Selasa, 27 November 2012

Menata Migas Indonesia


Menata Migas Indonesia
Maizar Rahman ; Mantan Gubernur OPEC
SUARA KARYA, 26 November 2012


Terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 dan 2012 tentang Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas dan adanya rencana revisi undang-undang itu oleh DPR merupakan awal yang baru lagi bagi masa depan industri minyak dan gas (migas) Indonesia.
Dalam menentukan dan menata arah migas kita yang akan datang, ada manfaatnya mengacu ke praktik pengelolaan migas di berbagai negara, terutama negara berkembang. Kata kunci mereka juga sama, yakni adanya kedaulatan negara atas sumber daya migas sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan kepada perusahaan migas nasional, dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor.
Badan usaha milik negara (BUMN) atau biasa disebut National Oil Company (NOC) dilimpahi tugas utama dalam pengusahaan. Bagi negara yang kuat pendanaannya seperti Arab Saudi, Kuwait, Iran, dan Meksiko, pihak asing hanya sebagai kontraktor pemberi jasa dalam pengoperasian kegiatan migas mereka. Dengan demikian, seluruh keuntungan masuk ke kas negara, termasuk keuntungan kenaikan harga minyak yang sangat besar sepuluh tahun terakhir ini.
Sementara itu, bagi negara-negara yang tidak memiliki cukup dana, seperti Nigeria, Aljazair, Libia, Venezuela, BUMN mengundang perusahaan minyak internasional atau IOC untuk bekerja.
Undang-undang migas di negara-negara lain juga berkembang dan mengalami revisi seperti halnya di Aljazair dan Brasil. Salah satu tujuannya adalah membebaskan NOC dari tugas regulasi sehingga dapat berfokus ke bisnis minyak. Aljazair mengubah undang-undang migasnya pada tahun 2005 dan 2006 dan membentuk badan baru ALNAFT, mirip BP Migas yang berkontrak dengan kontraktor. Brasil membentuk PPSA, BUMN yang sahamnya dimiliki 100 persen oleh negara. Perusahaan itulah yang melaksanakan kontrak dengan kontraktor. Namun, peran PPSA lebih berupa portofolio dan tidak terlibat dalam kegiatan operasional.
Dalam rencana revisi UU Migas Indonesia, berbagai masukan dan saran di masa pra dan pasca-UU Migas dalam berbagai seminar dan sidang-sidang DPR sebaiknya dipertimbangkan kembali. Kata kuncinya tetap sama, kedaulatan negara atas migas, sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan ke perusahaan nasional dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor. Kata kunci itu hendaknya tertuang dengan tegas dan jelas sehingga dalam implementasinya tidak ada keragu-raguan.
Misalnya, agar porsi BUMN menjadi mayoritas dalam kontrak-kontrak yang baru, prioritas pengelolaan wilayah-wilayah kerja pascakontrak ke pihak nasional, sistem pajak yang lebih sederhana, dihilangkannya regulasi tumpang tindih dan berbagai hambatan lainnya.
Satu hal lagi yang belum pernah dicantumkan adalah disisihkannya dana untuk menjaga keberlanjutan industri migas kita, yang sering disebut sebagai depletion premium. Analoginya, dari setiap panen 100 karung padi, sisihkanlah 10 karung untuk benih, pupuk, dan lainnya. Sepuluh persen diperlukan untuk mencari lapangan-lapangan minyak baru, ekspansi ke mancanegara, mengembangkan teknologi dan mendidik sumber daya manusia, agar kita betul-betul berdaulat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar