Sabtu, 29 Desember 2012

Menuju Swasembada Daging


Menuju Swasembada Daging
Ferry Ferdiansyah ;  Mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Mercubuana Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi
SUARA KARYA, 27 Desember 2012



Indonesia dan Australia menyepakati peningkatkan kerja sama pengembangan usaha dibidang peternakan sapi dan infrastruktur di kawasan Indonesia tengah dan timur. Itu sebabnya dalam kunjungan kerja beberapa waktu lalu ke Darwin, Australia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mengajak Gubernur Bali, Gubernur NTB, Gubernur NTT, dan Gubernur Papua Barat.
Format kerja sama antara kedua negara ini, terkait perternakan sapi adalah Indonesia membeli sapi dari Australia untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Namun, kerja sama semacam ini tidak lagi sesuai dengan strategi Indonesia menuju kemandirian pangan. Untuk itu, Presiden SBY ingin mengajak dunia usaha di Indonesia untuk juga memiliki komitmen, inisiatif, dan betul-betul melaksanakan investasi di bidang peternakkan sapi.
Jika diingat setahun lalu, pemerintah Australia melalui Menteri Pertanian Australia Joe Ludwig menginstruksikan mengkaji ulang ekspor sapi ke Indonesia. Langkah Australia itu, setelah menerima laporan yang dilayangkan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pencinta binatang, serta melihat tayangan program Four Corners ABC soal penanganan sapi asal negara tersebut, pada akhir Mei 2011, yang menayangkan gambar rumah pemotongan hewan memberlakukan sapi asal Australia secara kejam, mata sapi dicungkil, ekornya dipatahkan, dan tenggorokan dipotong. Ini membuat pihak Australia geram, didukung LSM pecinta hewan di sana yang memiliki posisi tawar kuat kepada pemerintahnya.
Namun, langkah yang dilakukan Australia ini, justru mendapatkan tantangan balik dari pihak Indonesia. Pemerintah menduga ancaman Australia menghentikan pasokan sapi ke Indo-nesia terkait kepanikan akan rencana swasembada daging sapi yang dicanangkan pemerintah. Indonesia menargetkan impor daging sapi hanya 10 persen dari total konsumsi nasional pada 2014.
Saat ini kebutuhan daging sapi mencapai 430 ribu ton per tahun. Dari jumlah ini, sebanyak 25 persen atau 100 ribu ton daging berasal dari impor. Konsumsi daging sapi di Indonesia dinilai masih rendah atau sekitar 2 kilogram per kapita per tahun. Dengan kondisi ini, pemerintah tak khawatir terhadap ancaman Australia yang akan menghentikan ekspor sapi ke Indonesia. Padahal, rencana swasembada itu sendiri, tidak sama dengan penghentian impor.
SBY bersama delegasi Indonesia dalam kunjungan kerja ke Darwin, Australia guna menghadiri pertemuan tahunan kedua pemimpin kedua negara, The 2nd Indonesia - Australia Annual Leaders Meeting. Salah satu agenda prioritas dalam lawatan ini, adalah kerjasama pembelian sapi dari Australia untuk memenuhi kebutuhan Indonesia yang sangat besar. Langkah itu kelihatannya memantapkan pencapaian swasembada daging sapi 2014.
Saat ini, ada empat wilayah Indonesia yang merupakan sentra daging sapi di Indonesia yakni Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua Barat. Khususnya NTT, memiliki potensi besar menjadi eksportir dan suplai daging du-nia. Daerah ini, memiliki potensi yang sama dengan Australia.
Keadaan geografisnya memiliki hamparan savana yang luas sehingga sapi-sapi dapat dilepaskan secara bebas untuk mencari pakan. Namun, kendala yang dihadapi oleh NTT adalah masalah sumber air khususnya pada musim kemarau yang biasa terjadi pada bulan September dan Oktober. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri peternak.
Alasan pemerintah untuk melakukan swasembada sapi itu, untuk memproteksi daging sapi lokal. Harga daging sapi segar impor saat ini, lebih murah sekitar Rp 15 ribu dari harga daging sapi lokal. Untuk harga daging sapi impor sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 46 ribu, sedangkan harga sapi dari peternakan sekitar Rp 55 ribu sampai Rp 60 ribu (sebelum mengalami kenaikan). Dengan perbedaan harga yang cukup tinggi itu, dapat diprediksi peternak sapi lokal mengalami kerugian yang cukup besar.
Akibat serbuan daging impor yang beredar di pasaran membuat permintaan daging lokal menurun. Kon-disi ini membawa dampak buruk bagi peternak sapi lokal. Untuk menghindari kerugian dikalangan peternak pemerintah merespon dengan meningkatkan produksi daging lokal dan membatasi daging impor.
Impor daging Indonesia saat ini, sebesar 30 persen yang didatangkan dari Australia dan Selandia Baru. Jumlah impor itu harus terus berkurang hingga tersisa 10 persen dan 90 persennya bisa dipenuhi dari daging lokal. Sebenarnya, Kebijakan pembatasan impor sapi, sudah diberlakukan sejak 2010 lalu. Dengan harapan, pada 2014 mendatang, Indonesia hanya mengimpor 85 ribu ekor sapi dari saat ini yang mencapai 260 ribu ekor sapi atau setara 460 ribu ton daging sapi. Data sensus menunjukan, total jumlah sapi di Indonesia saat ini sekitar 16 juta ekor. Adapun bentuk kerjasama dengan Australia, yakni penyediaan bibit unggul dan rumah potong hewan (RPH) modern.
Sehingga dapat disimpulkan, konsep yang ditawarkan Pemerintah Indonesia kepada investor Australia cukup bagus, yaitu menjadikan Indonesia sebagai basis peternakan sapi untuk memasok pasar ekspor dunia. Itu cukup realistis mengingat biaya produksi di Indonesia lebih murah dibandingkan di Australia. Keseriusan pemerintah, terlihat dengan mendorong empat gubernur untuk potensi pertenakan sapi guna menargetkan Indonesia agar mampu swasembada daging pada 2014.
Penekanan ini, tidak berlebihan jika dilihat dari fakta yang ada. Setiap kebijakan tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah tidak akan bisa berjalan. Selain itu, agar program ini berjalan, diperlukan dukungan infrastruktur dan kebijakan lain demi terwujudnya swasembada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar