Sabtu, 29 Desember 2012

Gus Dur, Natal, dan Spirit Toleransi


Gus Dur, Natal, dan Spirit Toleransi
Muhammadun ;  Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 26 Desember 2012



MOMENTUM Hari Raya Natal 2012 pastilah mem berikan nuansa spiritualitas yang sejuk dalam menjalani pernak-pernik kehidupan. Ajaran kasih sayang selama ini telah menjadi oase perdamaian yang meman carkan cahaya kerukunan dan ketenteraman bersama. Berkat ajaran kasih sayang pula, dialog antaragama bisa dijalankan bersama dengan penuh persau daraan. Dari kasih sayang untuk mene gakkan panji-panji keindonesiaan kita.

Momentum Natal 2012 ini tepat kiranya kalau sosok KH Abdurrahman `Gus Dur' Wahid juga kita kenang, karena kebetulan juga bersamaan dengan haul tiga tahun wafatnya beliau. Sosok Gus Dur berjasa besar dalam menegakkan panji-panji pluralisme dan toleransi di Indonesia. Perjuangannya dalam pluralitas bangsa begitu besar sehingga semua bangsa bisa saling mengerti di tengah perbedaan. Gus Dur melihat perbedaan justru sebagai media perajut persaudaraan.

Dalam konteks Natal, Gus Dur merupakan sosok paling berjasa ihwal ucapan selamat Natal. Gus Dur justru meng anjurkan agar umat Islam memberikan ucapan selamat Natal. Masih banyak umat Islam yang memegangi dogma bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain dilarang. Gus Dur menerobos itu semua dan justru menganjurkan agar antarumat beragama bisa saling berdampingan dalam pelukan kerukunan. Gus Dur menancapkan ajaran bahwa beragama jangan terjebak dalam formalisme yang dogmatis, melainkan harus mampu menghadirkan kontekstualisasi historis agar agama bisa menebarkan kedamaian dan kasih sayang.

Gus Dur sangat tegas dalam menebarkan ajaran toleransi. Beliau merangkul semua tokoh agama untuk bergandengan dalam menjaga kerukunan sesama. Peristiwa besar yang mengguncang kerukunan umat beragama, khususnya antara Islam dan Kristen, adalah peristiwa Situbondo pada Oktober 1996. Saat itu terjadi rekayasa ‘naga merah’ untuk menghancurkan ‘naga putih’. Banyak gereja hancur dirusak dan dibakar. Umat Islam tersulut oleh ‘naga merah’ untuk diadu dengan umat Kristen. Pembakaran rumah ibadah menjadi berita besar yang menggegerkan Indonesia.

Rekayasa Rezim

Kenapa Situbondo? Karena kota kecil di ujung timur Pulau Jawa itu merupakan basis umat Islam tradisional yang beratribut nahdliyin. Banyak pondok pesantren besar dan kiai ternama di Situbondo. Gus Dur menjadi sosok yang sangat dihormati di kota tersebut.

Tidak mengherankan kalau Situbondo memang sengaja ‘direkayasa’ rezim penguasa untuk menyerang Gus Dur dalam ketegangan umat beragama. Gus Dur bahkan diejek para pengkritiknya di Jakarta karena pengikutnya terlibat dalam adegan kekerasan yang jauh dari yang telah diajarkan Gus Dur selama ini.

Rekayasa ‘naga merah’ oleh rezim penguasa itu justru makin meneguhkan peran Gus Dur dalam merajut ajaran toleransi umat beragama di Indonesia. Segara setelah datang dari Roma, Italia, Gus Dur langsung menuju Situbondo.

Gus Dur secara emosional menyampaikan permintaan maaf kepada umat Kristen di Situbondo dan Indonesia. Gus Dur sangat menyesal bahwa sebagian yang terlibat mempunyai kaitan dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dari peristiwa itu, Gus Dur mengajak para kiai dan pendeta untuk saling merangkul menjaga kerukunan dan toleransi.

Dalam sebuah pesannya, Gus Dur mengatakan, “Anda kehilangan sebuah gereja yang indah, tapi Anda memperoleh sesuatu yang lebih berharga, yaitu hubungan yang kalian punyai antara satu dan yang lain.” Hubungan yang dimaksud Gus Dur ialah harmonisasi antara umat Islam dan umat Kristen dalam merajut kehidupan. Gus Dur mewanti-wanti jangan sampai umat beragama mudah terprovokasi rezim penguasa yang mengadu domba umat beragama untuk kepentingan kekuasaan.

Pernyataan Gus Dur itu diamini Romo Mangunwijaya. Romo Mangun datang bersama Gus Dur menuju Situbondo untuk bersama-sama merajut persaudaraan antarsesama.
Romo Mangun mengatakan, “Terjadinya pembakaran gereja di Situbondo membuat pihak gereja benar-benar mulai menghargai perlunya mengadakan dialog antariman dan pentingnya membangun relasi antarkelompok yang baik.” Romo Beni Susetyo melihat bahwa sebelum tragedi Situbondo, hanya sedikit aktivis gereja yang telah menyerukan pentingnya dialog antariman dan antarkelompok.
Menegakkan Kasih Sayang
Bersama Romo Mangun, para kiai Situbondo, dan pastor Situbondo, Gus Dur benar-benar menjalin persaudaraan sejati yang penuh kasih sayang. Merajut persaudaraan bagi Gus Dur merupakan proses menjadi (process of becoming), bukan proses apa adanya (process of being). Process of becoming menuntut keteguhan prinsip dalam menjalani laku kehidupan dengan terus setia dengan proses. Berbagai guncangan dan tantangan menjadi ujian berharga. Dalam hal itu, William Shakespeare, sastrawan Inggris, pernah mengatakan, “Emas akan terus mengilap kalau selalu digesek. Hidup laksana permata yang indah tatkala mendapatkan cobaan.“

Kehidupan beragama akan menjadi permata kerukunan tatkala umat beragama lolos dari beragam ujian hidup. Permata dalam beragama tak lain ialah meniupkan ajaran kasih sayang antarsesama. Spirit toleransi sebenarnya tercakup dalam ajaran kasih sayang. Mereka yang menebarkan kasih sayang bukan hanya toleran kepada sesama, melainkan juga suka bederma apa saja yang dimiliki untuk kebahagiaan sesama. Jiwa memberi pengorbanan selalu menancap dalam pribadi yang memegang teguh ajaran kasih sayang. Jiwa pemberi tak akan berkurang kasih sayang, justru semakin bertambah. Kasih sayang, semakin ditebarkan, akan semakin bertambah banyak, tak terkurangi sedikit pun.

Kasih sayang akan melenyapkan kebencian. Dengan sendirinya kebencian `menyingkir' dengan hadirnya kasih sayang. Sebab, kasih sayang membuat kebencian sebagai ramuan yang menabalkan ruh kasih sayang. Inilah pesan Natal 2012 yang harus kita pupuk bersama dalam menjaga keharmonisan beragama. Semakin bertambah kuat kepercayaan kepada agama, bertambah tinggi derajatnya di dalam pergaulan hidup, dan bertambah naik tingkah laku dan akal budinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar