Kamis, 29 November 2012

Masa Depan Demokrasi


Masa Depan Demokrasi
Muhammad Abu Nadlir ; Dosen Stebank Islam Mr Sjafruddin Prawiiranegara
Jakarta, Dan Peneliti The Fatwa Center
SUARA KARYA, 28 November 2012


Pembagian kekuasaan yang mewujud dalam trias politika (eksekutif, legislatif dan judikatif) agaknya memang menjamin ruang ekspresi dan partisipasi luas. Namun, jika melihat sinergisitas kerjasama antara tiga kekuatan demokrasi itu, kita harus berdis-kusi ulang.
Menurut Hariman Siregar, mantan aktivis mahasiswa 1973, ada dua tujuan utama demokrasi. Pertama, menggerakkan partisipasi luas kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam kepentingan publik. Bukan hanya dalam hal memilih, tetapi juga dipilih. Kedua, bagaimana menyelesaikan perkara tanpa kekerasan, termasuk dalam soal suksesi kepemimpinan (Jangan Bajak Demokrasi: 2008).
Dua tujuan tersebut mengungkapkan bahwa keterbukaan dan kebebasan demokrasi berpotensi luas membangun nuansa yang lebih humanis dan natural. Namun, ketika tidak ada kesadaran kolektif untuk membangun bersama, yang terjadi bukanlah sinergi, tapi saling menguasai. Bukan perjuangan meraih kesejahteraan, namun melanggengkan status quo. Disini, kebebasan bukan sebagai medan perjuangan, tapi bak panggung pertikaian, demi meloloskan misi kelompok dan pribadi.
Kecenderungan itulah yang saya lihat dalam pelaksanaan demokrasi. Tidak ada kesepakatan "pasti" antara eksekutif dengan legislatif. Bahkan, yudikatif ka-dang bertolak belakang dengan keduanya. Mereka saling mempertahankan ke-kuasaan. Visi kerakyatan hanya polesan belaka.
Dari sini, terjadilah fenomena yang oleh Ikrar Nusa Bakti disebut dengan ungovernable, yakni adanya pemerintah tanpa pemerintahan. Pemerintah, sebagai kekuatan eksekutif, tidak lagi memiliki wibawa di hadapan legislatif dan yudikatif. Mereka berjuang untuk kepentingan masing-masing, bukan untuk rakyat dan kepentingan bersama.
Selain itu, sebagaimana kata Novel Ali, dosen Politik Undip Semarang, terjadinya kesenjangan antara aktivis demokrasi dengan aktor demokrasi (sebut, praktisi) di masyarakat Indonesia, semakin meneguhkan asumsi bahwa demokrasi semakin sulit dicari efektivitasnya. Aktivis yang mengontrol kinerja demokrasi terhalang arogansi para praktisi demokrasi di eksekutif, legislatif dan judikatif.
Ada sementara pengamat yang berpandangan bahwa Indonesia berpotensi besar disebut sebagai negara yang gagal (failure state). Sebab kepatuhan sosial demokrasi yang ada hanya bersifat semu (pseudo-obedien), tidak hakiki. Sehingga, negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, karena disibukkan dengan perebutan pengaruh politik. Inilah ciri dari negara gagal sebagaimana disebutkan oleh penulis muda, Imam Cahyono.
Boleh saja optimis menatap masa depan demokrasi, namun tanpa disertai dengan penegakan visi misi demokrasi menuju kemajuan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bang- sa, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, kiranya hanya akan menambah legitimasi kegagalan pembangunan bangsa ini.
Karenanya, aktivis demokrasi yang tersebar di LSM dan juga ormas yang ada, perlu menyusun ulang strategi untuk mengontrol para praktisi demokrasi yang sekarang sedang bekerja di lapangan politik praktis, agar tujuan demokrasi tidak tergadaikan oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
Namun ironis, acap kali, para aktivis yang menjadi kekuatan konsolidasi demokrasi itu ditemukan tidak padu lagi dalam pergerakan. Mudah terbelah oleh problem yang sepele. Mereka terjebak dalam arogansi pribadi dan terkesan individualistik. Jika kondisi ini terus berlanjut, sulit ditemukan tokoh sekaliber Evo Morales dari Bolivia.
Masa depan demokrasi macam apa jika para aktivisnya juga demikian, apalagi dengan rakyat? Mereka semakin jauh dari sejahtera karena "pejuang" demokrasi mereka saling bertarung. Sementara, para pemimpin mereka, yang notabene adalah praktisi demokrasi, sibuk dengan perebutan pengaruh politik. Dikhawatirkan, jangan-jangan benar apa yang diprediksikan para pengamat itu, bahwa Indonesia calon negara gagal. Inilah ironisnya.
Kepada siapa lagi visi demokrasi dititipkan, sementara para aktivis dan praktisinya belum bekerjasama secara sinergis? Rakyat lelah menyaksikan pertikaian berlarut-larut. Mereka hanya menginginkan penyelesaian yang pasti. Tidak ingin ada lagi kekerasan "simbolik" dalam praktek-praktek demokrasi. Rakyat tidak ingin lagi dijadikan "perahu" demokrasi. Seolah-olah, dengan mengatasnamakan rakyat demokrasi sudah berjalan semestinya. Tidak. Yang dinginkan rakyat hanya hasilnya. Hingga berbusa pun mulut beretorika, namun manakala hasilnya tidak bisa dirasakan, rakyat akan tetap menuntut.
Karena tuntutan sosial yang kuat, pelaksanaan demokrasi suatu ketika akan diadili oleh rakyat. Meningkatnya angka golput dalam pertisipasi suksesi kepemimpinan misalnya, bisa jadi sebagai indikasi bahwa ternyata rakyat sudah muak dengan praktik-praktik demokrasi yang hanya mementingan kepentingan sesaat segelintir orang, bukan kepentingan bersama.
Demokrasi yang disinyalir sebagai gerbang menuju kemajuan, ternyata di Indonesia masih belum bisa dibuktikan. Bangsa ini masih kalah dengan progresivitas pembangunan Viet-nam yang pemimpinnya baru saja keluar dari semak-semak hutan karena penjajahan. Apalagi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura, negara ini semakin terlihat "kecil membuncit".
Maka, demokrasi akan menemukan efektivitasnya jika agenda revolusi menjadi pijakan utama. Sebagai-mana pernah dikatakan proklamator, Bung Karno, perlu disadari sepenuhnya bahwa konsep demokrasi belum menemukan bentuknya ideal di Indonesia. Prospek demokrasi ditentukan oleh bentuk serta tujuan revolusi selanjutnya. Tentu yang dimaksudkan adalah revolusi demokrasi berbasis kerakyatan. Karenanya, wujudkan dan kembalikan demokrasi kepada kerakyatan. Melayani, meng-abdi dan menyejahterakan rakyat, bukan pejabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar