Kamis, 29 November 2012

Putusan MK dan Kepemilikan Televisi


Putusan MK dan Kepemilikan Televisi
Amir Effendi Siregar ; Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers Pusat
KORAN TEMPO, 28 November 2012


Yang menarik lagi, dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim mempunyai pendapat berbeda. Yang pertama adalah hakim konstitusi Achmad Sodiki, yang menyatakan bahwa seharusnya permohonan dikabulkan karena para pemohon menuntut agar kebijakan tentang penyiaran yang mengarah pada pemusatan kepemilikan dan penguasaan monopoli ini dihentikan, atau setidak-tidaknya dimaknai lebih jelas dan adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 3 Oktober 2012 terhadap permohonan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) tentang tafsir konstitusional atas pemusatan kepemilikan televisi dan jual-beli izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) menarik dan unik. MK menolak permohonan KIDP. Namun, ketika membaca pertimbangan hukumnya, secara implisit mereka "menerima". MK menolak memberi tafsir, tapi sebenarnya memberi tafsir.
KIDP berpendapat, kini telah terjadi konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang tidak sehat. MNC memiliki dan menguasai RCTI, Global TV, dan MNC TV/TPI dengan jaringan di daerah. Demikian juga Emtek, yang menguasai SCTV dan Indosiar. Trans Corp menguasai Trans TV dan Trans 7. Visi Media Asia (Viva) menguasai ANTV dan TV One. Metro TV, meskipun berdiri sendiri, sangat dekat dengan MNC karena kesamaan pandangan politik pemiliknya. Sekitar 218 LPS yang jumlahnya sekitar 300 dikuasai oleh lima kelompok usaha tersebut.
Inilah yang terjadi, sebuah pergeseran dari suatu sistem otoriter Orde Baru yang dikontrol oleh negara ke dalam sistem baru yang dikontrol oleh kapital, atau disebut otoritarianisme kapital. Keanekaragaman kepemilikan dan isi terancam. Kebebasan sekadar menjadi lip service untuk membangun konsentrasi. Kolaborasi kekuasaan dan kapital terjadi untuk keuntungan ekonomi dan politik para elite. Demokrasi bisa jadi hanya mimpi.
Menurut KIDP, hal itu dilakukan karena, antara lain, adanya multitafsir, manipulasi tafsir, dan salah tafsir oleh LPS terhadap undang-undang, sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Seharusnya, menurut KIDP, seseorang atau sebuah badan hukum dalam bentuk apa pun boleh memiliki banyak LPS di berbagai wilayah, tapi hanya boleh memiliki satu LPS di satu cakupan wilayah siaran. Selanjutnya izin tidak boleh dipindahtangankan lewat jual-beli saham dominan karena juga akan menyebabkan pemusatan kepemilikan.
Itulah sebabnya, KIDP, yang diwakili oleh AJI Indonesia, AJI Jakarta, Media Link, Yayasan 28, serta Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), mengajukan permohonan agar MK memberi tafsir konstitusional atas UU Penyiaran Pasal 18 ayat 1: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Pasal 34 ayat 4: Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain. IPP yang diberikan kepada badan hukum tertentu dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain. 
MK menolak permohonan KIDP karena, menurut MK, dalam pertimbangan hukumnya tidak terdapat multitafsir. Penafsirannya telah jelas dijelaskan oleh PP Nomor 50/2005 tentang LPS yang, antara lain, mengutip Pasal 32 ayat 1: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut: a. 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda; b. Paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu); c. Paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua); dan seterusnya.
Menurut MK, dengan pembatasan tersebut, berarti tidak seorang pun atau tidak satu pun badan hukum yang dapat memiliki LPS melebihi batas kepemilikan dengan penguasaan langsung atau tidak langsung. Pemerintah harus mampu menelusuri kepemilikan saham, baik langsung maupun tidak langsung. Bila dalam tataran praktek terjadi penyimpangan, itu adalah persoalan implementasi norma yang bukan masalah konstitusionalitas. 
Demikian juga UU Penyiaran Pasal 34 ayat 4, tidak terdapat multitafsir. Mengingatkan bahwa, dalam implementasi norma undang-undang terkait dengan pemindahtanganan IPP, pemerintah bersama KPI harus secara konsisten menegakkan segala syarat serta ketentuan dalam undang-undang. Hal ini juga merupakan masalah implementasi norma. 
Yang menarik lagi, dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim mempunyai pendapat berbeda. Yang pertama adalah hakim konstitusi Achmad Sodiki, yang menyatakan bahwa seharusnya permohonan dikabulkan, karena para pemohon menuntut agar kebijakan tentang penyiaran yang mengarah pada pemusatan kepemilikan dan penguasaan monopoli ini dihentikan, atau setidak-tidaknya dimaknai lebih jelas dan adil. Pers dalam demokrasi harus menjunjung tiga nilai pokok, yaitu nilai kebebasan, nilai kesetaraan, dan nilai keadilan. 
Selanjutnya hakim Sodiki mengatakan, penyiaran menjadi kancah perebutan sumber daya ekonomi di ruang publik. Menjadi komoditas yang menggiurkan. Jika unsur di atas tidak bisa diwujudkan, akan dapat menggeser proses demokratisasi yang substantif. Artinya, informasi ditentukan oleh besaran kapital yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum tertentu. Karena itu, Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran yang dapat dimaknai sebagai proses atau hasil monopoli seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hakim Sodiki juga menyatakan bahwa pemindahtanganan tidak boleh merupakan pemusatan kepemilikan LPS oleh satu badan hukum, baik terbuka maupun terselubung. 
Berikutnya hakim konstitusi Harjono berpendapat, MK menyatakan bahwa Pasal 18 ayat 1 UU 32/2002 tentang penyiaran adalah konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai bahwa kepemilikan perorangan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap saham LPS harus dibatasi.
Sementara itu, terdapat pihak yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh MK melewati batas kewenangannya karena mengutip PP sebagai tafsir sekaligus memberi tafsir terhadap PP. Hal itu seharusnya menjadi wewenang MA. Tadinya saya pun menduga bahwa MK akan berani memberikan terobosan dengan melakukan tafsir sendiri berdasarkan kewenangannya, sekaligus memberikan waktu untuk LPS menyesuaikan diri. 
Namun kini, setelah sidang berjalan setahun, MK telah mengeluarkan putusan yang harus dihargai dan tidak bisa diganggu gugat. Pemerintah harus secara cepat menangkap pesan yang disampaikan oleh MK untuk menata dunia penyiaran agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
Atau siapa pun, bila merasa dirugikan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap institusi negara ataupun swasta yang dianggap melakukan pembiaran dan pelanggaran hukum. Untuk itu, perlu sumber daya manusia dan biaya serta waktu yang lama. Bisakah berharap pada pengadilan? 
Jalan berikutnya adalah seluruh kelompok masyarakat sipil mengawal RUU Penyiaran inisiatif DPR yang sudah disahkan pada 23 Oktober 2012. RUU ini relatif bagus dan demokratis meskipun masih terdapat hal yang perlu diperbaiki. RUU memberikan waktu penyesuaian selama 3 tahun untuk televisi. Namun, bila terdapat gejala, bahwa UU Penyiaran yang baru nanti akan lebih buruk dan melanggengkan konsentrasi, sebaiknya dari sekarang gugatan dan tekanan perlu dilakukan, termasuk terhadap pemerintah. Jalan terbaik memang harus dicari untuk kepentingan bangsa dan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar