Senin, 31 Desember 2012

Gus Dur sebagai Katalog Peradaban


Gus Dur sebagai Katalog Peradaban
Muhammadun ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 29 Desember 2012



Tanggal 30 Desember 2012 ini, genap tiga tahun KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Makam Gus Dur tak pernah sepi dari pengunjung, seolah masyarakat masih begitu dekat dengan Gus Dur.

Perpisahan fisik tidak menjadikan masyarakat pisah secara spiritual. Gus Dur masih dirasakan dalam setiap gerak perjuangan masyarakat, sehingga Gus Dur masih menjadi inspirasi perjuangan dalam menegakkan NKRI, meneguhkan semangat toleransi, menyegarkan kehidupan yang pluralis, serta selalu membela hak-hak kaum minoritas.

Bagi masyarakat NU, Gus Dur selalu menjadi kunci gerakan dalam upaya dinamisasi di tubuh NU. Dialah yang melakukan gerakan modernisasi tanpa melukai tradisi. Dialah yang menyeimbangkan gerakan dan pemikiran antara generasi muda dan generasi sepuh. Di tangan Gus Dur, gerakan pembaharuan di tubuh NU membuktikan kesuksesannya.

Kala Gus Dur belum memimpin NU tahun 1984, warga nahdliyin masih dibabtis publik sebagai kelompok tradisional dengan berbagai stereotip negatif; kelompok eksklusif, tidak beranjak dari kitab-kitab “mu’tabaroh”, mengagungkan tradisi, mendaur ulang pemikiran lama, serta basis komunitasnya pesantren dan komunitas “ndeso”.
Stereotip-stereotip tersebut akhirnya pudar ketika Gus Dur naik tangga Ketua Umum PBNU dalam muktamar di Situbondo tahun 1984.

Sosok Gus Dur yang darah biru dan kritis mengubah 180 derajat pola pemikiran dan pola gerakan NU. Gagasannya yang cerdas nan bernas serta gerakan politiknya yang zigzag membuat dirinya menjadi figur utama lahirnya perubahan di tubuh NU.
Kaum NU yang tadinya dianggap “ndeso” dan jauh dari sinar peradaban, ternyata bangkit menjadi komunitas besar yang menjadikan tradisi sebagai basis gerakan kulturalnya. Dengan berpegang tradisi, komunitas NU justru semakin eksesif, unik, dan menohok berbagai gerakan modern. NU bangkit di tengah gerakan modern kehilangan basis tradisinya.

Sosok Gus Dur yang telah membangkitkan tradisi inilah kemudian yang melahirkan beragam pemikiran di lingkungan NU, khususnya kaum mudanya. Darah segar pemikiran yang mengalir dalam diri Gus Dur kemudian menjalar bagi kaum muda di bawahnya.

Gagasan-gagasan segar kaum muda, walaupun sering mendapatkan petisi keras kaum tua, tetap saja berlangsung eskalatif menembus batas-batas pemikiran yang belum terjamah. Di bawah “perlindungan Gus Dur”, kaum muda terus menggali tradisinya – sambil mengkritiknya - untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer. Mereka melakukan dekonstruksi tradisi.

Tiga Problem Krusial

Menurut Ali Riyadi (2006), setidaknya ada tiga problem krusial yang menyebabkan kaum muda melakukan perubahan. Pertama, kejumudan berpikir. Masyarakat NU selama ini hanya melakukan al-muhafadhotu ala al-qodimi al-sholih, melestarikan tradisi yang relevan.

Ada anggapan bahwa tradisi berkembang dalam tubuh NU telah final, selesai, dan dapat menjawab berbagai persoalan keumatan. Tradisi berpikir yang diwariskan ulama abad pertengahan dan para kiai terdahulu selalu diagungkan dan diklaim dapat menyelesaikan segala persoalan.

Apa yang terjadi, NU lupa mengembangkan spirit wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, melakukan terobosan baru yang revolusioner. Mereka lupa bahwa tantangan kehidupan kontemporer membutuhkan kreativitas baru yang inovatif yang dapat diterima semua pihak.

Kedua, kiprah NU dalam politik formal. Dalam berbagai kesempatan, NU selalu mengumandangkan politiknya sebagai politik kebangsaan. Politik yang memberikan kemaslahatan bagi seluruh warga bangsa. Bukan politik yang perorangan dan kelompok. Di samping itu, NU secara organisasi tidak terikat sama sekali dengan organisasi politik manapun. Warga NU bebas berpolitik.

Inilah manifesto kembalinya Khitah NU 1926 di Situbondo tahun 1984. Tetapi, realitas berbicara lain. Manifesto Khitah ternyata banyak dibobol. Kerja-kerja kultural NU terbengkalai. Konsentrasi politik telah menghabiskan umur NU dalam berpolitik. Tidak heran Gus Dur pernah menyatakan bahwa separuh hidup NU itu berpolitik.

Ketiga, pengelolaan organisasi. NU belum mampu mengelola dirinya sebagai jamiyyah (organisasi). Seperti dalam pesantren, NU lebih mengandalkan karisma kiai tertentu. Program-program struktural dan kultural tidak jalan.

NU secara struktural seolah gagap. Para pengurusnya yang terbiasa dengan tradisi pesantren, gagal mengubah kulturalnya sebagai kaum profesional, sehingga kekayaan tradisi yang besar di tubuh NU tidak pernah diberdayakan secara maksimal. “NU kaya dengan buku, tetapi miskin katalog,” ujar almarhum Nurcholis Madjid dalam Muktamar Pemikiran NU di Situbondo tahun 2003.

Di tengah problem tersebut kaum muda NU gelisah. Kaum muda di sini adalah mereka yang telah merasakan kuliah di berbagai perguruan tinggi, khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dengan mendapat bekal akademis, bekal manajerial dan teori kritik sosial, kaum muda melanjutkan kegelisahan Gus Dur dalam menata kembali tradisi yang berserakan.

Mereka mulai berkumpul, berdiskusi, dan merancang agenda-agenda pemberdayaan tradisi. Lahirlah Lakpesdam NU, P3M, Jaringan Islam Liberal (JIL) di Jakarta; LKiS dan LKPSM di Yogyakarta; dan Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) di Surabaya; serta berbagai lingkar studi ke-NU-an di berbagai tempat di Jawa.
Mereka mengoorganisasi diri melakukan kajian, diskusi, penelitian, pelatihan, pemberdayaan skiil, penerbitan majalah, penerbitan buletin, penerbitan buku, dan kegiatan sosial lainnya.

Banjir pemikiran yang melanda republik NU menghentakkan banyak kalangan. Kaget sekaligus bangga. Kaum muda semenjak akhir 1980-an memelopori gerakan pembaruan pemikiran keislaman. Mereka bangga menyebut namanya Post Tradisionalisme Islam. Kekayaan tradisi pemikiran yang ada di tubuh NU dijadikan landasan gerakan kritik sosial dan kritik pergerakan.

Lambat laun mereka mengatasnamakan diri sebagai pelopor kaum liberal yang dimotori Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya.

Gaung mereka semakin bergema karena dentuman pemikiran yang mereka lahirkan tidak hanya mampu mematahkan stereotip negatif publik, tetapi juga sekaligus memukul telak kaum modernis yang miskin tradisi.

“Kaum muda NU telah menemukan kunci dan katalog buku,” mungkin demikian komentar Nurcholis Madjid kalau Tuhan tidak cepat-cepat mengambilnya. Walaupun sering kali kiai sepuh melancarkan kritik pedas, bahkan ada yang sampai dikafirkan, tetapi masih banyak kiai sepuh yang memberikan angin segar pemikiran kritis dan progresif di tubuh NU.

Kini Gus Dur telah tiada. Beliau merupakan katalog utama bagi kebangkitan peradaban NU. Warga NU harus berjuang kembali menegakkan peradaban yang telah ditinggalkan Gus Dur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar