Senin, 31 Desember 2012

Ancaman Obesitas Ekonomi


Ancaman Obesitas Ekonomi
FX Sugiyanto ;   Kepala Pusat Pene­litian Kajian Pembangunan,
Guru Besar Fa­kultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip
SUARA MERDEKA, 29 Desember 2012



KINERJA ekonomi Indonesia 2012 tidak lebih stabil dibanding tahun 2011, sementara tahun 2013 bahkan diprediksi mengalami ”obesitas”. Walau ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 6,3%, tidak jauh berbeda dari 2012 dengan angka 6,29 %, ekonomi kita tetap rentan terhadap berbagai pemicu yang dapat mendorong goncangan-goncangan ketidakstabilan.
Berbagai paradoks masih akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih tergolong cu­kup tinggi, tetapi kesenjangan pendapatan antar­kelompok masyarakat dan antarwilayah juga cukup tinggi. Inflasi cenderung me­ningkat karena didorong peningkatan harga energi; listrik dan BBM, ancaman PHK karena peningkatan upah yang akan makin kuat, se­mentara peningkatan efisiensi sangat lambat.
Tahun 2012 ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding tahun 2011. Sampai triwulan 3 tahun 2012, pertumbuhan ekonomi diper­kirakan 6,29%, lebih rendah dari 2011 sebesar 6,46 %. Pola pertumbuhannya pun tak banyak beru­bah, konsumsi rumah tangga se­dikit menurun dari 55,61% tahun 2011 menjadi 54,96% tahun 2012, sementara investasi sedikit naik dari 24,45% tahun 2011 menjadi 24,93% tahun 2012.
Komposisi ekspor bersih 2011 tercatat 11,29% dan menurun pada 2012 karena sampai triwulan 3 baru 7,45%. Ekspor kita lebih banyak ko­moditas tradisional seperti tekstil, minyak sawit, dan karet olahan pada industri manufaktur, dan batu bara yang menjadi primadona untuk komoditas pertambangan.  Walaupun bukan hal baru, harus dicatat ekspor kita terancam tidak sustainable dalam jangka panjang.
Berbagai indikator makro, fenomena internasional, dan agenda fiskal menjadikan ekonomi Indonesia 2013 rentan dan tidak sehat. Memang berbagai lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 lebih tinggi dari 2012. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan bisa 6,5%, IMF memperkirakan 6,3%. Tetapi perkiraan pertumbuhan yang  lebih tinggi itu tidak secara otomatis meniadakan berbagai kerentanan.
Pertama; kemunculan ancaman peningkatan inflasi. Pada Januari 2013, PLN berencana menaikkan tarif dasar listrik, sementara harga minyak internasional sampai November 2012 sudah melewati 106 dolar AS per barel. Dua jenis komoditas energi ini selalu menjadi pemicu inflasi jika harganya dinaikkan. Opsi perlakuan terhadap dua komoditas itu pun terbatas;  menambah subsidi atau menaikkan harga, bermuara sama, yakni kelesuan ekonomi walau berbeda jalur.
Menaikkan  harga BBM adalah opsi yang selalu mengundang kontroversi dan respons yang cenderung politis, yang mungkin dihindari oleh partai politik menjelang Pemilu 2014. Sementara menambah subsidi, selain mengurangi kemampuan menciptakan kapasitas produktif juga bisa meningkatkan rasio defisit, yang juga meningkatkan risiko jangka panjang perekonomian. Feno­mena Yunani adalah contoh konkret akibat beban defisit fiskal.    
Ditambah situasi eksternal berupa cenderung kemelemahan rupiah pada akhir 2012,  dan peningkatan konsumsi pemerintah untuk agenda Pemilu 2014, inflasi 2013 akan lebih tinggi, kecuali otoritas moneter mampu mengendalikan jumlah uang beredar. Bank Indonesia tentu harus berpikir untuk menurunkan suku bunga industri perbankan jika kebijakan-kebijakan yang cenderung mendo­rong inflasi dari sisi penawaran tersebut dilakukan pada 2013. Ruang ini relatif terbuka karena industri perbankan saat ini sudah makin efisien.
Langkah Penghematan
Kedua; kenaikan upah dan ancaman PHK. Kenaikan upah, selain akan mendorong inflasi juga bisa menjadi pemicu, setidak-tidaknya alasan bagi pengusaha untuk mem-PHK tenaga kerja. Ancaman Apindo mem-PHK sekitar 1 juta naker tahun depan jika kenaikan upah diberlakukan, terutama pada industri tekstil, tidak bisa dianggap angin lalu. Industri tekstil tergolong industri padat karya, dan tentu paling terkena dampak dari kebijakan kenaikan upah.
Tetapi apakah cukup bijak menunda kenaikan upah buruh yang jika dibanding kebutuhan hidup layak mereka, sesungguhnya kenaikan tersebut tidak serta merta menjadikan buruh bermewah-mewah? Tentu harus ada jalan ketiga yang bisa dilakukan, yakni memangkas berbagai pengeluaran yang seharusnya tidak dibayarkan oleh perusahaan dalam kaitan operasional.
Secara rata-rata, berdasar statistik Industri yang dipublikasikan BPS, masih ada sekitar 10-15% pengeluaran yang bisa dihemat oleh sektor industri. Ruang inilah yang seharusnya dimanfaatkan. Tingginya pengeluaran industri yang tidak terkait dengan operasional, merupakan indikasi lain masih tingginya berbagai pungutan tidak resmi.
Ketiga; mempercepat peningkatan efisiensi. Kelambatan penurunan incremental capital output ratio (ICOR), yang berarti ada kelambatan peningkatan efisiensi, sesungguhnya men­cerminkan tidak fleksibel dan pemborosan sistem produksi, serta distribusi  barang dan jasa. Peningkatan efisiensi, menunjukkan peningkatan produktivitas perekonomian, baik pada produksi, distribusi, maupun pelayanan, tentu juga penghematan biaya.
Tingkat korupsi yang masih sangat tinggi adalah gambaran masih borosnya perekonomian kita. Pada Desember ini Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada urutan ke-118 dengan skor 32 dari 100, dari 176 negara yang disurvei. Jadi, langkah-langkah strategis tersebut memang harus dilakukan agar ekonomi Indonesia 2013 tidak mengalami obesitas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar