

Beberapa komisi antikorupsi juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tantangan itu biasanya hadir seiring dengan makin beratnya kasus korupsi yang ditangani komisi antikorupsi. Di beberapa negara, ancaman bagi tugas komisi antikorupsi hadir dalam beberapa bentuk misalnya pimpinannya diberhentikan, atau bahkan hingga dipenjarakan. Ada juga yang memanfaatkan komisi antikorupsi sebagai alat untuk menyerang dalam pertarungan politik. 

Karena itu, kesuksesan komisi antikorupsi ditentukan utamanya dengan dilaksanakannya prinsip independensi. Terkait persoalan independensi tersebut, Samuel de Jaegere, dalam artikelnya berjudul “Principles for Anti- Corruption Agencies: A Game Changer” pada Jindal Journal of Public Policy pada Agustus 2012, membandingkan dengan independensi komisi hak asasi manusia. 

Pada 1991, ada 24 komisi hak asasi manusia yang berkumpul dan menghasilkan “Paris Principles”, yang pada dasarnya mengatur independensi membutuhkan: kewenangan yang kuat; kewenangan itu diatur dalam konstitusi, atau paling tidak undang-undang; laporan kepada publik; beragam perwakilan yang duduk dalam komisi; pemilihan komisioner yang akuntabel, biasanya melibatkan parlemen; dukungan pendanaan yang cukup; kewenangan untuk melakukan investigasi; proses pemberhentian komisioner harus dipersulit, dan hanya untuk kesalahan yang serius, dengan melibatkan voting mayoritas di parlemen; dan hak imunitas dimiliki oleh anggota komisi hak asasi manusia. 

Tentu saja beberapa prinsip tersebut terkait dengan kebutuhan di bidang hak asasi manusia. Untuk bidang antikorupsi, Samuel mengadopsi “Paris Principles” namun menambahkan beberapa hal baru, yaitu kewenangan yang kuat dan jelas; mandat kewenangan itu diatur dalam undangundang dasar, atau minimal undang-undang; pemilihan pimpinan komisi dengan melibatkan parlemen; pemberhentian komisioner harus dipersulit, misalnya dengan syarat persetujuan dua pertiga voting di parlemen; imunitas dari persoalan hukum bagi pimpinan komisi; aturan pendelegasian kewenangan dalam hal pimpinan komisi lama tidak dapat menjalankan tugas; jaminan penghasilan yang memadai bagi komisioner dan stafnya; komisi terlibat dalam rekrutmen staf dan berwenang untuk memecat staf yang bermasalah; anggaran minimal USD1 per kapita populasi jumlah penduduk; jaminan anggaran tahunan; laporan berkala komisi kepada publik. 

Melihat masukan prinsip independensi tersebut, tentu kita melihat bagaimana kondisi KPK di Tanah Air. Saya akan menyampaikan beberapa poin saja terkait prinsip tersebut. Kewenangan KPK saat ini relatif memadai, dan sudah dikokohkan konstitusionalitasnya melalui pengujian UU KPK berulang kali di Mahkamah Konstitusi. 

Namun, ada baiknya jaminan keberadaan dan kewenangan KPK dinaikkan pada level UUD. Saya tahu, itu pula yang menjadi usulan amandemen UUD yang diajukan DPD. Jaminan KPK ada di konstitusi penting untuk mematahkan upaya pelemahan KPK, dan membantah bahwa KPK adalah lembaga ad hoc. Hal lain, tentu saja prinsip imunitas bagi pimpinan KPK. Hak ini tentu bukan ahistoris. 

Anggota DPR misalnya mendapatkan hak yang sama dalam hal berpendapat dalam menjalankan tugasnya. Hak demikian untuk menghindari pimpinan KPK mudah dikriminalisasi, sebagaimana terjadi pada kasus Chandra dan Bibit. Namun, tentu saja, imunitas demikian tidak menjadikan pimpinan KPK tidak dapat diproses hukum sebagaimana terjadi dalam kasus pembunuhan yang divonis dilakukan Antasari. 

Menarik juga untuk menguatkan prinsip jaminan anggaran dan proporsinya per kapita. Kita tentu masih ingat bagaimana pembangunan gedung KPK baru saja disetujui, setelah lama mendapatkan tanda bintang. Namun, saya mendengar, beberapa mata anggaran KPK yang lain tetap dibatasi, atau bahkan dikurangi, utamanya yang terkait dengan penindakan. Tentang kewenangan KPK untuk mengangkat dan memberhentikan sendiri stafnya juga menarik. 

Kemarin KPK Malaysia misalnya bercerita bagaimana stafnya sekarang lebih kurang 2.800 dan terus akan ditambah hingga mencapai target 5.000 pegawai. Sedangkan, sebaliknya, KPK pada akhir tahun ini terancam kekurangan penyidik karena yang dari kepolisian, kejaksaan dan beberapa instansi lain kemungkinan habis masa kerjanya. Tentu saja kekurangan penyidik demikian akan sangat memengaruhi kinerja KPK. 

Adapun proses rekrutmen penyidik internal KPK masih berlangsung, dan masih dipersoalkan dasar hukumnya. Dalam situasi demikian, tidak ada jalan lain, KPK memang harus tegar untuk menjaga independensinya yang terus akan menghadapi berbagai cobaan.Yang paling penting, independensi dapat pula berupa intervensi politik.

Apalagi menjelang Pemilu 2014, memanfaatkan tangan KPK untuk melakukan serangan politik, bisa jadi sangat efektif. Untuk KPK yang lebih kuat, untuk Indonesia yang lebih baik: independensi yes, intervensi no. Keep on fighting for the better Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar