Jumat, 30 November 2012

Rezim Pronatalis


Rezim Pronatalis
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
SINDO, 30 November 2012


Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America (NASA) membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan itu. 

Kajian pertama kali dikoordinasikan oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal 1960-an membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu,Julian Simon,ekonom Amerika, membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas (negligible). Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk ke rezim anti-natalis.Di dalam rezim pembangunan, penduduk mesti dikendalikan. 

Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran melalui program keluarga berencana,memajukan pendidikan wanita, dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika Profesor Widjojo Nitisastro, ekonom UI, menjabat ketua Bappenas sejak Repelita II, 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai prioritas tahap berikutnya. 

Intensifnya kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dengan angka kelahiran yang turun lebih cepat dari perkiraan. Sumatra dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Tampaknya berbalik ke rezim yang tidak mendapatkan perhatian utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan antinatalis, alias pronatalis. 

Rezim Pronatalis 

Dikatakan tidak terarah jelas ketika target angka kelahiran total (TFR) pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa? Mari kita simak hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia(SDKI) duaseriwaktu terakhir. SDKI 2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia. Isi dari keduanya menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun,telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2,6. 

Sebuah pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran.Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010,di mana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu? Beberapa penjelasan diperkirakan dapat dijadikan titik kritis kenapa Indonesia menganut rezim pronatalis, rezim pemerintahan dengan kebijakan kependudukan menggunakan skenario lemah untuk kebijakan mengendalikan kelahiran. 

Pertama, desentralisasi pembangunan telah mengurangi arti komando dari kebijakan kependudukan semasa Emil Salim dan Haryono Suyono. Kedua menteri ini telah memberikan perhatian intensif terhadap persoalan kependudukan. Terpusatnya program kependudukan dan keluarga berencana (KB) dapat menggerakkan dan mengimplementasikan program kependudukan secara intensif. Jangkauan program sampai pada pasangan usia subur (PUS), dan menggerakkan para petugas keluarga berencana volunteer di lapangan. 

Ketika desentralisasi digulirkan, sebagian besar pemerintah daerah tidak mengelola persoalan kependudukan menjadi program penting, tidak seaktif rezim sebelumnya. Boleh dibilang sangat langka pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk kebijakan kependudukan, kecuali peranan dari dinas catatan sipil, karena terintegrasi dengan struktur organisasi di pemerintah daerah.Pada masa ini,kalaupun BKKBN masih ada pada level provinsi, corak dan intensitas kebijakan kependudukan relatif terbatas. 

Kedua, sebagai akibat dari yang pertama, target untuk menjangkau pasangan usia subur menjadi tidak begitu terarah. Angka penggunaan kontrasepsi pada kisaran 70 persen memang bisa dicapai. Namun, efektivitas penggunaan alat kontrasepsi menjadi berkurang karena pengguna KB pada umumnya adalah wanita dan berdimensi jangka pendek. Suntik dan pil adalah dua jenis alat kontrasepsi utama jangka pendek, sementara IUD dan kondom relatif sedikit yang menggunakan, apalagi KB pria. 

Karenanya kelahiran yang tidak direncanakan,unwanted birth, menjadi relatif masih tinggi. Ketiga, masih belum adanya strategi yang bersungguhsungguh untuk menjangkau pasangan yang sebenarnya ingin menghentikan kelahiran, unmeet need.Namun, mereka tidak memperoleh pelayanan keluarga berencana. Angka ini sangat nyata dan kelihatan tidak bergerak turun pada dua kurun waktu survei. SDKI 2007 dan 2012 masih menunjukkan angka unmeet need masih berkisar antara 11- 12%.Padahal jika program KB diarahkan pada kelompok ini, sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap penurunan angka kelahiran. 

PUS Inklusif 

Jika tiga persoalan di atas sebagai penjelas negara masuk ke dalam rezim pronatalis, sebenarnya pendirian untuk mengendalikan jumlah penduduk sudah saatnya. Fokus dapat ditujukan pada kelompok pasangan PUS inklusif. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok pasangan usia subur yang secara geografis tinggal di daerah yang sulit terjangkau pelayanan petugas keluarga berencana.Mereka mendiami wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat pedalaman hutan dan perkebunan, masyarakat tertinggal, perbatasan, miskin, suku terasing, dan kelompok khas yang menganggap banyak anak banyak pejuang. 

Strategi untuk menjangkau mereka adalah mesti lebih aktif ketimbang reaktif. Berbagai cerita sukses kader KB-KES di lapangan menunjukkan bahwa saatnya untuk melakukan revitalisasi kader KB-KES di daerah-daerah tersulit. Kader direkrut dan berciri integritas yang terbaik. Saat bersamaan fungsi mereka dapat mengangkat kesenangan untuk bekerja melayani sampai ke pelosok- pelosok. Keberadaan kader bekerja sama dengan bidan desa akan menjadikan sebuah gerakan baru. 

Bearfoot program yang sukses di China bercirikan pada integritas yang tinggi dan memberikan pelayanan yang pasti oleh tenaga medis sampai ke pelosok-pelosok menjangkau keluarga yang berisiko tinggi memiliki angka kelahiran di atas rata-rata. Saat bersamaan pemerintah daerah juga dapat menjadikan program KB terintegrasi dengan program pembangunan lainnya. Sudah saatnya anak-anak mereka untuk memperoleh akses pada layanan khusus pendidikan. 

Sudah saatnya juga keluarga ini memperoleh kepastian dalam setiap program pemberdayaan ekonomi. Sudah saatnya juga kampanye kependudukan diarahkan kepada kelompok ini. Sekiranya ada kepastian diarahkan kepada keluarga ini,maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berbalik rezim ini masuk ke dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Kapan? Menunggu kemudahan hati SBY-Boediono atau penerusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar