Minggu, 30 Desember 2012

Kebencanaan sebagai Penggalangan Solidaritas Global


Kebencanaan sebagai Penggalangan Solidaritas Global
Syamsul Maarif ;  Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
MEDIA INDONESIA, 29 Desember 2012



SEBESAR-BESARNYA kepentingan diri dan kelompok, seberagamnya kepala dan pendapat, semua manusia dipersatukan oleh kemanusiaan. Segala hal yang terkait dengan kemanusiaan selalu menjadi kepentingan bersama. Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) 22–25 Oktober lalu memperlihatkan ‘hukum’ itu.

Keragaman pandangan politik, budaya, dan tingkat ekonomi negara-negara Asia yang paling menonjol di antara kawasan-kawasan lain di dunia mendadak melebur di Yog yakarta, dicairkan oleh persoalan dan tantangan bersama, yakni upaya mengurangi risiko bencana.

Pengurangan risiko bencana bukan saja terlihat melunakkan kepentingan-kepentingan kelompok negara yang begitu menonjol di bidang lain. Itu juga mengundang minat yang begitu membesarkan hati.

Konferensi Menteri Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana itu ialah satu di antara sangat sedikit perhelatan internasional dengan negara-negara peserta tampil bersemangat untuk saling membantu, dengan mengabaikan perbedaan dan konflik kepentingan. Dengan melihat pertunjukan ‘drama AMCDRR’, rasa-rasanya persoalan kemanusiaan sangat sulit dimasuki rekayasa politik.

Mungkin, karena itulah AMCDRR menarik antusiasme yang begitu besar. Bukan saja dari peserta yang berjumlah 2.600 orang yang berasal dari 72 negara dan 366 organi sasi, melainkan juga dari masyarakat DIY dan sekitarnya. Mungkin orang tak terlalu hirau istilah sukses atau tidak sukses. Saya kira tak perlu pula kita terlalu memikirkan soal itu, tapi bagaimana proses-proses perundingan di sana berjalan sedemikian lancar dan cepat perlu dicatat dan diabadikan.

Kenyataan itu akan menjadi kemubaziran bila dilewatkan begitu saja karena berbagai peserta mewakili sejumlah negara Asia Pasifik yang terlibat dalam konflik politik dan ekonomi. Namun, di AMCDRR ini negara-negara itu bisa bersama-sama membangun kesepakatan bulat--dalam waktu singkat. Padahal, konflikkonflik di antara mereka itu sama sekali tak sederhana.

Mungkin, bila perhelatan ini membahas persoalan pertahanan dan keamanan, Korea Selatan dan Korea Utara tak akan sampai membuat kesepakatan bersama. Demikian pula Palestina, Iran dengan Amerika Serikat, dan India dengan Pakistan. Namun, di AMCDRR Yogyakarta, mereka malah menjadi penjalin pemikiran-pemikiran yang berkembang dan mengawal itu menjadi deklarasi bersama.

Mengapa bisa demikian? Sebetulnya sederhana. Siapa yang akan mempersoalkan kemalangan anak-anak dan orangtua yang terkena bencana? Siapa yang akan terpikir mencari-cari alasan politik kaum papa dan lemah?

Melebur

Yang perlu dicatat pula, jumlah peserta AMCDRR Yogyakarta jauh lebih banyak daripada jumlah yang diundang. Tidak ada satu peserta mempersoalkan hal itu. Apalagi Indonesia sebagai tuan rumah. Kehadiran peserta di forum tersebut ialah terutama untuk berbagi. Tentu saja, untuk berbagi tak perlu menunggu undangan.

Suasana AMCDRR memanglah suasana kemanusiaan. Semua delegasi adalah delegasi kemanusiaan. Mereka hadir dan tampil lebih sebagai bagian dari keluarga besar umat manusia, bukan wakil dari kekuatan atau kepentingan tertentu. Setiap interest dari tiap-tiap negara peserta yang mungkin berseberangan akhirnya melebur dalam common interest berupa bagaimana upaya untuk menyelamatkan manusia dari ancaman bencana antargenerasi dapat dilakukan.

Maka, semua peserta terlihat begitu terbuka, lepas, dan leluasa berekspresi. Ketika utusan dari Kazakhstan `curhat' bahwa karena negaranya kecil dan kurang signifikan, mereka luput dari per hatian dunia. Segera seluruh peserta, dipandu Indonesia, meyakinkan Kazakhstan bahwa semua peserta siap membantu!

Ternyata, bukan cuma Kazakhstan yang tak risih mengungkapkan kekurang an dan kelemahan. Jepang, negara adidaya ekonomi dan teknologi, tanpa segan menceritakan sampai saat ini masih mempunyai masalah dalam menempatkan kembali para pengungsi tsunami ke tempat asal. Jadi setelah dua tahun, masih banyak korban yang tinggal di tempat-tempat pengungsian.

Begitu pula, negara-negara yang merasa sukses melakukan upaya-upaya pengurangan risiko bencana tidak segansegan menuturkan pengalaman mereka tanpa merasa menggurui. Andai konferensi di Yogyakarta itu mengenai pakta keamanan, dijamin sikap demikian tak akan muncul.

Kebencanaan adalah masalah kemanusiaan yang merupakan wilayah netral. Tanpa sadar ia malah menjadi kata lisator bagi persoalan-persoalan nonkebencanaan yang mandek di forum-forum perundingan lain. Terbukti, beberapa negara bersemangat memasukkan dan menawarkan solusi bagi masalah-masalah gender, perlindungan anak, penyandang cacat, masalah-masalah kelompok rentan, krisis air bersih, dan isu-isu penting dunia lainnya, yakni adaptasi pada perubahan iklim.

Penyerapan masalah-masalah strategis non kebencanan ke dalam masalah kebencanaan itu terlihat jelas dalam deklarasi yang di hasilkan. Deklarasi Yogyakarta sebagai hasil dari konferensi tersebut lebih tegas merekomendasikan komitmen politik di semua tingkat pemerintahan yang perlu diwujudkan.

Tema konferensi yang berupa Penguatan Kapasitas Lokal Dalam Pengurangan Risiko Bencana merupakan wujud kesadaran global bahwa masyarakat di tingkat lokal ialah stakeholder utama dalam pengurangan risiko bencana. Wilayah remote yang terpencil jelas merupakan target sekaligus pelaku bila terjadi bencana. Tidak ada pilihan lain, kecuali meningkatkan kapasitas lokal di tempat bencana tersebut berpotensi hadir.

Pesan simbolis yang dapat diambil dari Deklarasi Yogyakarta kepada dunia ialah penanggulangan bencana dapat menjadi salah satu saluran bagi penyelesaian masalahmasalah ekonomi, politik, dan keamanan dari aspek yang lebih soft. Karena itu, perhatian pemerintah terhadap masalah kebencanaan baik berlingkup domestik maupun di tingkat internasional tentu merupakan langkah strategis.

AMCDRR Yogyakarta mengingatkan kita kepada kepemimpinan Indonesia dalam penggalangan solidaritas Asia-Afrika pada usaha untuk melepaskan kawasan dari penjajahan pada dasawarsa 1960-1970-an. Tak salah bila AMCDRR Yogyakarta dilihat sebagai bentuk baru penggalangan solidaritas antarbenua itu--dengan ‘medan pertempuran’ yang berbeda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar