Minggu, 30 Desember 2012

Malunya Parpol dan Karakter Pejabat Jakarta


Malunya Parpol dan Karakter Pejabat Jakarta
Laode Ida ;   Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI 
SINDO, 29 Desember 2012



Pada 2012 ada peristiwa yang merupakan pukulan telak terhadap eksistensi partai politik (parpol). Parpol pada akhirnya tak boleh merasa besar dan bangga kendati mereka bergabung dalam koalisi mahabesar.

Terpilihnya pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur/ wakil gubernur DKI Jakarta, yang hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra, mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung oleh seluruh parpol di luar pendukung Jokowi-Ahok. Parahnya, kekuatan besar itu ditopang kuat oleh Presiden SBY. Ini bisa berarti: (1) rakyat sudah menaruh kebencian terhadap eksistensi dan arogansi parpol, dan (2) posisi figur di mata rakyat sangat jauh lebih menentukan ketimbang parpol. 

Tepatnya, rakyat kemudian secara langsung ”mempermalukan” para elite parpol dengan mengabaikan atau mengalahkan figur yang mereka tawarkan kepada rakyat. Tapi anehnya, fenomena Pilgub DKI Jakarta itu tak dijadikan pelajaran berharga oleh para pemimpin atau pengelola parpol.Parpol masih terus ngotot ”memaksakan kehendaknya” dengan menampilkan figur pemimpinnya untuk jadi calon presiden atau wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2014—yang mulai digadang- gadang dan bahkan dideklarasikan pada tahun 2012 ini.

Padahal, baik berdasarkan polling yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei maupun pendapat masyarakat yang bisa ditemukan dalam berbagai bentuk ekspresi mereka sehari-hari, figur-figur yang diajukan oleh parpol itu begitu jauh tertinggal dibanding figur-figur independen atau tidak memiliki kendaraan politik. Itu berarti (1) parpol dianggap hanya jadi milik sekelompok elite terbatas, terutama ”milik figur pimpinannya”; 

(2) terjadi jarak atau perbedaan signifikan antara kepentingan elite parpol dengan harapan rakyat—wujud bahwa parpol tak peduli dengan kepentingan rakyat; (3) para elite parpol tidak sensitif terhadap tren perubahan pilihan politik rakyat, (4) para elite parpol mengingkari produk ilmiah-akademis, dan (5) para pengurus parpol, dengan sendirinya, menunjukkan watak yang ”tidak demokratis”, memaksakan kehendak sendiri. 

Daya serap aspirasi rakyat oleh kelembagaan politik dan parlemen masih belum optimal, atau setidaknya tak terasakan adanya perjuangan yang signifikan untuk kepentingan rakyat. Berbagai unjuk rasa yang terjadi di Jakarta, baik di Senayan maupun depan Istana Negara, hampir tak terdengar jika aspirasi mereka secara langsung bisa segera diproses atau dijadikan acuan untuk mempercepat diwujudkannya kebijakan yang relevan. 

Para perawat, misalnya, dari tahun ke tahun terus saja mendatangi Senayan meminta agar UU Keperawatan segera dibuat. Tapi hingga kini, baik pemerintah maupun DPR, belum juga menyahutinya. Bahkan tiba-tiba dimunculkan RUU tentang Tenaga Kesehatan, dan kepentingan para perawat itu hendak dilebur di dalamnya. Tepatnya adanya kecenderungan untuk bukan saja mengabaikan, tetapi bahkan menelantarkan perjuangan masyarakat dengan berbagai pengorbanan material dan moral yang telah dilakukan. 

Karakter Buruk dan Krisis Teladan 

Terdapat dua karakter utama yang terus diwariskan atau dipertahankan oleh para elite pengambil kebijakan di Jakarta dalam kaitan dengan aspirasi masyarakat atau kepentingan daerah. Pertama, berposisi sebagai ”tuan” yang selalu mau disembah, dilayani, dan bahkan ”secara paksa” meminta upeti. Setiap kunjungan ke daerah,misalnya, menjadikan para pejabat di daerah dibuat begitu sibuk melayani ”orang-orang Jakarta”, mempersiapkan hotel bahkan sebagian membayarkan biaya hotel mereka kendati sudah punya persediaan anggaran khusus untuk semua itu. 

Rumusnya sederhana, ”semakin tinggi jabatan dan atau semakin besar pengarus seseorang dalam pengambilan kebijakan (terutama anggaran) terkait dengan kepentingan daerah, akan semakin besar pula ’pengorbanan orang daerah’ dalam melayaninya.” Karakter kedua, adalah menghambat atau mengabaikan. Ketika para pejabat atau aparat dari daerah termasuk masyarakat datang di Jakarta dan bermaksud bertemu untuk menyampaikan aspirasi kepada pejabat terkait, maka kerap dipersulit dengan berbagai alasan. 

Padahal orang-orang daerah itu sudah datang dengan berbagai pengorbanan material dan moral. Sehingga orang-orang daerah memang harus memiliki derajat kesabaran yang tinggi,walau setelah diberi kesempatan untuk bertemu pun belum jadi jaminan aspirasi mereka dijadikan dasar untuk segera diproses menjadi kebijakan. Pimpinan eksekutif (presiden dan jajarannya) sebenarnya menjadi perencana, pengarah, pelaksana, pengendali dan sekaligus contoh tentang bagaimana menyelesaikan berbagai masalah bangsa, sekaligus sebagai representasi negara di mana pemerintahnya efektif untuk tercapainya tujuan nasional. 

Kenyataannya, pada 2012 ini harapan itu belum kunjung terwujud, bahkan yang terjadi sebaliknya, yakni cenderung ”hilangnya otoritas negara”, sehingga tak heran kalau sejumlah permasalahan mulai di antara elite penyelenggara negara, antarlembaga negara, sampai pada konflik horizontal di tingkat masyarakat sipil terus terjadi (di berbagai tempat) dengan berbagai korbannya. Negara demokrasi, memang, prinsipnya menolak pemerintahan otoriter, namun bukan berarti ”pemerintah harus kehilangan otoritas”. 

Apalagi pemimpin eksekutif dipilih secara langsung (paling demokratis, secara prosedur) oleh rakyat, sebuah mandat dengan derajat legitimasi sosial yang begitu kuat, di mana masyarakat umumnya menaruh harapan agar ”di tangan sang pemimpinlah masalah bisa diselesaikan dengan baik tanpa keraguan”. Apa yang mau dikatakan di sini,bahwa di tahun 2012 ini masih ditunjukkan karakter kepemimpinan bangsa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya: pemimpin dan kepemimpinan yang begitu buruk dan lemah. 

Konflik antarlembaga, seperti antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus proyek simulator SIM,sungguh merupakan contoh buruk dengan dibiarkan saja ”bergejolak”. Memang pada akhirnya Presiden SBY turun tangan dan karena tak mampu membendung arus harapan atau aspirasi masyarakat, penanganan kasus korupsi proyek simulator pengadaan SIM itu diserahkan ke KPK. Namun, sikap Presiden itu diambil setelah terjadi kisruh antarlembaga yang sangat buruk dan dipertontonkan kepada publik. 

Pada saat yang sama juga sikap keteladanan kurang ditunjukkan oleh pemimpin eksekutif kita. Bukan sekadar seperti apa yang dilakukan Bupati Garut Aceng Fikri, yang nikah kilat dan dikritik luas oleh publik bangsa ini. Itu memang contoh sangat buruk yang sempat ketahuan. Tetapi keteladanan dimaksud lebih pada upaya menunjukkan pada publik bahwa masalah yang berada di lingkar dalam pimpinan itu harus terlebih dulu diselesaikan secara tuntas. 

Sayang, kendati masa jabatan Presiden SBY hanya tinggal dua tahun lebih saja, sikap tegas untuk memberantas korupsi itu belum juga muncul. Para politisi yang terindikasi korupsi masih tetap dibiarkan, demikian juga pejabat eksekutif (di pusat dan daerah) ter-masuk adanya menteri yang sudah diketahui publik kemungkinan besar terlibat korupsi; toh masih tetap dipertahankan— kecuali Andi Mallarangeng yang dengan besar hati (setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus Proyek Hambalang) mengundurkan diri baik dari jabatannya sebagai menteri maupun jabatannya di Partai Demokrat. 

Maka, pada tingkat tertentu, tiadanya keteladanan pemimpinan inilah yang menjadikan praktik korupsi dan mafia anggaran negara tetap saja merajalela di tingkat nasional sampai ke daerah.Atau,karena kepemimpinan yang lemah dan terjadinya krisis keteladanan pemimpin inilah banyak masalah bangsa dibiarkan terus menggantung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar