Senin, 31 Desember 2012

Menggagas Kepemimpinan Kolektif


Menggagas Kepemimpinan Kolektif
Prabowo Subianto ;   Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra
KOMPAS, 31 Desember 2012



Artikel pendek ini lebih dimaksudkan untuk menanggapi sekaligus meluruskan tulisan di kolom Politik-Ekonomi berjudul ”Prabowo Blakblakan” yang diturunkan Kompas pada edisi 22 Desember 2012 di halaman 15.
Saya sungguh merasa terhormat materi paparan saya di forum Soegeng Sarjadi Syndicate pada 18 Desember 2012 diterbitkan oleh institusi media yang begitu penting seperti Kompas. Namun, melalui tanggapan ini, saya merasa perlu memberikan koreksi atas tulisan atau analisis tersebut. Sebab, dari paparan saya, sesungguhnya tak pernah ada sedikit pun niat atau ucapan saya yang mengatakan atau menyiratkan bahwa saya menawarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
Pengertian Demokrasi Terpimpin dapat menimbulkan suatu persepsi yang sama sekali bertabrakan dengan maksud pemaparan saya. Memang dalam pemaparan tersebut saya mengatakan bahwa demokrasi yang kita cita-citakan—demokrasi yang merupakan cita-cita saya, generasi saya, serta generasi angkatan 45 yang membesarkan saya—masih belum terwujud. Demokrasi yang sekarang ada, yakni demokrasi yang kita alami sekarang, masih jauh dari demokrasi yang kita inginkan.
Sebutlah, misalnya, masih terlalu banyak politik uang yang terjadi di demokrasi kita ini. Juga masih terlalu banyak rakyat kita yang miskin, yang akhirnya terpaksa mengharapkan pengganti uang harian mereka untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi seperti pemilihan umum. Hal inilah yang saya jelaskan sebagai salah satu dilema bagi kami yang terjun ke dunia politik.
Realitas politik kita saat ini masih jauh dari cita-cita dan harapan kita bersama. Tetapi tidak ada niat saya untuk menawarkan Demokrasi Terpimpin seperti yang pernah dijalankan presiden pertama RI, Bung Karno.
Menurut saya, hanya Bung Karno yang mampu melakukan seperti itu karena Bung Karno adalah proklamator dan pemersatu bangsa. Tak ada warga negara lain yang mampu mendapatkan dukungan luas dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Saya juga tidak setuju dengan upaya apa pun yang mengakibatkan pengekangan pers. Ini memang mungkin adalah salah persepsi yang perlu dikoreksi. Saya khawatir, jika tidak dikoreksi, pihak-pihak yang tidak suka kepada saya akan memperbesar masalah ini seolah-olah saya ingin menjadi diktator dan antidemokrasi.
Demi dan untuk Indonesia
Sebagai mantan tentara, saya mengetahui cita-cita tentara pun adalah untuk menjaga demokrasi. Seperti kita ketahui bersama, sejarah telah mencatat bahwa TNI adalah salah satu dari sedikit tentara di dunia yang mundur dari politik secara sadar dan sukarela.
Sebagaimana pemaparan saya di forum Soegeng Sarjadi Syndicate, konsep kepemimpinan yang terbaik bagi bangsa Indonesia adalah kepemimpinan kolektif yang kolegial. Suatu konsep kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional.
Di sini saya menyebut contoh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln. Begitu memenangi pemilihan presiden, Lincoln justru mengajak William H Seward, rival politiknya yang paling keras—yang sudah berhadapan dengannya selama bertahun-tahun—untuk bergabung sebagai secretary of state di dalam kabinet Lincoln dan memimpin Amerika Serikat.
Sewaktu Lincoln bertanya kepada Seward apakah ia mau bergabung, Seward malah balik bertanya dengan kaget: ”Kenapa Anda memilih saya? Anda tahu saya tidak suka kepada Anda?”
Dijawab oleh Lincoln: ”Memang saya tahu Anda tidak suka saya, dan benar saya juga tidak suka Anda. Akan tetapi, saya tahu Anda cinta Amerika Serikat. Kalau demikian, kenapa kita tidak bersama-sama bekerja untuk Amerika Serikat.”
Kurang lebih seperti itu dialog di antara mereka yang saya baca di dalam buku A Team of Rivals oleh ahli sejarah Doris Kearns Goodwin. Inilah yang saya singgung. Kepemimpinan semacam ini pun diperlihatkan oleh tokoh-tokoh pemimpin Jepang semasa Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu. Pada masa Toyotomi Hideyoshi juga demikian. Semua rival dan musuh mereka selalu diajak berunding dan bersatu untuk membangun Jepang.
Jadi, alternatif kepemimpinan yang saya tawarkan adalah kepemimpinan kolektif lintas partai, lintas suku, lintas agama. Semua itu didasarkan oleh satu kesamaan: kecintaan kepada Indonesia, kecintaan kepada rakyat Indonesia, di atas kepentingan kelompok dan pribadi. Itu napas saya, itu nilai saya, itu cita-cita saya. Demokrasi adalah nilai yang saya junjung tinggi.
Saya kira itu yang ingin saya sampaikan. Semoga dapat memperbaiki salah persepsi yang mungkin timbul di kalangan pembaca Kompas yang saya banggakan. ●

1 komentar:

  1. Salut... Jika itu yang memang pak prabowo cita-citakan, saya akan dukung

    BalasHapus