Senin, 26 November 2012

Mimpi tentang Kebesaran Indonesia


Mimpi tentang Kebesaran Indonesia
Mohamad Sobary ; Budayawan
SINDO, 26 November 2012


Di dalam rangkaian kekayaan kita akan tradisi lisan, ada dongeng-dongeng, ada mitologi, ada pula cerita rakyat yang turun-temurun lintas generasi dan kita kagumi. Kekuatan tradisi kita “memelihara” dengan baik warisan kebudayaan yang bersifat “khas”“milik”kita karena sangat terasa hubungannya dengan kehidupan kita maupun yang mungkin datang dari tempat yang jauh, yang “bukan” milik kita.

Di dalam rangkaian kekayaan kita akan tradisi lisan,ada dongeng-dongeng, ada mitologi, ada pula cerita rakyat yang turuntemurun lintas generasi dan kita kagumi. Kekuatan tradisi kita “memelihara” dengan baik warisan kebudayaan yang bersifat “khas” “milik” kita karena sangat terasa hubungannya dengan kehidupan kita maupun yang mungkin datang dari tempat yang jauh, yang “bukan” milik kita.

Apa yang bukan “milik” kita itu pun perlahan-lahan ––demi berlalunya waktu––telah menjadi akrab dengan kita. Terasa bahwa hal itu pun “milik” kita pula. Di sini “milik” dan “bukan” milik sudah tidak penting. Mekanisme kebudayaan kita mampu “memelihara”dan “mengabadikan” dongeng, mitologi,atau cerita rakyat tadi dengan menjadikannya pendidikan bagi anak-anak. Dahulu, belum terlalu lama lewat, orang tua kita selalu bercerita, “mendongeng” kepada kita sebelum kita tidur.

Dongeng itu mengisahkan dengan sangat baik––dan mengisi rohani kita––dengan berbagai cerita yang sumbernya sudah kita sebut di atas. Mungkin dongeng ya dongeng begitu saja. Orang tua kita tak perlu membuat analisis sebagaimana para ahli tradisi lisan, ahli folklor, dan sejenisnya yang dengan begitu detail membedakan dan menganalisis secara ilmiah fungsi-fungsinya di dalam masyarakat.

Orang tua kita mendongengkannya kepada kita dengan cara “mengalir”begitu saja di dalam hidup karena itu memang bagian dari hidup kita di masa lalu.Dongeng sebelum tidur membuat hidup “mengalir” bagai aliran air dari puncak gunung dan memberi kesegaran kepada mereka yang hidup jauh dari gunung itu sendiri. Begitulah alam––gununggunung–– berbagi dalam hidup ini.

Begitu pula orang tua kita dahulu,memetik kearifan dari alam dan gunung-gunung yang demikian murah hati menyirami kita dengan kesegaran alami. Dongeng- dongeng pun menyirami rohani kita agar hidup tidak menjadi kering. Rohani kita selalu diberi hiburan atau pendidikan,yang “mengalir” tadi, hingga hampir tak terasa oleh kita bahwa kita “dihibur” atau “dididik”.

Dongeng atau cerita-cerita tadi telah menjadi ibu kita, bapak kita, nenek-moyang kita. Mereka juga telah menjadi kiai kita, pastur kita, pendeta kita, pedanded kita, biksu kita, pendeknya telah menjadi guru kita.Semuanya hadir di dalam jiwa kita tanpa sosok pribadi yang jelas. Tapi jelas sekali kekuatan rohani yang mereka pancarkan. Kita memperoleh––setiap saat––pencerahan moral dan kita menjadi pribadi yang kuat secara sosial, kuat secara politik, dan kuat secara moral.

Begitulah dongeng, cerita rakyat, dan mitologi mendidik kita. Ketiga jenis tradisi lisan ini tak mustahil kita ciptakan menjadi sesuatu yang khas: aspirasi kultural kita dan mimpi kita, Mimpi-Mimpi tentang Kebesaran Indonesia. Indonesian Dreams yang besar dan hebat. Ini kita perlukan sekarang. Dan pemimpin bangsa harus mewujudkannya dalam dan melalui berbagai mekanisme kebudayaan kita.

Kearifan zaman––dengan cara luar biasa––mendidik dan menghibur kita serta membuat kita kaya rohani, kaya imajinasi, dan kreativitas sehingga hidup tidak hanya berupa beban berat dan kesulitan-kesulitan yang menghimpit,yang membuat kita lemah, tertekan, dan frustrasi.Namun sebaliknya, hidup memancarkan pula kesegaran, optimisme, dan harapan yang menjadi energi budaya, yang tak terukur kekuatannya. Dan kita dengan begitu menjadi “berani” optimistis tanpa kecemasan menghadapi kesulitan.

Dongeng-dongeng memberi tahu––persis seperti pesan dan kearifan di dalam kitab suci––bahwa di balik setiap kesulitan ada kemudahan, di balik setiap kegelapan ada cahaya terang. Ibu Kita Kartini pun menulis: Habis Gelap Terbitlah Terang. Adapun Bung Karno pemimpin besar bangsa kita––bukan pemimpin biasa seperti sekarang ini––secara simbolik menyatakan dirinya Putra Sang Fajar yang memancarkan fajar kemerdekaan.

Bung Karno secara simbolis pula menyebut dirinya Karna, putra Dewa Surya, artinya Dewa Terang, Dewa Fajar,yang menyingsing. Sekarang, para pemimpin kita tak punya imajinasi apa pun, tak punya kemampuan simbolik apa pun. Semua diam dan membisu tentang simbolsimbol tadi. Adapun kemampuan artikulasi kebahasaan mereka pun begitu lemah, monoton, sangat standar, dan resmi sekali. Tak ada yang tampak punya pesona atau memberi suatu inspirasi.

Apa ini berarti mereka para putra dunia kegelapan dan simbol kegelapan itu sendiri? Tak ada yang mampu tampil memberi caya dan optimisme ketika rakyat menderita, susah, dan tertekan. Tak ada caya––sekecil cahaya kunangkunang sekalipun. Kepada anak-anak, dongeng, mitologi, dan tradisi lisan itu diceritakan di sekolah, sebagai bagian dari pelajaran kesusastraan. Guru mengajarkannya di depan kelas dengan bercerita dan menyuruh anakanak mencatat intisarinya sehingga anak-anak paham lahir dan batin.

Jika di sekolah bukubuku macam itu tersedia,anakanak boleh meminjamnya dan membuat ringkasan dari tiaptiap yang “dikisahkan” di dalamnya. Dengan begitu anak-anak bukan hanya mengerti isinya, melainkan juga menjadi sangat akrab dengan apa yang “dikisahkan” tersebut. Mereka “bergaul” dan “bersahabat” dengan tokoh-tokoh imajiner di dalam buku itu sedemikian mendalam dan memperoleh kesegaran jiwa, imajinasi, dan rangsangan pemikiran tentang hal-hal yang mulia dan agung.

Kita tidak lagi mengetahui siapa yang mengarang kitabkitab tersebut jika memang ada kitab-kitabnya. Kita pun tidak tahu lagi siapa yang pada zaman dahulu kala “merangkai” kisah-kisah tersebut dan menurunkannya pada kita, tetapi hal itu tidak menjadi persoalan penting lagi untuk ditelusuri sejarahnya. Kita telah menjadikannya “milik” kita sendiri dan kita memetik kearifan serta kedalaman pesan moral, pesan sosial dan politik yang terkandung di dalamnya. Kita telah memperoleh rangsangan besar untuk menjadi manusia yang tangguh di dalam hidup. Kita diperkaya.

Kita diberi kekuatan kebudayaan untuk menghadapi hidup dengan segenap tantangannya dengan tenang karena, sekali lagi, dongeng, mitologi, dan cerita rakyat itu selalu berpesan bahwa di balik setiap kesulitan ada kemudahan.Di balik setiap kegelapan ada cahaya. Persis bunyi pesan dalam kitab. Dan kita tak boleh lupa Ibu Kita Kartini yang menulis Habis Gelap Terbitlah Terang. Kita pun tak boleh lupa, Bung Karno––memang pemimpin besar––yang secara simbolik menyebut dirinya Putra Sang Fajar.

Dirinya Karna, putra Dewa Surya. Dewa Matahari. Dewa yang memancarkan cahaya terang. Rangsangan kultural ini besar sekali bagi kita. Dengan modal ini semua tiba masanya bagi kita mencipta mitos-mitos baru dan Impian Kebesaran Indonesia. Karena negeri kita Indonesia Raya. Maka kita wajib menciptakan Indonesian Dreams yang memberi kekuatan batin bagi bangsa dan, jelas, yang inspiring.

1 komentar:

  1. Tulisan orang ini kok sering nongol ya. Padahal tulisannya biasa-biasa saja, bila tak boleh ngomong: jelek!

    BalasHapus