Sabtu, 29 Desember 2012

Kapitalisasi Desa dengan Dana Alokasi


Kapitalisasi Desa dengan Dana Alokasi
Soemarso S Rahardjo ;  Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 26 Desember 2012



Tiga lurah dari desa di timur Pantura ikut berdemonstrasi pada 14 Desember 2012. Mereka singgah ke rumah, setelah sempat tersesat di jalan Jakarta.

Dengan fasih lurah-lurah itu menjelaskan tiga tuntutan utama yang dikumandangkan melalui unjuk rasa di depan wakil rakyat, yaitu pengangkatan perangkat desa menjadi pegawai negeri sipil, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun, dan adanya dana alokasi desa sebesar 5-10 persen dari APBN.

Dalam kaitannya dengan dana alokasi desa, mereka cepat berhitung. Kalau APBN 2013 sekitar Rp 1.500 triliun dan jumlah desa kurang lebih 70.000 maka tiap desa akan memperoleh Rp 2,1 miliar per tahun. Suatu jumlah yang besar untuk ukuran desa. Pertanyaannya, mengapa mereka sampai menuntut demikian?

Keuangan Desa

Menurut kepala-kepala desa itu, sumber penghasilan utama dari desa dapat berupa (1) Pendapatan Asli daerah (PAD); (2) Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota; (3) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah; dan (4) bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Persoalan yang mereka ungkapkan adalah minimnya PAD. Suatu hal yang wajar. Pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi pun hal senada juga terjadi. Sementara itu, dana yang berasal dari perimbangan keuangan pusat dan daerah, bagi hasil pajak daerah dan bantuan keuangan dari pemerintah, merupakan sumber-sumber tidak pasti.

Itu sangat tergantung pada kebaikan atau belas kasihan pemerintah, dan bahkan juga anggota DPR. Kedekatan hubungan dan sering terjadi peranan calo sangat dominan dalam perolehan dana-dana tersebut. Aroma komisi atau fee atau pungutan atau pemotongan atau apa pun istilahnya sangat menyengat. Intinya, kendali anggaran untuk dana-dana itu tidak berada di desa.

Sementara itu, desa harus menanggung biaya-biaya yang sumber kegiatannya berasal dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota. Salah satunya adalah proses pemilihan pemimpin. Ada pileg, pilpres, pilgub, pilbup/pilwakot, belum lagi, pilihan kepala desa itu sendiri.

Hampir setiap tahun ada pilihan pemimpin. Memang ada anggaran untuk pilihan-pilihan itu, namun, anggaran yang disediakan pada umumnya tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang diprogramkan. Belum lagi biaya/tenaga/pikiran yang harus dicurahkan untuk menambal kembali friksi-friksi yang diakibatkan oleh pilihan-pilihan tersebut.

Desa menjadi destinasi dari ambisi-ambisi politik yang berdampak pada kekohesifan masyarakat. Tidak itu saja, desa menjadi tujuan akhir tempat dilaksanakannya sebagian besar program/proyek yang dirancang dan dikelola pemerintah.
Tapi hanya sekedar lokasi. Tidak heran kalau para lurah itu berkata desa masih menjadi objek pembangunan dan ambisi politik. Semua itu dilakukan melalui kendali anggaran yang ditempatkan di pemerintah pusat atau daerah dengan infiltrasi DPR. Pandangan-pandangan di atas merupakan persepsi, yang tampaknya umum menyelimuti masyarakat desa.

Pendulum Keuangan Negara

Dalam era Orde Baru, Soeharto memang tidak mau melepas kendali anggaran bahkan kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota, atau DPR sekalipun. Semuanya digenggam pemerintah pusat. Pada zaman Reformasi, pendulum berubah.
Kendali anggaran dilonggarkan untuk mencakupi pemerintah daerah. Selanjutnya, DPR ikut berperan dalam penentuan kendali anggaran. Anggota dewan tidak hanya sekedar berdebat tentang kebijakan fiskal makro, tetapi malah berkutat pada masalah-masalah mikro proyek.

Korupsi pun merebak. Makin banyak pihak yang harus “diurusi” melalui dana APBN. Di samping itu, korupsi mengalir dari pusat ke daerah. Semua itu menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Dana pembangunan sering dijadikan “iming-iming” bagi desa untuk kepentingan finansial atau politik pribadi.

Desa tetap saja belum dapat menentukan arah pembangunan seperti yang mereka inginkan. Keresahan sosial yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini patut diduga karena bersilangnya kepentingan pemimpin pembuat keputusan dengan masyarakat tempat keputusan itu harus dilaksanakan.

Membangun dari Sumber

Tuntutan adanya alokasi dana langsung ke desa menjadi layak dipertimbangkan. Salah satu konsekuensi otonomi daerah yang dirancangkan adalah mendorong pembangunan berdasarkan inisiatif daerah masing-masing. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terjadi di daerah.

Anggapan yang mendasari adalah mereka jauh lebih mengerti tentang daerahnya dibandingkan dengan birokrat-birokrat di pemerintahan. Bagian penting dari otonomi daerah adalah keleluasaan dalam mengelola anggaran. Sayangnya, untuk bagian ini, otonomi berhenti sampai dengan kabupaten/kota. Desa masih pihak yang terpinggirkan.

Bahwa pembangunan perlu difokuskan ke desa, semua pihak telah menyadarinya. Di sektor inilah sebagian besar penduduk berada. Bahkan mereka ternyata merupakan penyumbang produksi nasional yang cukup besar.

Jika dianggap sebagian besar penduduk desa bergerak di sektor pertanian maka pada 2011 sumbangan sektor ini adalah 16 persen dari produksi domestik bruto tanpa migas. Dari angkatan kerja, pada Februari 2012, dari 112,8 juta orang bekerja, sektor pertanian ternyata menyerap 41,2 juta orang atau 36,52 persen.

Coba lihat ada ketimpangan antara sumbangan produksi nasional dan angkatan kerja. Produktivitas rendah dibanding dengan sektor lain. Siapa yang merasakan dan dapat mengubah situasi ini? Desa itu sendiri.

Dari data di atas menjadi sahihlah kalau orang berpendapat kekuatan desa perlu dikapitalisasi. Mereka perlu lebih diberi amunisi untuk mandiri dalam mengelola desanya. Perlu disadari desa merupakan unit terkecil dalam tata pemerintahan Indonesia yang selama ini seolah dianggap tidak ada.

Mereka hanya diberi kewajiban tanpa diberi bekal hak pengelolaan sumber daya. Selama ini kita bangga dengan tingkat pertumbuhan nasional yang cukup tinggi. Namun, selama ini pula orang bertanya untuk siapa pembangunan itu diperuntukkan. Desa belum merasa memperoleh manfaat optimal dari pembangunan. Kesenjangan melebar di sana.

Pertanyaannya, barangkali, bersangkutan dengan kemampuan aparat desa. Tapi, kalau hal ini yang dipersoalkan sampai kapan pun akan dianggap tidak mampu. Yang lebih penting, sebetulnya, adalah kemauan politik.

Tentu pemberdayaan perlu dilakukan secara bertahap, disesuaikan antara kemampuan dengan lingkup pembangunan yang dapat diserahkan kepada desa. Inti dari persoalan adalah bagaimana membuat pembangunan bergerak dari desa.

Bagaimana uang mengalir dan mengendap di sana, dan bagaimana desa dapat mentransformasikan angkatan kerja mereka dari sektor pertanian ke sektor lain yang lebih produktif. Ini agar mereka tidak terjebak pada urbanisasi atau menjadi TKW. Yang menyedihkan adalah kalau ketiadaan kemauan politik itu disebabkan akan hilangnya “mainan” para pemimpin di desa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar