Kamis, 15 November 2012

Percikan Pemikiran Politik Aswaja


Percikan Pemikiran Politik Aswaja
Marwan Ja’far ;  Anggota DPR dari Fraksi PKB, 
Ketua Dewan Pembina Laskar Ahlussnnah Wal Jama’ah
SINDO, 14 November 2012



Sehubungan dengan Tahun Baru Islam yang jatuh esok hari, alangkah baiknya jika kita menggali sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di negeri ini.

Agama Islam masuk ke wilayah Nusantara tak lepas dari peran para ulama terdahulu hingga dapat mencapai puncak keberhasilan penyebarannya, terutama di Pulau Jawa oleh para Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali inilah secara terus menerus mewariskan ajaran Islam ala ahlusunah waljamaah (aswaja) kepada ulama salaf (ulama tradisional) dan dilanjutkan oleh ulama nahdliyin (ulama Nahdlatul Ulama) hingga saat ini. 

Kajian mengenai ahlusunah waljamaah (aswaja) sebagai bagian dari kajian keislaman telah banyak dilakukan oleh banyak pihak. Hal ini keharusan bagi semua generasi agar ajaran tersebut selalu hidup dan aktual.Di samping itu juga untuk memberi makna secara proporsional dan sekaligus memberi kontribusi konkret atas permasalahan yang dihadapi umat, baik sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Dari sinilah akan diketahui secara jelas akar, alur, dan konteks sebuah ajaran itu tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. 

Karakteristik 

Dalam konteks ini tidak berlebihan jika dikatakan ajaran aswaja selalu aktual dan diterima oleh mayoritas masyarakat sejak generasi awal hingga dewasa ini. Ajaran aswaja telah terbukti selalu sesuai dengan kondisi dan kultur masyarakat kita yang majemuk, baik secara agama, budaya, maupun etnis. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai aswaja yang diwariskan dari generasi ulama terdahulu hingga ulama seperti Khadzratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, 

dan para pendiri NU telah mengalami proses dialektika yang luar biasa di tengah kemajemukan tata nilai, keyakinan, dan agama yang dianut bangsa ini. Terkait dengan hal inilah, Achmad Muhibbin Zuhri dalam buku Pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah (2010) mengungkapkan bahwa Hasyim Asy’ari telah berhasil melakukan dialektika antara Islam dan dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya modernistradisionalis pada abad ke-20 sehingga melahirkan rumusan prinsip dasar dan karakteristik aswaja di Tanah Air hingga dewasa ini. 

Karakteristik ahlusunah waljamaah ini sekaligus menjadi dasar nilai, spirit, dan sekaligus manhaj dalam berbagai bidang kehidupan individu dan kolektif bagi penganutnya. Dalam konteks kehidupan negara-bangsa terutama politik, ahlusunah waljamaah telah mengambil prinsip syuro atau sistem demokrasi. Sebuah sistem pemerintahan yang bertumpu dan berorientasi pada kedaulatan rakyat. 

Meski kedaulatanditanganrakyat, rakyat tidak boleh mengambil sikap dan perilaku yang bertentangan dengan prinsip syuro dalam menyelesaikan berbagai masalah pemerintahan. Karakteristik seperti ini diharapkan dapat melahirkan tatanan kehidupan yang harmoni dan antidominasi. Karakteristik masyarakat yang dilandasi atas prinsip keluwesan dan moderat inilah yang mampu membawa aswaja bisa diterima oleh setiap generasi dan orde pemerintahan. 

Sejak awal ahlusunah waljamaah telah mengusung konsep Islam yang mengedepankan nilai-nilai kedamaian,harmoni, dan humanis. Dengan tata nilai moderasi dan toleransi ini, penganut ahlusunah waljamaah mampu beradaptasi dengan arus peradaban umat manusia yang berbeda aliran, paham, bahkan agama sekalipun. Saat ini memang ada kesan bahwa wacana politik di kalangan tertentu tampaknya mulai mengalami penurunan selera walaupun realitas praktis perpolitikan di negeri ini masih tetap hangat. 

Muncul asumsi negatif tentang kontestasi politik di Indonesia yang telah mengendap dan terpatri dalam memori masyarakat. Ada anggapan di kalangan tertentu bahwa politik adalah sesuatu yang kotor yang hanya berorientasi pada perebutan kekuasaan, intrik-mengintrik, dan menghalalkan segala cara. Terkait dengan anggapan tersebut, patutlah kita menilik kembali pada weltanschauung ahlusunah waljamaah mengenai politik. 

Hal ini penting untuk tidak sekadar sebagai wacana, tapi bisa menjadi nilai, spirit, dan ”panduan” dalam perilaku politik yang secara ideal sering dikatakan sebagai politik yang beradab. Prinsip dasar tersebut adalah: 1) Tawazun (seimbang). Artinya keseimbangan antara kepentingan yang bersifat duniawi dan ukhrawi. 2) Tawassuth (jalan tengah).

Artinya dalam mengambil keputusan harus menggunakan berbagai pertimbangan dan tidak memihak sebelah. 3) Tasamuh (toleransi). Ini berarti sikap saling menghormati, tidak memaksakan kehendak dan menghargai perbedaan. 4) I’tidal (lurus), selalu berjalan lurus dengan berpedoman pada kaidah-kaidah agama. 5) Amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak pada kebenaran dan mencegah pada keburukan dengan cara yang baik. 6) al-Qiyam bil Qadimish Shalih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). 

Dengan prinsip ini, politik ahlusunah waljamaah selalu mengambil sikap akomodatif, toleran, dan menghindari sikap ekstrem ketika berhadapan dengan spektrum sosial politik mana pun.Hal yang disebutkan terakhir inilah sisi moderat yang terus dikembangkan dan diperjuangkan. Tak heran, moderasi ini menjadi hal yang sangat didambakan oleh semua warga bangsa dalam menyelesaikan semua perbedaan cara pandang dan konflik kepentingan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini sekaligus merupakan manifestasi dari prinsip tasamuh dan tawazun dari aswaja sebagai manhaj dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Pengejawantahan yang lebih jauh dari manhaj tersebut tentu akan berdampak positif dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada wilayah pribadi maupun sosial.Ini penting karena seringkali setiap ada sikap atau tindakan yang diambil terkait dengan interaksi duniawi tak luput dari tendensi dan kepentingan pragmatis sesaat demi keuntungan sesaat pula. 

Kedaulatan Rakyat 

Prinsip tawassuth atau moderat dalam arti tidak ekstrem kiri (liberalisme) atau kanan (fundamentalisme) dalam memandang sebuah konsep negara. Suatu negara boleh saja didirikan atas dasar teokrasi, aristokrasi, demokrasi, atau lainnya asal mampu memenuhi kriteria maupun persyaratan pendirian negara. Persyaratan yang dimaksud meliputi sejumlah aspek seperti syuro (musyawarah), al-’adl (keadilan), al-musawah (kesetaraan derajat), dan alhurriyyah (kebebasan). 

Prinsip syuro artinya negara harus mengedepankan jalan musyawarah dalam mengambil segala keputusan, kebijakan, atau peraturan. Al-’adl maksudnya negara wajib memberi rasa keadilan kepada masyarakat, tanpa terkecuali. Sementara prinsip al-musawahdapat diartikan sebagai kesamaan status semua warga di hadapan negara, hukum, ataupun aturan perundang-undangan baik dalam konteks kewajiban dan hak-hak mereka. Sedangkan prinsip alhurriyyah yang berarti negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya, dirumuskan dalam konsep Al- Ushulul Khamsah(LimaPrinsip Asasi Manusia). 

Lima prinsip asasitersebut mencakup: hifdzun nafs (menjaga jiwa), hifdzuddin (menjaga agama), hifdzul mal (menjaga harta benda), hifdzunnasl (menjaga identitas asal-usul atau keturunan), dan hifdzul ’irdh (jaminan terhadap harga diri dan kehormatan). Bila lima syarat tersebut tidak terpenuhi, gugurlah otoritas pemimpin sebuah negara. Karena itu, konsep pendirian negara (imamah),bagi ahlusunah waljamaah tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaimana yang diyakini oleh Syiah. 

Hal ini juga berbeda dari Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa seorang imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria aswaja adalah sistem demokrasi di mana sistem pemerintahan yang bertumpu pada kedaulatan rakyat sekaligus sebagai manifestasi dari amanah dan khalifah Allah di muka bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar