Sabtu, 29 Desember 2012

Mengapa Pertumbuhan Ekonomi Memiskinkan?


Mengapa Pertumbuhan Ekonomi Memiskinkan?
Salamuddin Daeng ;   Peneliti di Indonesia for Global Justice (IGJ)
SINAR HARAPAN, 28 Desember 2012
  


Hampir dalam setiap kesempatan pemerintahan SBY mengampanyekan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi. Tampaknya pertumbuhan ekonomi ini adalah satu satunya prestasi pemerintah saat ini. Ini karena dalam bidang lain pemerintahan oleh banyak kalangan dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan.
Memang benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Namun jika ditelisik lebih dalam pertumbuhan yang dicapai oleh pemerintahan SBY dihitung dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun selama delapan tahun terahir pemerintah gagal mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Angka kemiskinan terus bertambah hingga 110 juta jiwa, diukur dengan pendapatan UD$ 2 dolar Purchasing Power Parity (PPP). Sementara pengangguran juga semakin tinggi. Sebanyak 75 persen pekerja hidup di sektor informal. Di tengah APBN yang tinggi, infrastuktur dasar rakyat justru rusak parah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa pertumbuhan yang tinggi tidak menyejahterakan rakyat? Pertanyaan ini sesungguhnya memiliki jawaban yang sederhana. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didasarkan pada perhitungan PDB yang justru sebagian besar tidak dikontribusikan oleh rakyat Indonesia. Pertumbuhan yang didasarkan PDB inilah yang menyesatkan.

Bagaimana PDB dihasilkan? Rumus PDB berdasarkan pendekatan pengeluaran adalah Y = C + I + G + (X - M). Jika diamati lebih mendasar seluruh faktor penyumbang PDB bersifat membahayakan ekonomi dan sekaligus merusak tatanan sosial dan lingkungan.

Perhatikan anatomi dari faktor-faktor pembentuk PDB Indonesia tersebut: C (Consumtion), pertumbuhan dalam konsumsi ditopang oleh kredit konsumsi, seperti credit card, kredit perumahan, kredit properti, yang saat ini telah berada pada tingkat membahayakan jika terjadi kredit macet, dikarenakan rendahnya upah, produksi, dan produktivitas nasional.

Kredit macet berpotensi meluluhlantakkan perbankan dan perekonomian nasional. Selain itu, sumber keuangan perbankan yang disalurkan untuk kredit konsumsi semakin didominasi dana asing sehingga dapat menjadi faktor pemicu bangkrutnya sektor keuangan nasional akibat terlilit utang.

Selanjutnya faktor I (Investasi), jika diamati 75 persen investasi langsung (FDI) di Indonesia berasal dari investasi luar negeri. Sementara investasi sektor keuangan derivatif seperti bursa sahan dan pasar keuangan lainnya hampir 50 persen asing. Investasi dalam surat utang pemerintah mayoritas adalah asing. Investasi pada sektor keuangan melahirkan kerentanan ekonomi yang tinggi.

Investasi dalam pertambangan, minyak, dan batu bara yang mengeruk bahan mentah untuk keperluan ekspor menjadi sumber utama dominasi dan eksploitasi modal asing atas kekayaan alam Indonesia.

Sementara G (Pengeluaran Pemerintah) adalah pengeluaran pemerintah selalu ditopang oleh utang luar negeri yang terakumulasi semakin besar. Pemerintah menetapkan sistem anggaran defisit dan memburu utang untuk meningkatkan APBN. Sementara APBN menerima beban bunga dan cicilan utang pokok yang tinggi, yang menyebabkan APBN akan ambruk jika tidak ada utang baru.

Saat ini utang luar negeri telah mencapai Rp 2.000 triliun atau 130 persen dari APBN. Akibatnya APBN Indonesia sangat rentan terhadap pergerakan nilai tukar. Sisi lain APBN Indonesia sebagian besar 70-80 persen hanya untuk pembiayaan rutin, gaji, tunjangan pemerintah, dan DPR, akibatnya peningkatan APBN tidak memiliki korelasi dengan kesejahteraan rakyat.

Yang paling membahayakan adalah X - M (Ekspor - Impor) di mana ekspor Indonesia ditopang oleh ekspor bahan mentah hasil tambang, migas, perkebunan, yang hasil dan keuntungannya dinikmati oleh segelintir perusahaan asing sebagai pelaku ekspor hasil pertambangan, migas, perkebunan. Parahnya ekspor yang dilakukan oleh investor asing dihitung sebagai ekonomi nasional.

Sisi lain Indonesia melakukan impor pangan, dan hasil industri dari negara maju. Indonesia terus mengalami defisit perdagangan dalam beberapa bulan terahir. Expor raw material telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang semakin parah dan konflik agraria yang meluas. Sementara impor hasil industri telah menyebankan petani semakin miskin dan industri nasional kolaps.

Jika didalami, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selain palsu, juga membahayakan karena sumber pertumbuhannya bersifat merusak baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Pertumbuhan ekonomi ini sama persis dengan watak ekonomi kolonial.

Dalam rezim yang berkuasa saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru semakin memiskinkan rakyat. Tidak hanya itu, pertumbuhan yang besar akan menjadi malapetaka bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar