Selasa, 27 November 2012

Mengkritisi Politik Dinasti


Mengkritisi Politik Dinasti
Saan Mustopa ; Wasekjen Partai Demokrat dan Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia
SINDO, 27 November 2012


Perbincangan tentang politik dinasti keluarga kembali mencuat ke permukaan. Perbincangan ini tidak hanya menjadi obrolan serius para politisi, pejabat pemerintahan pusat maupun daerah, aktivis partai politik; tetapi juga telah menjadi obrolan warung kopi masyarakat biasa. 

Hal ini tidak lepas dari beberapa suksesi politik di daerah yang diramaikan oleh fenomena banyaknya istri, anak, mertua, sanak saudara, yang menjadi kandidat calon bupati,wali kota, atau gubernur. Bahkan di beberapa daerah tertentu, politik dinasti keluarga seakan-akan mendapatkan legitimasi yang kuat dan menjadi inspirasi daerah lain ketika para keluarga incumbent (petahana) berhasil memenangi pertarungan pilkada. 

Peneliti senior LSI, Burhanuddin Muhtadi (http://fokus.news.viva.co.id), mengatakan bahwa kemenangan para keluarga incumbent ini sangat masuk akal. Mereka, kata Burhanudin, unggul karena beberapa alasan. Sah-sah saja semua anggota keluarga terjun dalam dunia politik. Semua warga negara memiliki hak asasi untuk mencalonkan dan dicalonkan. 

Semua warga negara dijamin secara hukum dan perundangundangan untuk memilih dan dipilih dalam setiap momentum politik pemilihan umum, baik pemilhan kepala desa, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden. Paling tidak ada beberapa catatan penting yang seyogianya perlu kita pertimbangkan ketika politik dinasti keluarga ini mendominasi dalam berbagai momen suksesi kepemimpinan. 

Pertama, mekanisme organisasi kepartaian harus tetap on the track dilakukan, sehingga tidak menimbulkan gejolak internal di kalangan para pengurus dan para kader partai politik ketika akan mengusung kandidat dari tokoh sanak saudara incumbent. Hal ini sematamata mesti dipahami dalam konteks bagaimana kita konsisten dan berkomitmen dalam melakukan kaderisasi. 

Kedua, siapa pun keluarga politik yang mempunyai trah politik keluarga yang mau tampil seyogianya dia adalah kader partai yang dibuktikan dengan keanggotaan dan keaktifannya di dalam membesarkan partai politik. Hal ini semata-mata dipahami agar institusi partai politik yang selama ini kita pahami sebagai institusi pencipta kader pemimpin benarbenar dihormati harkat, martabat, dan marwah politiknya. 

Ketiga, bahwa partai politik bukanlah semata-mata “kendaraan rental politik” yang setiap waktu dan setiap saat bisa “direntalkan” atas dasar motif ekonomi-politik. Kita harus merawat partai politik adalah institusi yang sah dalam melahirkan kader-kader kepemimpinan yang mumpuni. 

Keempat, kualitas dari trah dinasti politik harus teruji dan tepercaya, sehingga kualitas dan keberhasilan dalam konteks kepemimpinannya akan berakibat positif terhadap perkembangan dan kebesaran partai itu sendiri. Sebaliknya, jika kualitasnya banyak tidak dirasakan manfaatnya bagi rakyat itu sendiri, dipastikan yang terkena dampak negatif dari kualitas negatif kepemimpinannya akan berakibat negatif pula terhadap citra dan kondisi partai politik pengusungnya. 

Namun, penting untuk mengevaluasi dan mengeliminasi dampak negatif dari kecenderungan politik dinasti yang memanfaatkan tokoh incumbent hanya semata-mata untuk “menumpang” popularitas. Apalagi jika para sanak saudara yang mencalonkan diri dalam setiap momentum politik lagi-lagi adalah mereka yang tidak pernah menempa diri dan terjun langsung dalam dinamika partai politik. 

Padahal, seyogianya para kader-kader pemimpin yang akan kita tawarkan untuk dipilih masyarakat adalah mereka yang telah berjibaku menempa diri dengan aktif di ormas,partai politik atau organisasi profesi, termasuk juga organisasi militer. Dengan “terjun langsung”dalam dinamika berbagai organisasi inilah mental dan skill dalam mengelola organisasi bisa teruji. 

Beda halnya jika tokoh yang digadang-gadang sebagai penerus kekuasaan, walaupun masih dari unsur keluarga petahana itu memang memiliki kemampuan, kecakapan, kecerdasan, intelektualitas, kapasitas,kapabilitas, dan keterampilan politik yang mumpuni. Tentu saja partai politik harus “shopping” dan membuat daftar atas dasar kesepakatan internal yang diuji oleh survei pemilih yang valid dan tepercaya. 

Menurut hemat penulis, patut kiranya kita apresiasi ketika Kementerian Dalam Negeri kini melakukan terobosan dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pemilukada yang di dalamnya berisi mengenai pembatasan politik dinasti keluarga. Pada draf undang-undang yang salah satunya berinti materi tentang pembatasan politik dinasti keluarga dengan mengatur hak politik dan hak asasi untuk dipilih dengan jeda waktu tertentu adalah bisa dipandang melanggar hak asasi manusia. 

Karena siapa pun yang terlahir di dunia ini tidak pernah sebelumnya bercita-cita harus terlahir dari keluarga trah politik, keluarga pengusaha, keluarga presiden, atau keluarga lainnya. Manusia terlahir dan terdidik karena sudah given menjadi bagian dari manusia yang terlahir dari pasangan manusia sebelumnya. Artinya soal hak asasi dan hak untuk dipilih pada prinsip keadilan dan kesempatan yang sama tidak bisa harus diatur dalam sebuah undang-undang. 

Karena jelas hal ini dapat melanggar hak asasi setiap manusia. Karena itu, untuk mengeliminasi dampak negatif politik dinasti keluarga dalam konteks mencari suplai kader pemimpin, soal ini merupakan pekerjaan rumah bagi partai politik di dalam membenahi soal sistem rekrutmen dan soal kaderisasi kader-kader partai politik. Bisa saja suplai kader salah satunya bersumber dari proses politik dinasti keluarga.

Akan tetapi secara prinsip partai politik harus mempunyai perlakuan yang sama terhadap siapa pun yang direkrut dan dikader di dalam partai tersebut. Bahkan kemudian, menurut penilaian yang dipandang objektif, ada beberapa kader partai yang dipandang kapabel, kredibel, dan pantas dijadikan top leader yang realitasnya ternyata berasal dari trah keluarga dinasti politik, itu soal lain. Semua kader harus diperlakukan sama. 

Dengan perlakuan yang sama inilah kemudian para kader partai politik baik yang muncul sebagai buah kaderisasi struktural internal partai politik atau hasil “shopping” yang didasari mekanisme peraturan internal partai politik, maka diharapkan tercipta kompetisi yang sehat. Perlakuan dan kesempatan yang sama akan memacu persaingan yang sehat.

Persaingan yang sehat akan memaksa mereka yang maju dalam pilkada untuk lebih kreatif dan produktif di dalam menyiapkan berbagai strategi yang positif untuk memenangi pertarungan. Dengan kreativitas inilah kemudian diharapkan munculnya berbagai gagasan dan solusi konkret yang amat dibutuhkan masyarakat di tengah impitan dan problem-problem ekonomi-sosial-politik yang terjadi saat ini. 

Karena, bisa jadi, solusi yang kreatif dan sederhana justru merupakan jawaban yang cukup signifikan di dalam menjawab berbagai problema yang sedang dihadapi bangsa kita saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar