Senin, 31 Desember 2012

Di Bawah Pilar-Pilar Kebangsaan


Di Bawah Pilar-Pilar Kebangsaan
Mohamad Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 31 Desember 2012



Ulang tahun itu momentum penting, personal, dan mendalam bagi setiap insan yang merasa pernah lahir dan mungkin punya— setidaknya sedikit—rasa syukur karena tahu bahwa di dalam dirinya ada sesuatu yang bisa dikenang. 

Mungkin ini berlaku bagi kaum “minimalis” yang memiliki setumpuk “black humor” atas hidupnya sendiri dan penuh sikap skeptis karena nasib selalu mendorongnya ke garis batas, ke suatu titik, antara kecemasan yang pekat dan harapan yang selalu hampir terwujud. Dalam hidup,secara pribadi maupun sosial,dia bukan orang yang sepenuhnya terbuang. Dia selalu merasa, tak ada hal yang betul-betul patut dibanggakan sebagai suatu “prestasi”.Tapi dia tak mengakui bahwa ungkapan jiwanya itu menggambarkan rasa iri dengkinya pada dunia di sekitarnya dan orang-orang yang dikenalnya. 

Ulang tahunnya, ketika sempat dirayakan, dibikinnya tampak remang-remang. Dan itu disengaja untuk menekankan nasibnya yang tidak cerah seperti sebait puisi getir dan tamu-tamu, para sahabat yang sedikit jumlahnya, merasa disuguhi sindiran dan humorhumor tentang absurditas kehidupan, yang bagi manusia modern zaman sekarang, mengenangnya saja sudah membuatnya kehilangan daya dan vitalitas hidup mereka.

Tapi dunia ini tak dihuni hanya oleh kaum “minimalis” seperti itu. Banyak pribadi yang sadar bahwa dirinya dilahirkan untuk kemudian menjadi istimewa, yang ulang tahunnya pasti berbeda. Mungkin saja tidak tampak gemerlap, tapi jelas tidak remang-remang. Apalagi kusam seperti kantor-kantor pemerintah yang tak kebagian dana pemeliharaan. Meskipun begitu, kelihatannya agak jarang ada orang penting yang selalu siap membuang waktunya yang berharga untuk mengadakan ritus tahunan,yang berkisar di sekitar dirinya.

Kecuali waktu memang terbatas, mungkin orang juga enggan membuat dirinya menjadi bagian dari tradisi, yang hanya rutin, bahkan hampa, sesudah tiap syukuran yang diadakan mulai kehilangan makna dan esensinya yang paling penting. Baginya syukuran harus penuh rasa syukur, mendalam dan mengalir, dari sumber kreativitas dan kesalehan pribadinya. Orang dengan tipe macam ini menjadikan ulang tahunnya bukan untuk pamer prestasi, tetapi lebih untuk menyatakan suatu tanggung jawab publik atas jabatannya, bagi yang menjabat, dan atas apa yang dilakukannya dalam dunia politik, pendidikan, bisnis, atau pengelolaan organisasi sosial yang diabdikan bagi kemaslahatan publik. 

Maka, ulang tahunnya dipilih secara hati-hati, hanya pada momentum yang ada hubungannya dengan kepentingan publik, atau ketika ada sesuatu yang hendak dipertanggungjawabkan pada dunia sosialnya. Dengan kata lain, saat dia punya sesuatu untuk dikatakan dan ada kisah yang layak dibagi bersama untuk memperkaya hidup yang kering dan miskin ini. 

Taufik Kiemas,Ketua MPR, hari ini berulang tahun, di usia ke-70.Sejak zaman pergerakan PDI—sekarang menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)—yang diinjak sepatu tentara demi apa yang saat itu disebut “stabilitas”, baru sekali ini saya diundang ke ulang tahunnya. Ini tanda bahwa beliau tak selalu merayakan ulang tahunnya dengan mengundang banyak kawan.

Alasannya bisa bermacammacam. Mungkin karena tak suka dan tak begitu menikmati suasana hiruk-pikuk di tengah orang banyak. Mungkin merasa tak enak menjadi pusat perhatian. Mungkin cenderung merasa kesepian di tengah kemeriahan. Dan mungkin juga karena selama itu tak ada kisah yang layak dibagi bersama untuk menjadi keprihatinan yang bisa menggalakkan kesadaran bersama. Sekarang ada kisah di tangannya,mungkin—seperti ungkapan dalam lagu cengeng— kisah sedih tentang bangsa kita ini.Kita punya halhal penting, besar, dan agung yang bisa mengantar negara kita ke puncak kebesarannya. 

Tapi apa yang kita punya itu kita biarkan terbenam di dalam lumpur ketidakpedulian kita sendiri. Kita tidak bangga terhadap yang kita punya, tapi membelalak melihat apa yang dimiliki bangsa lain meskipun yang milik bangsa lain itu hanya sampah-sampah politikkebudayaan yang harus disapu jauh-jauh dari kehidupan kita. Liberalisme yang congkak dan serakah, pasar bebas yang mengesankan suatu kemerdekaan tapi isinya penindasan dan kolonialisasi yang mematikan, kecanggihan artikulasi kebahasaan yang memesona, tapi secara simbolik mengelabui kesadaran politikekonomi dan kebudayaan kita, apa yang kita banggakan? 

Taufik Kiemas mungkin memang dilahirkan untuk penting. Ulang tahunnya hari ini, yang dibikin meriah, tak boleh dilepaskan dari komitmennya untuk menjaga empat pilar kebangsaan itu. Meskipun sudah doyong ke belakang, di bawah empat pilar itu dia masih bisa duduk, menunggu sambil bekerja. Dan berharap. Kita tidak tahu kapan dan dari mana “wahyunya” diperoleh, tiba-tiba dalam dua tahun terakhir ini beliau tampil gencar untuk mewartakan empat pilar kehidupan bangsa yang terkubur di dalam ketidakpedulian kita sendiri. 

Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan kesatuan bangsa disosialisasikan kembali. Nilai-nilai, semangat, dan filosofi yang mengendap di bawah pilar-pilar itu dikisahkan dan diberitakan kepada kita semua,tapi kita tak begitu peduli. Kita tak menyambutnya dengan gegap gempita. Dan mungkin beliau kecewa? Pemimpin yang berpikir selalu kecewa. Dan lebih baik dirinya yang kecewa,daripada rakyat yang kecewa kepadanya. Dalam ulang tahunnya yang ke-70 hari ini, beliau berdiri di bawah empat pilar itu dengan bimbang dan merasa dipojokkan ke dalam keraguan yang menakutkan.

Dia cemas, tapi tetap berharap agar empat pilar itu tak dirobohkan orang. Dia akan tetap bekerja dan terus bekerja, semampunya, agar pilar-pilar itu kembali tegak dan entah kapan, pada suatu masa, meskipun tak lagi menjabat, beliau berharap bisa merayakan ulang tahun lagi di bawah pilar-pilar kebangsaan itu dengan rasa nyaman seperti orang duduk dengan perasaan teduh di bawah pohon yang ditanamnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar