Jumat, 30 November 2012

Mencabut Grasi dari Hak Prerogatif


Mencabut Grasi dari Hak Prerogatif
Sulardi ; Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang
REPUBLIKA, 29 November 2012


Pada awalnya, tidak ada masalah dengan grasi, yang berupa pengampunan atau pengurangan hukuman oleh presiden. Justru, pada pemerintahan yang baik, keberadaan grasi merupakan suatu keharusan. Sebab, dengan adanya grasi, presiden dapat mengurangi atau membatalkan keputusan lembaga yudi- katif yang dirasakan terlampau berat bagi terpidana.

Sejauh ini, pemberian grasi dalam tataran ketatanegaraan dipahami sebagai hak prerogatif presiden. Sehingga, grasi yang sudah diberikan sudah tertutup kemungkinannya untuk dibatalkan secara hukum. Aturan mengenai grasi diatur Pasal 14 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Sesungguhnya, UUD 1945 tidak menganut konsep hak prerogatif. Karena itu, hak prerogatif mengenai pemberian grasi itu pantas dikritisi. Sebab, acap kali grasi bertolak belakang dengan konteks situasi bangsa dan negara Indonesia saat ini yang sedang memerangi korupsi dan narkoba. Pemberian grasi terhadap narapida korupsi dan narkoba dirasakan telah mencederai perasaan keadilan masyarakat Indonesia.

Pada masa jabatan Presiden SBY yang kedua ini, tercatat dua kali pemberian grasi terhadap narapidana kasus narkoba. Pertama, grasi yang diberikan kepada Corby, kedua, kepada Ola. Kedua pemberian grasi tersebut mendapat tanggapan beragam antara pro dan kontra, tak terlepas dari situasi negara ini yang sedang memerangi narkoba.

Keputusan Presiden SBY memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, sangat pantas disesalkan. Harapan Pemerintah Indonesia atas pemberian grasi terhadap Corby memberikan pesan kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan asal Indonesia, khususnya anak di bawah umur yang cukup banyak karena terlibat penyelundupan manusia. Namun, faktanya tidak jelas timbal balik apa yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.

Secara umum, ada dua jenis bentuk legal formal produk hukum yang sering dikeluarkan oleh presiden dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Pertama, dalam bentuk keputusan presiden (keppres). Keppres dalam perspektif hukum administrasi masuk dalam kategori beschikking. Kedua, dalam bentuk peraturan presiden (perpres). Jadi, pemberian grasi oleh presiden dilihat dari sisi hukumnya merupakan produk hukum dalam bentuk beschikking. Dalam hukum administrasi negara, untuk menguji suatu beschikking yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (termasuk presiden), yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pertanyaannya, bisakah kepres pemberian grasi diuji melalui PTUN? Dapatkah atas dasar hak prerogatif presiden menghilangkan hak warga negara untuk menguji keppres tersebut. Padahal, hak prerogatif presiden merupakan hak konstitusional presiden yang tidak dapat diganggu gugat.

Pemberian grasi terakhir yang mendapat perhatian cukup serius adalah pemberian grasi terhadap Meirika Franola (Ola). Grasi ini diduga banyak ke- janggalan dan terkesan dipaksakan. Pertama, terkait fakta persidangan dan pertimbangan hukum putusan hakim, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Ketiganya memiliki penilaian yang sama bahwa Ola merupakan bagian dari sindikat peredaran narkoba, bukan seperti yang disampaikan SBY bahwa Ola hanya seorang kurir.

Kedua, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, hukuman mati merupakan hukuman yang konstitusional. Dengan demikian, keputusan presiden menghilangkan hukuman mati untuk Ola tidak tepat lantaran hanya karena melihat tren di negara lain yang cenderung hukuman mati menurun.

Ketiga, dari sisi kemanusiaan dan keadilan atas jutaan korban dan calon korban narkoba serta keluarga yang ditinggalkan, seharusnya tidak diabaikan presiden hanya demi seorang Ola. Padahal, Mahkamah Agung juga telah menyatakan, alasan untuk memberikan grasi kepada Ola tidak cukup. Ola yang masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang belakangan diduga terlibat lagi dan bahkan mengotaki peredaran narkoba dengan jaringan dari luar negeri. Kasus ini tengah ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN).

Untuk menjaga agar kelak pada kemudian hari hak prerogatif presiden dalam bentuk pemberian grasi ini tidak menjadi mainan presiden dan para pembantunya maka ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut sudah saatnya dimaknai bukan sebagai hak prerogatif presiden. Aturan tersebut hanya sebatas hak konstitusional dengan dicabutnya grasi dari hak prerogatif presiden.

Maka, pada kemudian hari, jika presiden memberikan grasi yang melukai rasa keadilan masyarakat, terbuka peluang untuk meneliti kembali keputusan tentang grasi tersebut melalui hukum. Hasilnya, tidak tertutup kemungkinan berupa pembatalan grasi yang diberikan oleh presiden. Dengan demikian, ketika presiden membuat keputusan tentang grasi dapat diganggu gugat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar