Sabtu, 24 November 2012

Terorisme, Agama dan Deradikalisasi Baru


Terorisme, Agama dan Deradikalisasi Baru
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Pegiat Lintas Agama,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN, 24 November 2012


Dalam peringatan 10 tahun Bom Bali I, Menlu Marty Natalegawa menyebut para teroris telah gagal. Tapi ucapan menteri yang mewakili Presiden SBY itu jelas perlu dikritik, seiring dengan tertangkapnya jaringan teroris baru oleh polisi.

Memang, selama 10 tahun terakhir ini pemerintah sudah menangkap 700 tersangka teroris, 60 lebih ditembak mati, termasuk para gembongnya. Namun harus diakui, persoalan terorisme tidak mudah diurai, apalagi dituntaskan sampai ke akarnya. Malah ibaratnya, ketika satu teroris berhasil dimatikan oleh polisi, 1000 yang lain muncul. Indonesia seperti tidak pernah kehabisan stok teroris.Mereka terus ada di sekitar kita.

Adanya jaringan baru menjadi bukti bahwa teroris belum gagal, bahkan telah meraih kemenangan dari sisi yang lain, yakni kemenangan wacana. Memang ada yang menyebut, hari-hari ini, perang melawan para teroris sudah memasuki kawasan yang lebih substantif, yakni tidak semata-mata konflik fisik. Melainkan sudah memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran.

Simak saja munculnya ratusan situs di internet yang berisi ajakan untuk masuk surga lewat jalan menjadi pembom bunuh diri. Di sana tertulis hal-hal seperti jika tidak mau menjalankan jalan terorisme, mereka yang membaca situs-situs itu, akan dikutuk sepanjang hayatnya. Teknik membuat bom-pun diajarkan dengan jelas.
Sayangnya, kita yang bukan teroris, kerap hanya berapologi daripada mencoba memenangan wacana kontra terorisme. Sungguh memprihatinkan bahwa pemikiran para teroris kini justru mendapat tempat di masyarakat.

Contohnya, tindakan atau aksi bom bunuh diri yang dulu kita nilai sebagai tindakan biadab dan terkutuk, kini diyakini sebagai tindak kepahlawanan demi membela agama (mati syahid). Coba simak pemakaman setiap teroris yang mati dan diliput media, selalu ada arak-arakan seolah si teroris yang mati dalam serangan bom bunuh diri adalah orang benar.

Jelas ada yang salah jika tindakan terorisme, yang kekejamannya atas para korban di luar batas kemanusiaan, justru mendapat dukungan dan pembenaran dari sebagian khalayak kita. Ini jelas merupakan bentuk keberhasilan dari para konseptor terorisme di negeri ini.

Para konseptor tersebut sampai sekarang terus bergentayangan, tersembunyi di balik layar. Mereka mungkin sedang tertawa terkekeh karena masyarakat kita bisa dibujuk, direkrut, dan sebagian kecil justru akhirnya bangga menjadi teroris serta rela menggadaikan jiwanya untuk ajaran terorisme. Para konseptor telah mampu merebut hati dan pikiran sebagian warga kita.

Karena itu tidaklah cukup kita hanya berapologi. Pasalnya para teroris jelas-jelas memakai dalil dan motif agama dalam aksi terornya. Mereka, termasuk pelaku bom bunuh diri, sudah sejak lama mengaitkan bom dengan agama. Mendiang Imam Samudra, pelaku peledakan bom Bali I, selalu menunjuk agama sebagai motif utama aksi terornya.

Argumentasi yang disampaikan para teroris sesudah Imam Samudra juga berisi argumentasi teologis, yang membela tindakan pengeboman. Para teroris selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga penganut mainstream dalam agamanya (Islam). Mereka dianggap telah sesat karena berkolaborasi dengan Barat, terutama Amerika.

Bom bunuh diri adalah tindakan yang sah menurut keyakinan para teroris, sebagaimana pernah dituturkan Imam Samudra.

Jadi, adalah kejahatan yang mengerikan ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya. Bahkan tindakan kekerasan lewat bom dianggap sebagai bentuk perjuangan yang mulia.

Dalam buku karangan Mark Juergensmeyer “Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence” (University of California Press, 2000), kita diajak lebih menyelami pemikiran para pelaku bom bunuh diri.

Dalam buku itu dibeberkan konsep “cosmic war”, yakni peperangan antara yang baik dan yang jahat. Para pelaku bom bunuh diri yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah berjuang membela agama melawan dominasi jahat (dalam hal ini Amerika/Barat), sehingga cara perjuangan bom bunuh diri adalah sah.

Untuk menghadapi musuh dibutuhkan sikap pengorbanan sebagai syuhada atau martir. Juergensmeyer menambahkan, "...suffering imparts the nobility of martyrdom...the image of cosmic war forge failure – even death – into victory "
Jadi mereka yang mati demi agama dan Tuhan, dan membunuh musuh agama dan musuh Tuhan, dianggap sebagai martir yang mati suci. Pintu surga pun terbuka.

Apalagi, para teroris menyebut, Indonesia sudah dimasukkan dalam wilayah perang dengan kekuatan kolonialis (Amerika atau Barat) yang menindas umat Islam. Jadi dalam konteks perang, semua cara dihalalkan. Bagi para teroris, perang itu sungguh-sungguh nyata.

Guna mengurai benang kusut terorisme, kita jangan hanya bereaksi dengan menyatakan terorisme tidak terkait agama. Mempertahankan penalaran dikotomi, bahwa agama selalu baik dan kekerasan hanyalah penyimpangan oleh segelintir orang, jelas hanya sebuah excuse (alasan) atau hanya sekadar membuat alibi.
Jangan lupa, agama juga dihayati oleh manusia-manusia yang seringkali tidak suci dan lebih condong kepada kejahatan.

Dengan mengakui adanya kaitan antara terorisme dengan agama, setidaknya para agamawan bisa memberi pencerahan dan melakukan moderasi terhadap umatnya. Penafsiran atau pemahaman keagamaan yang ekstrem dan radikal hanya akan menjebak penganut agama saling berperang.

Deradikalisasi Baru

Daripada kita hanya sibuk membuat alibi, bahwa agama tidak terkait sama sekali dengan terorisme, lebih baik terus berupaya memenangkan wacana bahwa terorisme itu jahat dan biadab.

Namun kita jangan sampai memusuhi umat beragama lain atas kian diterimanya terorisme yang memanfaatkan agama. Kita juga jangan keliru dan terjebak dengan menyalahkan agama (apapun), yang sudah ada sebelum adanya terorisme.
Mari kita mencari jawaban. Mengapa dalam perang melawan terorisme, para teroris justru terkesan menang dalam perbutan hati dan pikiran sehingga mendapat simpati dan dukungan dari sebagian publik? Apakah pemerintah dan hukum kita tidak tegas dan banyak memberi peluang bagi suburnya paham radikalisme? Mengapa pula Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme hanya menjadi macan kertas?

Program deradikalisasi terorisme harus dievaluasi total. Perlu disusun konsep baru, sehingga kelak tidak ada lagi orang muda kita yang bisa dibujuk atau dicuciotaknya untuk menjadi teroris. Program deradikalisasi ini harus digalakkan sejak dini, kalau perlu sejak pendidikan dasar.

Bukan hanya terfokus di Perguruan Tinggi, sebagaimana berlangsung selama ini. Brosur atau sosialisasi program deradikalisasi disediakan di ruang publik. Keluarga, sebagai institusi dasar dan terkecil dalam sistem sosial, perlu dilibatkan dalam program ini.

Intinya, segala yang berpotensi menumbuhkan terorisme secara sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya harus diantisipasi. Karena itu dibutuhkan sinergi dari banyak pihak. Sebagaimana perang melawan kejahatan yang tiada mengenal kata akhir, mungkin demikian juga dalam menghadapi terorisme ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar