Minggu, 18 November 2012

Sang Surya Tiada Henti Menyinari Negeri


Sang Surya Tiada Henti Menyinari Negeri
Din Syamsuddin ;   Ketua Umum PP Muhammadiyah
JAWA POS, 18 November 2012


Warga Muhammadiyah sangat bersyukur pada tahun ini berimpit dua milad. Yakni, 100 tahun miladiyah tahun Masehi (18 November 2012) dan 103 tahun Hijriah (8 Zulhijah 1433). Karena itu, milad tahun ini bisa disebut sebagai milad akbar yang terjadi sekali dalam kurun satu abad.

Dalam gerak melintasi zaman satu abad, Muhammadiyah tetap eksis dan semakin menampilkan peran bagi pembangunan bangsa. Bahkan merambah sampai level dunia.

Yang terakhir itu ditunjukkan oleh terbentuknya sekitar 20 cabang istimewa di mancanegara.

Termasuk sister organization yang menggunakan nama Muhammadiyah dengan khitah perjuangan, bahkan logo, yang sama. Walaupun mereka sebenarnya tidak memiliki hubungan organisatoris dengan Muhammadiyah di Indonesia. Misalnya, di Singapura, Malaysia, Thailand Selatan, Kamboja, dan Laos.

Sebagai gerakan pencerahan di Indonesia, Muhammadiyah telah terlibat dan berperan signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan ribuan amal usaha. Mulai bidang pendidikan dasar dan tinggi, ratusan lembaga pelayanan kesehatan, ratusan panti sosial, ratusan lembaga keuangan mikro, dan berbagai lembaga dakwah pencerahan lain.

Yang membanggakan, amal-amal usaha itu didirikan relatif secara swadaya dan swadana oleh anggota Muhammadiyah di akar rumput yang tersebar di cabang dan ranting. Itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan rakyat (people movement). Dan -ini perlu dicatat- semuanya milik organisasi. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah melampaui kriteria sebagai paguyuban, tapi telah mapan sebagai organisasi yang berdasar sistem. Semua itu merupakan hasil dari sebuah proses dinamis dan sistematis untuk mencapai tujuan.

Kami menyadari, memasuki abad kedua, tantangan yang dihadapi sangat besar, berat, kompleks, dan rumit (complicated). Itu terkait dengan Indonesia yang berubah sejak era reformasi dan juga perubahan geostrategis politik ekonomi budaya pada tingkat global. Terutama kebangkitan Asia Timur seperti Republik Rakyat Tiongkok dan yang lain. Tentu semuanya membawa implikasi pada kehidupan bangsa Indonesia.

Bagi Muhammadiyah dan -saya kira- organisasi masyarakat madani lain, tantangan-tantangan itu tidak mudah untuk dihadapi. Bahkan, sebagian cenderung bersifat eskapis (lari dari masalah dan tantangan) atau apatis. Sekali lagi, Muhammadiyah juga menghadapi Indonesia yang berubah itu.

Secara ekonomi, perubahan tersebut ditandai dengan meluasnya ekonomi kapitalistis yang memunculkan kelompok-kelompok kaya raya dengan modal dan aset besar. Tapi, pada sisi lain juga menyisakan kemiskinan dan penganggur yang cukup besar pula. Maka, tingkat kesejahteraan bangsa tidak bisa semata-mata diukur dari tingkat pertumbuhan belaka. Apalagi dengan ukuran-ukuran yang kapitalistis. Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya tetap: Kesejahteraan itu untuk siapa?

Dalam realitasnya, perkembangan tersebut telah meruntuhkan ekonomi umat Islam dan kaum santri. Bersamaan dengan merajalelanya kekuatan uang (the power of money), fenomena "robohnya kedai kaum santri" itu telah berakibat kurangnya kekuatan logistik dan materiil untuk membangun diri. Itu menyebabkan infrastruktur umat Islam dalam berbagai bidang melemah dan kurang efektif untuk menggerakkan perubahan bangsa.

Ditambah lagi dengan perkembangan di bidang politik. Demokratisasi yang berkembang di Indonesia dan sistem kepartaian yang dibangun membuat ormas kehilangan akses dalam pengambilan keputusan strategis, baik di legislatif maupun eksekutif. Perubahan konstitusi terlalu memberikan posisi dan peluang besar bagi partai. Maka, berlakulah peribahasa lembu punya susu, sapi punya nama. Maknanya, ormas punya anggota, partai yang menikmati.

Maka, memasuki abad kedua ini, kami optimistis. Muhammadiyah bisa meningkatkan peran kebangsaan dan kemasyarakatan. Bahkan menjadi kekuatan masyarakat madani terdepan dan efektif dalam melakukan perubahan. Tidak sekadar mengandalkan jumlah anggota, tapi juga kualitas aksi. Sebab, kami sadar, era globalisasi membawa adagium no longer number count, but quality counts. Dengan semangat itu, seperti tema milad kali ini, yaitu Sang Surya Tiada Henti Menyinari Negeri, kami memasuki abad kedua dengan penuh semangat dan percaya diri sambil bertawakal kepada Ilahi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar