Sabtu, 29 Desember 2012

Habibie dan Harga Diri Bangsa


Habibie dan Harga Diri Bangsa
Munawir Aziz ;  Alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 27 Desember 2012



Di akhir tahun ini, harga diri bangsa Indonesia dipertaruhkan. Tidak hanya pada level ekonomi, hukum, dan kebudayaan, namun juga pada ranah diplomasi internasional. Pelecehan terhadap mantan presiden Indonesia BJ Habibie oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin menjadi kontroversi di penghujung tahun.
Bagaimana tidak, ketika panggung politik Indonesia ramai oleh kisah perselingkuhan kekuasaan antara pejabat korup, politikus busuk, dan pejabat rakus, yang berkongkalikong mengeruk uang negara, muncul kisah tentang penghinaan atas mantan kepala negara Indonesia.

Kisah penghinaan terhadap Habibie bermula dari kunjungannya ke Universiti Selangor, sebagai tamu kehormatan Anwar Ibrahim, tokoh oposisi Malaysia. Dari kunjungan tersebut, mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin berkomentar lewat tulisan di media Utusan Malaysia, Senin (10/12).

Esai tersebut dianggap kontroversial karena menyebut BJ Habibie sebagai pengkhianat bangsa Indonesia setelah membiarkan Timor Timur pisah dari Indonesia.
Dalam tulisannya, Zainudin menyebut Habibie sebagai "penggunting dalam lipatan" terhadap Soeharto, penyebab perpecahan Indonesia dengan munculnya 48 partai politik. Zainudin juga menyebut Habibie pengkhianat bangsa karena memenuhi desakan Barat menggelar jajak pendapat di Timor Timur.

Yang paling ironis, Zainudin menyebut Habibie dan Anwar Ibrahim sebagai sesama “anjing imperialisme” (the dog of imperialism) karena telah bersedia menyerahkan negaranya ke lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) lewat kebijakan-kebijakan politik ketika keduanya memegang otoritas pemerintahan.

Martabat Bangsa

Komentar Zainudin sebagai mantan pejabat negara Malaysia terhadap Habibie, ikon teknologi dan mantan kepala negara Indonesia, perlu disikapi dengan bijaksana. Jika tidak ditanggapi dengan kepala dingin, akan muncul reaksi politik yang radikal, demonstrasi massa, dan kemudian berujung pada memanasnya hubungan politik kedua negara serumpun.

Penghinaan terhadap Habibie perlu dilihat dalam konteks realitas politik dan konstelasi diplomasi internasional antarkedua negara. Pada titik ini, penghinaan terhadap mantan kepala negara tidak bisa dibenarkan, yang jika direnungkan dapat dianggap menghina martabat bangsa.

Penghinaan juga tidak dapat dibenarkan dalam komunikasi politik, yang dapat merangsang konflik secara luas. Penghinaan politik dari negara Malaysia sudah sering terjadi, semisal pada kasus pertahanan wilayah (kasus Ambalat, Sipadan-Ligitan), seni budaya (fenomena reog), dan persoalan politik sepak bola yang memanaskan hubungan diplomatik.

Namun, sebagai negara dengan tradisi politik demokratik yang mengedepankan nilai persaudaraan, bagaimana kita menyikapinya? Penghinaan perlu dilihat sebagai momentum untuk melihat watak dan karakter bangsa.

Jika yang dihina balas menghina, posisinya akan sama rendah. Sebaliknya, warga Indonesia perlu memberi pelajaran moral kepada politikus Malaysia dengan memberi ajaran etik tanpa kekerasan. Inilah politik santun namun tegas yang perlu disampaikan sebagai citra diplomasi Indonesia.

Di sisi lain, jalur politik formal perlu dilakukan oleh DPR maupun presiden, dengan menegur keras Zainudin, sebagai mantan pejabat Malaysia.

Jalur politik formal ini penting dilakukan untuk menunjukkan martabat bangsa dengan kekuatan politik. Di satu sisi, warga Indonesia menyampaikan pesan damai berupa pelajaran etik. Di sisi lain, pada jalur politik formal, harus ada teguran keras untuk memberi pelajaran bagi perilaku politik pejabat Malaysia.

Figur Negarawan

Di tengah polemik ini, perilaku santun ditunjukkan oleh Habibie, yang justru santai dengan tudingan dari Zainudin. “Kalau ada yang menghina Anda, anggap aja sebagai sebuah pujian, bahwa dia berjam-jam memikirkan Anda, sedangkan Anda tidak sedetik pun memikirkan dia,” ungkap mantan presiden kelahiran Pare-Pare (Sulawesi Selatan), 25 Juni 1936 ini.

Sikap politik Habibie yang santun terhadap tudingan keras Zainuddin menjadi pelajaran moral yang penting bagi warga Indonesia di tengah diplomasi politik yang memanas. Habibie memilih untuk tegar dan tenang, tanpa upaya membalas dengan ucapan. Justru, sikap tenang Habibie dan kontribusinya dalam konteks teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi jawaban yang konkret.

Saya kira, kasus penghinaan terhadap Habibie hanya salah satu kisah tentang bagaimana seharusnya warga Indonesia dan politikusnya menunjukkan sikap politik elegan. Perlu ada teladan dari negarawan untuk menuntun jalan politik di negeri ini. Kita perlu tegas dan keras, namun jangan melupakan sikap toleran dan persaudaraan yang menjadi karakter dasar kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar