Sabtu, 24 November 2012

Pesohor Politik


Pesohor Politik
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 24 November 2012



Sudah empat pesohor mencalonkan diri sebagai pejabat publik: Rhoma Irama, Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka, dan Dede Yusuf. Rhoma mau mencalonkan diri jadi presiden, tiga sisanya resmi jadi calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Dede pernah jadi anggota DPR, Rieke masih wakil rakyat, Rhoma dan Deddy muka baru. Pesohor mengincar jabatan kepala negara/daerah bukan hal baru, Rano Karno kini Wakil Gubernur Banten.
Batas antara dunia politik dan hiburan makin tipis. Apalagi star power pesohor modal utama untuk menjual citra di panggung politik.
Ini bukan fenomena khas Indonesia. Beberapa dekade di Barat ada fenomena celebrity activism. Pesohor muncul sebagai pendebat utama kebijakan publik, misalnya penentang Perang Vietnam.
Perubahan struktur dan peliputan media massa dunia ikut menyumbang suburnya celebrity activism. Aktor, musisi, atlet, dan jenis-jenis pesohor lain mendapat panggung untuk ikut bicara.
Tak aneh Ronald Reagan, eks aktor, terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Lalu aktor yang masih aktif, Arnold Schwarzenegger, terpilih sebagai Gubernur California.
Kini pesohor tak cuma aktif mendukung kebijakan publik, rupanya mau terjun langsung jadi politisi. Apalagi bisnis media konvensional/baru lebih difokuskan pada wajah-wajah terkenal.
Opini masyarakat juga berubah karena menganggap pendapat politik para pesohor cukup kredibel. Apalagi, pada musim skandal, rakyat tentu kurang percaya kepada politisi atau pejabat.
Itulah yang terjadi di Indonesia, sebuah pengulangan proses demokrasi Barat. Pada tahun-tahun mendatang, dunia hiburan mungkin bisa jadi pusat perekrutan politik terbaik.
Di satu sisi, pesohor boleh bangga maju ke depan panggung. Di sisi lain, manfaat terbesar pesohor sebenarnya justru jadi pemain figuran semata.
Lebih banyak pesohor Barat yang tetap menjalani peran sebagai celebrity activist. Mereka lebih suka membantu prakarsa kemanusiaan, seperti memerangi kemiskinan atau memberantas HIV/AIDS.
Secara terbuka atau diam-diam mereka menghindar sorotan media massa. Mereka tak rela diperlakukan sebagai komoditas politik semata.
Mereka sadar politik butuh motivasi, keyakinan, dan komitmen jangka panjang. Politik bukan pemilihan film terbaik, bukan pula kepuasan menulis lagu merdu dengan lirik menyentuh.
Sebagian besar pesohor hidup bak orang normal, segelintir saja yang jadi berita negatif media massa. Mereka berkarya di profesi masing-masing sebagai artis, musisi, komedian, atau atlet.
Jarang ada pesohor berpolitik, pilihan yang diambil Rhoma, Rieke, Deddy, dan Dede. Di satu pihak, keberanian mereka layak diacungi jempol. Di pihak lain, mereka harus siap jadi sorotan.
Pemilih akan menilai gerak-gerik mereka di masa lalu. Pertanyaan pertama masyarakat tentu berkisar pada panggilan untuk terjun ke dunia politik.
Dalam sebuah kesempatan pekan lalu, saya tanya soal ini kepada Deddy. Ia menjawab akan mengabdikan diri menyejahterakan rakyat dengan pengalaman panjang bekerja di perfilman.
Rhoma menyatakan menjadi capres karena terpanggil untuk memperbaiki akhlak bangsa. Ia juga punya pengalaman politik—selain berkiprah di musik dangdut—sebagai juru kampanye pada masa lalu.
Kita tahu Rieke dan Dede ”pindah lajur” dari legislatif ke eksekutif, hal yang sering dikerjakan politisi kita. Dede juga sudah magang sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat sampai saat ini.
Pertanyaan kedua, bagaimana rekam jejak mereka? Kita masuk ke tahap ”efek Jokowi” karena rakyat tidak mau lagi dipukau citra semata, ingin tahu ”daftar sukses” para pesohor itu.
Kalau Deddy dan Dede punya rekam jejak sebagai aktor laris, Rieke punya signature legislation meloloskan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Rhoma belum punya rekam jejak politik.
Pertanyaan ketiga, sukar diketahui apakah pesohor sebenarnya mampu memengaruhi pemilih. Soalnya, sebagian besar pemilih biasanya kelompok independen yang sikap politiknya enggan dipengaruhi ketenaran pesohor.
Mereka senang cuma dengan menikmati suguhan para pesohor melalui film, musik, atau olahraga. Politik dianggap sebagai porsi kaum politisi, pesohor kurang mampu menjalaninya.
Betapapun, kita tentu menyambut baik keterlibatan pesohor dalam politik. Salah satu esensi demokrasi ialah memberikan kesempatan kepada setiap profesi untuk menempuh karier politik.
Terlebih lagi definisi ”pesohor” pada abad ke-21 ini sudah berubah drastis. Di negeri ini, orang-orang bukan politisi—misalnya aktivis lembaga swadaya masyarakat atau akademisi—juga masuk kategori pesohor.
Keran untuk menjadi politisi mesti dibuka selebar mungkin bagi semua profesi. Bukan zamannya lagi menerapkan perundang-undangan atau aturan- aturan politik yang restriktif.
Politik disiplin yang seharusnya bersifat ”longgar” alias bukan ”ketat”. Limitasi politik, dalam bentuk apa pun, hanya akan mengakibatkan kerancuan moral, sosial, dan logika.
Proses dan makna demokrasi politik mustahil untuk direduksi. Dalam pengaturan pemilihan, tak perlu lagi mengatur profesi, suku, agama, usia, kelamin, dan syarat-syarat konyol lainnya.
Kita sudah memasuki tahap gonjang-ganjing politik menjelang 2014. Pemilih sudah belajar banyak dari kegagalan kultur, sistem, ataupun proses politik kita yang gagal mengenyahkan korupsi.
Bisa dipastikan bakal amat sedikit pemilih yang menggunakan hak suara di Pemilu 2014. Partai-partai kehilangan trust pemilih.
Suka atau tidak, akibat pengaturan yang ”ketat” itu, kita tak punya banyak pilihan capres-cawapres. Jumlah calon terbatas dan tampaknya nyaris semuanya masuk kategori the devil we know.
Mereka setidaknya memiliki pengalaman cukup untuk mengelola negara. Namun, saya tanya kepada Anda, bagaimana dengan Rhoma Irama? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar