Sabtu, 24 November 2012

Syiah Tanpa “Taqiyyah”


Syiah Tanpa “Taqiyyah”
Tedi Kholiludin ;  Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
SUARA MERDEKA, 24 November 2012


BAGI kaum Syiah, peringatan Hari Asyura (10 Muharam) bukan semata-mata momen religius melainkan juga saat tepat untuk unjuk kekuatan politik. Di Karbala, jutaan Jamaah Ahlul Bait berkumpul memeringati wafat cucu Nabi Muhammad, Husain bin Ali. Mereka seperti hendak mengatakan saat ini Syiah tak lagi ber-taqiyyah (menyembunyikan keyakinan untuk menghindari persekusi) tetapi terbuka menunjukkan keyakinan keagamaan.

Di Indonesia, eksistensi Syiah hadir sepanjang sejarah Islam. Alih-alih orang membahas  sebagai komunitas yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan Islam, cerita Syiah lebih banyak diwarnai haru dan pilu. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana komunitas Syiah di Sampang Madura dipaksa meninggalkan tanah kelahiran. Pemimpin mereka, ustadz Tajul Muluk dipenjara.

Awan pada hari Asyura tahun ini makin bertambah gelap, terutama bagi kaum Syiah di Jatim. Pada 23 Juli lalu Gubernur Soekarwo mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Meski tak secara langsung menyebut Syiah, salah satu situasi sosial yang melatari aturan ini merujuk kejadian di Sampang.

Situasi konflik, lebih tepatnya persekusi yang diterima kaum Syiah di Jatim, memang tidak terjadi di Jateng, setidaknya dalam 12 tahun terakhir. Pada awal kemunculannya sekitar 1980-an, penganut Syiah di provinsi ini belum bisa sepenuhnya bergerak leluasa. Mereka kerap dibayangi prasangka dalam laku hidup di masyarakat. Pada skala kecil, ia hanya menciptakan sentimen-sentimen yang tak berdampak nyata. 

Namun jika tak ditangani, akan mengarah pada gesekan-gesekan berbahaya.
Masih segar dalam ingatan kita, tahun 2000, Ponpes Al-Hadi di Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang diserbu dan dibubarkan massa. Pesantren yang mendasarkan diri pada akidah Syiah dituduh sesat. Desakan masyarakat agar tidak berdiri Pesantren Syiah di Batang pernah ditindaklanjuti oleh Kejari Batang dengan melarang keberadaan Ponpes Al-Hadi itu pada tanggal 3 April 2000 dengan keputusan Nomor 38/Dsb.I/4/2000.

Kejadian di Batang itu merupakan kali kedua menimpa komunitas Syiah Pekalongan dan sekitarnya. Pada Oktober 1992, umat Islam Pekalongan memunculkan resolusi yang dikeluarkan oleh Yayasan Ashhabul Kahfi dan Forum Umat Islam Pekalongan.
Pascakonflik itu, umat Syiah di Jateng hidup rukun berdampingan dengan penganut mazhab lain, juga dengan penganut agama lain. Peringatan Asyura dilaksanakan secara terbuka di Kompleks PRPP atau di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), tanpa disertai ketakutan. Sekitar 3.000 umat Syiah hadir dalam peringatan tersebut.

Diakui atau tidak, reformasi menjadi semacam pintu gerbang bagi kebangkitan sejumlah mazhab keagamaan di Indonesia yang sebelumnya terpinggirkan. Satu di antaranya kaum Syiah. Setelah sekian lama bergerak di bawah tanah, mereka mulai berani menunjukkan eksistensi diri. Dalam bahasa lain, pendukung Ali bin Abi Thalib itu telah meninggalkan masa taqiyyah.

Perkembangan Syiah menemukan momentumnya pasca-Revolusi Iran 1979. Seperti umumnya terjadi di Indonesia, ia dibawa oleh para pelajar yang menuntut ilmu di Qum, Negeri Iran. Semenjak itu, Syiah menjadi wacana intelektual yang menarik perhatian. Diskusi-diskusi digelar, buku-buku karya ulama dan intelektual Syiah pun dibabar. Perlahan-lahan, mazhab itu mulai mendapatkan legitimasinya sebagai ''anak kandung'' Islam.

Di Bangsri Jepara yang menjadi kantong Syiah terbesar di Jateng, komunitas Syiah melakukan interaksi sosial dengan baik bersama masyarakat Sunni. Doa Kumayl yang dilantunkan kaum Syiah, terdengar berbarengan dengan tahlil yang dikumandangkan warga nahdliyin pada malam Jumat.

Keterwujudan toleransi di antara mereka ini salah satunya disebabkan ada ”ruang kebudayaan” yang mempertemukan. Banyak ritus-ritus yang sama-sama dilaksanakan oleh kalangan nahdliyin dan Syiah, seperti haul, tawasul, dan maulid. Orang-orang Syiah misalnya tidak terlalu sulit mencerna puji-pujian yang berkumandang di masjid NU dalam syair li khomsatun uthfi bihaa harral wabaíil khatimah.

Situasi lain yang membuat Syiah mulai dilirik adalah berita-berita dari televisi tentang heroisme Syekh Hasan Nasrullah (pemimpin Hizbullah Lebanon), Mahmoud Ahmadinnejad (Presiden Iran), dan Ayatullah Khomeini (Pemimpin Revolusi Iran). Informasi itulah yang kemudian menyebabkan orang ingin mendalami dan tahu lebih banyak tentang eksistensi Syiah.

Peran Negara

Jika pada tingkat akar rumput sudah menguat prinsip toleransi, kebijakan politik justru membuka peluang terjadi disharmoni, diskriminasi, dan intoleransi. Di Sampang, konflik horizontal itu hadir yang kemudian diperluas oleh kehadiran negara yang tidak netral melalui Pergub Jatim Nomor 55 Tahun 2012.

Di Jateng pengalaman konflik itu sudah menjadi cerita masa lalu, dan hanya terjadi di Batang-Pekalongan, sementara di daerah lain tidak ada gesekan. Tapi tahun 2011, Wali Kota Tegal mengeluarkan Surat Edaran Nomor 451.1/008 tertanggal 2 Februari.
Edaran itu berisi imbauan kepada warga untuk mewaspadai perkembangan ajaran/ aliran Syi'ah Imamiyah atau kegiatan keagamaan yang tak sesuai dengan syariat agama yang benar di Kota Tegal. Peraturan semacam ini justru memperkeruh suasana, pada saat komunitas Syiah sudah tak lagi ber-taqiyyah dan masyarakat sudah menunjukkan sikap saling mengerti. 

1 komentar:

  1. Mudahnya Seorang Panutan yg menyebut dirinya Ulama, dengan mudahnya menyesatkan mazhab syiah tanpa beban bahwa fatwa tersebut akan mengakibatkan kebencian antar sesama umat islam dinegeri ini,pantaskah seorang tokoh yg dengan ketakutannya dengan Ulama sampai mengeluarkan peraturan untuk mengatur keyakinan orang, Bagi Kami Ulama manusia biasa seperti kita, dan tak ada jaminan bagi ulama itu pasti Syurga, Di Negeri ini banyak Ulama terjerat Politik, jadi sudah jarang yg memikirkan Kerukunan Umat Islam contohnya seperti kejadian di Jatim(sampang), pedoman Kami selama masih menyembah Allah mengakui Muhammad itu Nabi dan Al Qur'an adalah Kitab Suci yg merupakan Pedoman Hidup orang Muslim , maka tak ada alasanpun untuk menyesatkan mazhab 0rang lain, kecuali Ulama2 yg menghendaki Permusuhan antar Umat

    BalasHapus