Senin, 31 Desember 2012

Menyemai Pemikiran Gus Dur


Menyemai Pemikiran Gus Dur
Ali Usman ;   Alumnus Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 31 Desember 2012



ABDURRAHMAN Wahid telah berpulang akhir 2009 namun di mata banyak anggota orang, sosok Gus Dur terasa masih ’’hidup’’. Pemikirannya, baik lewat sikap, ucapan, maupun dalam bentuk tulisan, terbukti telah menginspirasi banyak orang untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya.

Gus Dur, menurut Salahuddin Wahid, ibarat buku yang dapat dibaca semua orang. Ia dapat dibaca oleh siapa pun, kapan saja, dan dari sudut pandang apa pun. Dalam tempo singkat, ’’buku besar’’ tersebut sulit ditemukan bandingnya (Yahya, 2010: 132). Tidaklah mengherankan bila banyak orang, dari berbagai elemen, lintas agama, etnis, hingga golongan mengekspresikan kecintaan itu kepadanya.

Kekaguman dan kecintaan masyarakat kepada Gus Dur itu bahkan mengkristal dalam wadah Gusdurian yang terlihat di ba-nyak tempat, terutama setelah dia meninggal dunia. Meskipun sebenarnya cikal-bakal pengagum Gus Dur sudah muncul tahun 1980-an, atau bahkan 1970-an saat Gus Dur bergerilya lewat LSM melakukan advokasi terhadap kelompok marginal dan tertindas.

Dalam kenangannya, Mohamad Sobary (2010:1) mengungkapkan bahwa Gus Dur, yang selama hidupnya banyak menanam budi, mungkin bisa diibaratkan bunga mawar, yang oleh penyair Irak, Ahmad al-Safi al-Najafi, disebut ratu segala bunga. Labaki, penyair Lebanon, menganggap mawar sebagai bunga abadi karena bila mawar mati, hanya warna, cahaya, dan keindahannya yang lenyap, sedang wanginya tetap.

Gus Dur mempunyai keutamaan yang menjadikan dirinya dicintai banyak orang. Di pemakaman Pesantren Tebuireng Jombang, manusia membanjiri pemakaman waktu itu serta menggelar tahlil belasungkawa selang beberapa hari, menjadi bukti nyata kecintaan itu. Gus Dur, dalam bahasa Sobary, beramal saleh secara tulus, dan masyarakat yang merasa menerima manfaat amal salehnya, membalasnya juga secara tulus.

Selain keutamaan, Gus Dur mempunyai daya tarik tersendiri sehingga masyarakat Indonesia merasa kehilangan saat ditinggalkan, dan sulit mencari pengganti. Keutamaan dan daya tarik tersebut dapat kita cermati pada warisan pemikiran dan perilaku personal semasa masih hidup. Hal tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek berikut.

Pertama; dalam bidang politik kebangsaan. Gus Dur memberikan teladan politik yang baik. Ini bisa dilihat saat menjabat sebagai presiden ataupun sebelum terjun langsung ke arena politik. Salah satu keteladanan yang ditunjukkan adalah sikap oposisi demokratik yang ia pegang sepanjang hayat, sejak ia menjabat ketua umum PBNU, ketua Dewan Syuro PKB, menjadi presiden, bahkan setelah lengser dari kursi kepresidenan sekali pun.

Pribumisasi Islam

Dalam oposisinya, Gus Dur mengajarkan untuk memperjuangkan prinsip secara teguh dan militan. Oposisi demokratik dicontohkan sekaligus dilakukan, semisal terhadap KPU yang menganulir pencalonannya sebagai presiden karena alasan kesehatan, kepada PKB yang dipimpin oleh yang notabene mantan orang dekatnya, dan kepada gagasan mainstream ketika ia menjadi presiden (Ridwan, 2010:1-2).

Kedua; dalam bidang keagamaan. Gus Dur memberikan kontribusi sangat besar terhadap perkembangan wacana pemikiran keagamaan, khususnya di Indonesia. Dalam konteks ini, salah satu gagasan yang fenomenal adalah tentang pribumisasi Islam, yang dimaksudkan sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarah, yakni bagaimana mempertemukan budaya lokal (adah) dengan norma (syariah).

Gagasan pribumisasi Islam itu kemudian memicu kontroversi luar biasa hebat sejak Gus Dur melontarkan tahun 1980-an. Tidak hanya di internal NU, yang merupakan rumah Gus Dur bernaung tapi melebar luas ke semua kalangan Islam Indonesia. Pribumisasi Islam dicurigai sebagai bentuk ’’penghinaan’’ terhadap Islam. Namun seiring perjalanan waktu, gagasan itu akhirnya banyak yang membenarkan, terutama dari generasi muda NU. Ini terjadi setelah mencermati dengan seksama apa yang dia maksudkan.

Ketiga; dalam bidang sosial budaya. Jasa Gus Dur yang tidak terlupakan adalah saat membebaskan perayaan Imlek bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Langkah yang diambil pemerintahan Gus Dur mengakibatkan Imlek yang pada waktu itu jatuh bersamaan dengan pergantian millennium, kembali dirayakan dengan meriah. Atas kebijakannya itulah Gus Dur ditahbiskan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Kini, setelah tiga tahun kepergiannya, masyarakat merindukan kehadiran pemikiran Gus Dur, manakala kesenjangan sosial, konflik horizontal, dan diskriminasi masih terjadi di bumi pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar