Minggu, 30 Desember 2012

Keragaman di Negeri Syahdan


Keragaman di Negeri Syahdan
Candra Malik ;  Sufi
KORAN TEMPO, 29 Desember 2012



Atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air comberan, dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa rasul yang mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti itu.
Inilah negeri syahdan. Nyaris segala sesuatu dibicarakan atas nama konon. Dari satu mulut ke satu telinga, berbisik-bisik, bicara di belakang punggung, demikian seterusnya, sampai jadilah sebuah pohon cerita yang akarnya sangat kuat, batangnya tangguh, cabang-cabangnya melebar ke mana-mana, dan jangan lagi bertanya bagaimana reranting kisah itu. Semakin jauh kabar ini diceritakan, semakin terperinci dia. Dan buah-buah dari pohon dongeng ini menjadi rebutan. Sebagian dipatuk oleh burung-burung dan diterbangkan semakin jauh lagi dan jadilah kabar burung berikutnya. Jadilah cerita-cerita baru yang semula tidak ada. 
Tapi tidak ada yang suka disebut menyebar rumor. Itu fitnah! Jika kau mulai menuduh mereka sebagai biang gosip, bersiap-siaplah dihujani dalil-dalil. Ya, negeri ini juga negeri dalil. Asalkan ada dalilnya, sesuatu dianggap sah, halal, berpahala, dan surgalah balasannya. Jika perilaku beragama diklasifikasikan menjadi tiga--yaitu beragama ala pencinta, beragama ala pedagang, dan beragama ala penagih--maka warga negeri ini lebih condong untuk beragama tidak dengan klasifikasi yang pertama. Cinta menjadi merek yang kurang menjual, sekaligus tidak bisa dipakai untuk menagih apa pun. Cinta cepat basi berhadapan dengan masyarakat negeri ini yang angin-anginan. Cinta tidak menarik untuk dilabeli halal. Justru jika dianggap melanggar aturan main. Penguasa negeri ini bisa-bisa akan mengadili cinta dan memfatwakan haram terhadapnya.
Beragama ala pedagang selalu berorientasi pada hitung-hitungan laba dan rugi. Jika berbuat ini, maka akan mendapat itu. Jika bersedekah, maka akan beroleh hadiah. Pemuka agama bersalin rupa menjadi makelar surga. Dalil-dalil tentang pahala disodorkan dalam setiap kesempatan. Entah mereka tidak paham, atau memang itulah yang mereka pahami, berlomba-lomba dalam kebaikan dipahami sebagai berlomba-lomba menumpuk pahala menjadi anak-anak tangga menembus langit sampai ke pintu surga. Semakin tinggi anak tangga yang mereka pijak, semakin kecil segala sesuatu yang tampak jika mereka menoleh ke belakang--dan ke bawah. Mereka semakin lupa diri dan lalai menginjak bumi.
Tuhan tidak pernah berdusta ketika Dia berfirman bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Kita saja yang tidak memahaminya secara jernih bahwa balasan kebaikan dari Tuhan itu adalah hadiah, imbalan, anugerah, karunia, atau apa pun namanya yang suka-suka Dia. Usia memang hanya berlaku untuk raga sehingga wajar saja jika banyak di antara kita yang berjiwa kekanak-kanakan meski raga sudah menua. Kita masih beragama dengan metode lolipop: mau disuruh ini-itu asalkan diberi permen atau uang jajan. Kita tidak mau menerima teori bahwa pada akhirnya bukan kebaikan dan pahala yang membawa kita sampai ke surga, melainkan keridhaan Tuhan.
Beragama ala penagih tidak lebih baik rasanya. Kita dipaksa-paksa untuk bersyukur atas apa yang kita terima, alami, rasakan, dan nikmati. Tidak cukup dengan bersyukur saja, kita juga dituntut untuk memberi lebih--padahal nyatanya tak ada dalil apa pun yang menyebut bahwa Tuhan meminta sesuatu dari hambanya, apalagi meminta balasan. Sedekah pun, bukankah untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan? Satu-satunya yang sampai kepada Tuhan, atau yang dihaturkan kepada-Nya, adalah ketakwaan. Bukan materi duniawi dalam bentuk apa pun. Karena itu, terasa janggal jika pemuka agama menunjukkan seribu wajah. Sangat nyaman dipandang ketika berurusan atas nama pahala dan surga, mendadak lebih bengis dari preman pasar ketika berganti topik menjadi soal dosa dan neraka.
Negeri ini semakin mengkhawatirkan ketika anak-anak di taman bermain dan sekolah dasar dididik untuk sekadar menghafal ayat-ayat. Apalagi ayat-ayat yang dihafalkan itu dikemas sedemikian rupa menjadi yel-yel yang menakutkan, semacam cinta mati pada agama tertentu. Cinta mati memang klise, nyaris selalu begitu dalam kisah-kisah asmara. Namun, apakah sudah waktunya anak-anak belajar memahami itu, apalagi jika cinta mati itu diajarkan dengan menghidupkan benci kepada pemeluk agama lain? Mencemaskan betapa anak-anak diajari untuk beranggapan bahwa perbedaan adalah suatu ancaman. Menyedihkan betapa anak-anak dicetak menjadi sosok-sosok fundamentalis justru oleh sekolah melalui ajaran tentang kekerasan dan ancaman kekerasan atas nama agama. Mereka seharusnya bermain secara alami dan tanpa prasangka kepada siapa pun temannya, bukan justru dipisah-pisahkan dalam penjara-penjara curiga dan dibeda-bedakan berdasarkan siapa Tuhannya.
Kita menyebut nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak dengan kasih dan sayang. Sebagian dari kita justru menyebut nama Tuhan dengan membawa-bawa pentungan dan memukul. Memecahi kaca, mendobrak pintu dan jendela, membakar, memaksakan kehendak, dan--semakin sering pula kita dengar--menyiksa, bahkan membunuh. Mereka meneriak-neriakkan Tuhan Maha Besar, namun justru amarah dan kemurkaan merekalah yang membesar sampai tak lagi terkendali. Atas nama agama, bahkan atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air comberan, dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa rasul yang mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti itu. Ironisnya, istana negeri ini adalah istana yang sepi dan pendiam terhadap isu-isu seperti itu. Entah tuli, entah tidak peduli.
Tuhan sesungguhnya maha baik. Dia menciptakan manusia dengan anugerah akal dan hati. Akal untuk berpikir sehat, hati untuk berperasaan kuat. Jika sehat dan kuat menyatu, manusia bisa bermanfaat bagi kemanusiaan. Alangkah sangat baik Tuhan, yang tidak hanya mengkaruniai manusia dengan akal dan hati, namun juga menurunkan para rasul untuk menebarkan cinta kasih. Mereka membawa agama yang mengajarkan cinta kasih itu. Jika akal adalah pangkal pikiran sehat, hati adalah pangkal perasaan kuat, maka agama adalah pangkal perilaku baik. Jika pikiranmu sehat, perasaanmu kuat, dan perilakumu baik, orang lain tidak akan bertanya apa agama kita dan bagaimana kita beragama. Kita telah menjelma sebagai agama itu sendiri, yaitu pembawa cinta kasih bagi manusia dan kemanusiaan.
Tapi, bagaimanapun, negeri ini adalah negeri simbol. Masyarakat lebih mementingkan kerja lidah daripada kerja iman. Sampai-sampai, mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain pun menjadi pokok bahasan berhari-hari setiap tahun dan dikhawatirkan menggerus iman dalam tempo cepat. Sesiapa yang memakai simbol tertentu, ia segera dianggap sebagai perwujudan sejati dari karakter simbol itu. Tak mengherankan jika lambang palang merah pun harus diributkan untuk diganti, karena dianggap menonjolkan simbol agama tertentu sehingga menjadi ancaman bagi agama lain. Dikhawatirkan, jika lambangnya masih itu, aktivitas kemanusiaan di dalamnya akan disusupi penyebaran ajaran agama yang tampak dari simbol itu.
Negeri ini juga negeri rahasia umum. Hal-hal yang bersifat domestik dibawa ke ranah publik, dibicarakan secara tidak sopan dan sok tahu, seolah-olah setiap orang pernah mengalami dan merasakannya sehingga mengenal dan mengerti betul pangkal persoalannya dan berhak untuk ikut campur. Masyarakatnya latah: sahut-menyahut menjadi satu, itulah negeri ini. Kepulauan dan samudra yang memisahkan tidak lagi menjadi penghalang untuk membahas tema-tema hangat, mulai dari urusan rumah tangga orang lain sampai agama orang lain. Status kawin dalam kartu tanda penduduk seolah-olah harus diperjelas: kawin dengan siapa, istri nomor berapa, siri atau sah menurut negara? Status agama dalam kartu tanda penduduk pun harus dipertegas: liberal atau anti-liberal? Inilah negeri kita, dan kita menghabiskan sangat banyak energi untuk omong-kosong. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar