Kamis, 29 November 2012

Menakar Kelas Menengah Kita


Menakar Kelas Menengah Kita
Faiz Manshur ; Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Bandung
SINAR HARAPAN, 28 November 2012


Gurita kelas menengah merajalela di beberapa negara. Negeri China merupakan pesona hebat, bahkan bisa disebut dahsyat karena sampai tahun 2011 mampu melahirkan golongan berpenghasilan antara US$ 2-10 dalam jumlah 300 juta orang dari total jumlah penduduk mereka yang mencapai 1,4 miliar. Indonesia dengan penduduk 237 juta, golongan berpenghasilan antara US$ 2-10 mencapai 45 juta jiwa.

Tak terlalu pelik untuk memperdebatkan fakta pertumbuhan ini. Seandainya kita tidak sepakat mereka yang berpenghasilan US$ 2 termasuk golongan menengah, kita ambil saja mereka yang berpenghasilan US$ 4 atau sekitar Rp 35.000 per hari sudah cukup baik.

Di atasnya lagi sudah banyak yang berpenghasilan Rp 60.000-80.000 per hari, bahkan sekarang teramat banyak karyawan di perusahaan kecil, yang berada di kota besar maupun kota kabupaten dengan penghasilan Rp 100.000 per hari.

Kelas menengah dalam pengertian hitungan seperti itu adalah mereka yang kebutuhan dasar ekonominya (utamanya rumah, pakaian dan makan) cukup, kemudian sisa belanja pokoknya beralih ke konsumsi sekunder, seperti televisi, motor, mobil, kulkas, laptop, ponsel, dan sejumlah kebutuhan mingguan seperti kongkow atau wisata bulanan.

Uniknya lagi, bisa jadi yang berpenghasilan Rp 100.000 sekalipun belum layak memiliki transportasi seperti mobil, tetapi mereka dipermudah oleh sistem kredit alias ngutang untuk lebih berani menjadi konsumtif.

“Pesolek”

Kelas menengah seperti itu sering dianggap kelas potensial. Tetapi, buruknya pola pikir para ekonom, terutama mereka yang berada di pemerintahan saat ini, hanya melihat sisi sebagai daya beli. Tak ada tafsir lebih lanjut untuk dimanfaatkan sebagai nilai potensial dalam hal sosial, budaya dan pencapaian derajat mutu hidup.

Akibatnya kelas menengah, yang maaf, kita sebut dengan sangat tepat sebagai OKB (orang kaya baru) itu benar-benar sejalan dengan gayanya yang serbapesolek, gemar narsis, hedonis, dan lagi-lagi maaf intelektualitasnya tak beranjak dari level sebelum mereka kaya.

Ekonomi meningkat tidak otomatis meningkat derajat intelektualnya. Ini karena sekalipun setiap hari kecanduan membaca berita, tidak semua bacaannya itu mampu meningkatkan mutu intelektualitasnya.

Ciri-ciri kelas menengah rapuh karakter kebanyakan terdiri dari para karyawan bergaji cukup, bahkan tinggi, yang kemudian boros belanja mengikuti tren, dan individualis. Mereka hanya kuat sebagai konsumen dan itu bisa dilakukan saat berada dalam ekonomi stabil. Saat kehilangan pekerjaan, mereka kehilangan eksistensi karena tak bisa konsumtif lagi.

Sementara itu, kelas menengah yang kuat adalah mereka yang tidak sekadar mengikuti gerak zaman, melainkan memanfaatkan peluang untuk kuat sebagai pemodal; yakni menciptakan kegiatan usaha untuk meraih keuntungan dengan mentalitas produktif. Mereka sadar bergaji tinggi hanya siklus dan sering melenakan masa depan yang penuh tantangan.

Memahami Siklus

Hal di atas penting dikemukakan mengingat doktrin ekonomi pertumbuhan tidak linier; tumbuh, berkembang, pesat melaju dan kuat. Pertumbuhan ekonomi dalam kacamata sejarah merupakan siklus yang bercorak grafikal atau bergerak “naik-turun”.

Bahkan, dalam kasus yang lebih mikro, bisa jadi pada sektor tertentu mereka sedang mengalami kerapuhan ekonomi karena bidang yang digelutinya keok oleh kompetisi.

Kelas menengah akibat pertumbuhan ekonomi tak selalu menghasilkan kelas borjuasi yang baik. Bahkan, dalam banyak hal, kemakmuran sering melenakan manusia. Sosiolog kenamaan dunia, Ibnu Khaldun, pernah mengatakan, kemakmuran sebuah masyarakat sering meruntuhkan sendi-sendi kehidupan manakala kurangnya kontrol dari sikap hidup berfoya-foya (hedonisme).

Memang, kita tak perlu apatis terhadap tren yang berkembang. Akan menjadi penyakit sosial manakala kita terlena sebagaimana refleksi Ibnu Khaldun.
Nikmatilah, tetapi bukan dengan sikap emosional happy-happy tanpa kontrol diri sampai-sampai semua perkakas rumah tangga dan perangkat gadget berceceran. Termasuk urusan wisata dan makan malam dengan biaya tinggi, sementara kebutuhan persiapan untuk mandiri dari gaji atau kesiapan berwirausaha dilupakan.

Harus diakui, kelas menengah kita masih tumbuh dari ladang perusahaan-perusahaan besar. Hanya sedikit yang lahir dari rahim kewirausahaan. Itulah mengapa sekalipun kelas menengah tumbuh pesat, pengangguran tak terkikis cepat.

Bahkan, jumlah wirausaha dari tahun ke tahun tetap dalam kisaran angka rendah. Beberapa minggu lalu, misalnya, Wapres Boediono menyebut jumlah wirausaha di Indonesia hanya 1,56 persen dari jumlah penduduk. Ini jelas keok dengan Malaysia (4 persen) Thailand (4,51 persen) dan Singapura (7,2 persen).

Kita mengikuti arus globalisasi, tapi harus dengan kesadaran yang kritis agar tak menjadi korban banjir tragis globalisasi. Petuah bijak, hidup ini bergerak seperti roda; kadang di atas, kadang di bawah.

Saat berada di atas, bukanlah masa kesempatan berhura-hura, melainkan mempersiapkan saat nanti berada di dalam posisi bawah. Saat di bawah kita perlu bekal bertahan dan itu modal ekonomi ialah tabungan. Modal sosialnya adalah intelektualitas (ilmu pengetahuan, keterampilan), dan satunya lagi ialah mentalitas tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar