Sabtu, 29 Desember 2012

Jalan Tol dan Kemacetan


Jalan Tol dan Kemacetan
Azas Tigor Nainggolan ;  Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta
KOMPAS, 27 Desember 2012



Kabar atau wacana akan dilanjutkannya rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta oleh Kementerian Pekerjaan Umum kembali ramai didiskusikan.
Rencana proyek bernilai Rp 42 triliun itu mulai dipublikasikan pada 2005, tetapi terus tertunda karena penolakan publik. Sejak awal publik menolak pembangunan jalan tol dalam kota yang baru sebagai solusi bagi pemecahan kemacetan di Jakarta. 

Sekarang ini publik menyebar Petisi Online untuk mengorganisasikan penolakan.
Petisi Online itu mengatakan dan meminta dukungan pembatalan rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta. Dikatakan pula, rencananya Kementerian Pekerjaan Umum menunggu izin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo agar enam ruas jalan tol itu dapat dimulai pada 2013.

Secara khusus petisi itu bersi- kap bahwa pembangunan jalan raya baru, termasuk jalan tol dalam kota Jakarta, tidak akan menyelesaikan problem kemacetan lalu lintas di kota. Disampaikan juga pengalaman di California bahwa setiap 1 persen peningkatan panjang jalan dalam setiap mil akan menghasilkan peningkatan kendaraan yang lewat sebesar 0,9 persen dalam lima tahun (Hanson, 1995).

Petisi itu mengungkapkan sebuah studi kelayakan PT Pembangunan Jaya pada Mei 2005: setiap pertambahan jalan sepanjang 1 kilometer di Jakarta akan selalu dibarengi dengan peningkatan jumlah kendaraan sebanyak 1.923 mobil pribadi. Singkat kata, pembangunan jalan tol baru dalam kota Jakarta semakin menambah macet dan polusi udara di Jakarta.

Sementara itu, para pendukung pembangunan jalan tol tersebut mengatakan bahwa hingga saat ini rasio jalan di Jakarta baru sekitar 6,2 persen dari sekitar 661,52 kilometer persegi luas Kota Jakarta. Memang jumlah ruas jalan di Jakarta masih sangat minim dibandingkan dengan kota di luar negeri. Salah satu yang sering diajukan sebagai pembandingnya adalah Singapura: tidak macet lagi setelah rasio jalannya sudah mencapai 15 persen dari total luas wilayah.

Para pendukung pembangunan jalan tol terus mengatakan bahwa rasio jalan di Jakarta menunjukkan masih sangat kurang ideal jika dilihat peruntukannya. Banyak pula pakar mengatakan bahwa idealnya rasio jalan dengan luas wilayah adalah 10 persen agar bisa memecahkan kemacetan. Namun, dasar teori penghitungan rasio ini tidak pernah dibeberkan.

Dampak Buruk

Belajar dari pengalaman banyak negara lain, dalam sepuluh tahun terakhir beberapa pemerintah kota sudah meninggalkan pembangunan jalan tol baru di dalam kotanya. Pakar yang peduli dengan persoalan tata ruang berpendapat bahwa pembangunan enam ruas jalan tol hanya akan merusak tata ruang di Jakarta, yang kini saja sudah buruk dan semrawut.

Pembangunan jalan (tol) hanya akan menyuburkan minat warga menggunakan kendaraan bermotor pribadi dalam mobilitas mereka sehari-hari di Jakarta. Artinya, pembangunan enam ruas jalan tol hanya akan menjadi karpet merah bagi kendaraan pribadi yang jelas menjadi penyebab utama kemacetan di Jakarta. Menurut survei terakhir Dinas Perhubungan, jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 25 juta per hari. Sekitar 60 persen di antaranya menggunakan kendaraan pribadi.

Dari kacamata lingkungan hidup, pembangunan enam ruas jalan tol akan memicu kerusakan atau pencemaran lingkungan serta pemborosan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi di Jakarta. Peningkatan penggunaan kendaraan pribadi yang signifikan akan memproduksi gas karbon di udara Jakarta secara signifikan pula. Apalagi, bahan bakar yang digunakan berupa bahan bakar fosil yang masih disubsidi.

Berkaitan dengan pencemaran udara, pembangunan enam ruas jalan tol juga akan memicu angka kesakitan warga Jakarta yang terkait dengan infeksi saluran pernapasan akut. Kondisi ini tentu akan sangat menurunkan produktivitas warga Jakarta dan menguras pendapatan warga Jakarta karena sakit, khususnya warga miskin.

Revitalisasi Angkutan Umum

Penolakan yang sangat kuat dari warga biasa, pengamat transportasi, tata kota, dan lingkungan hidup terhadap rencana pembangunan enam ruas jalan tol ini melalui Petisi Online ditandai dengan terkumpulnya saat ini tidak kurang dari 4.000 penanda tangan. Penolakan itu disertai dengan usul alternatif kebijakan memecahkan masalah kemacetan di Jakarta.

Hampir semua penanda tangan Petisi Online itu mengusulkan agar sebaiknya pemerintah mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan revitalisasi angkutan umum massal di Jakarta. Solusi alternatif itu sangat logis karena penyebab utama kemacetan Jakarta adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi disebabkan buruknya layanan angkutan umum massal.

Yang seharusnya dibangun bukanlah ruang untuk kendaraan pribadi yang kapasitas angkutnya sedikit atau kecil. Jalan tol baru hanyalah karpet merah bagi kendaraan pribadi. Jadi, meningkatkan kapasitas layanan atau revitalisasi sistem layanan angkutan umum massal itulah yang harus dilakukan.

Prioritas pada revitalisasi angkutan umum tentulah tepat karena kapasitas angkutnya jauh lebih besar daripada kendaraan pribadi. Inilah yang harus dilakukan pemerintah. Revitalisasi angkutan umum itu selanjutnya bisa disertai dengan kebijakan mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi, seperti parkir mahal dan retribusi jalan elektronik.

Dapat kita bayangkan, uang Rp 42 triliun yang awalnya untuk membangun jalan tol baru difokuskan pada revitalisasi sistem angkutan umum massal seperti bus transjakarta di Jakarta. Menurut hitungan dan analisis Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, dana sebesar Rp 42 triliun itu bisa digunakan untuk merevitalisasi layanan bus transjakarta beserta seluruh bus umum reguler yang bukan transjakarta.

Saat ini daya angkut bus transjakarta baru sekitar 350.000 orang per hari. Angkutan reguler mati suri. ITDP Indonesia menghitung bahwa revitalisasi sistem bus transjakarta dan angkutan umum reguler dengan dana sebesar Rp 42 triliun bisa mengangkut 1,5 juta orang per hari dan bisa memberi layanan gratis selama 20 tahun bagi penggunanya.

Mengacu pada pertimbangan dan usul di atas, pertanyaan tentang keperluan membangun enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta sudah dapat dijawab. Tentu jawabannya adalah tidak diperlukan atau batalkan saja rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta.

Membatalkannya dapat dilakukan oleh Gubernur Jokowi dengan tidak memberi izin pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota tersebut. Lebih baik pembangunan solusi bagi pemecahan masalah kemacetan Jakarta difokuskan pada kebijakan revitalisasi sistem angkutan umum massal bus transjakarta dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Jakarta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar