Sabtu, 29 Desember 2012

Mesir, Demokrasi Minus Kematangan


Mesir, Demokrasi Minus Kematangan
Ibnu Burdah ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  
SUARA MERDEKA, 28 Desember 2012



SEPERTI diduga, suara na'am (ya) yang berarti setuju terhadap rancangan konstitusi baru memperoleh  kemenangan signifikan dalam referendum putaran kedua di Mesir. Kendati masih penghitungan sementara, hasil akhir  itu hampir bisa dipastikan dimenangI oleh suara ìyaî, bahkan di beberapa wilayah kemenangan itu mencapai angka di atas 80%. 

Para analis mengaitkan kemenangan itu sebagai kehendak kuat rakyat Mesir untuk segera mewujudkan Mesir baru yang stabil. Kampanye Ikhwan selama ini memang mengusung tema stabilitas untuk memperoleh dukungan terhadap rancangan konstitusi itu. Penjelasan itu beralasan mengingat setelah kejatuhan Hosni Mubarak, Mesir terus dirundung instabilitas pada tingkat yang mengkhawatirkan, baik keamanan, politik, ekonomi, maupun sosial. 

Hasil referendum itu mengisyaratkan pesan rakyat Mesir yang begitu jelas, bahwa keadaan tidak stabil itu harus segera diakhiri. Namun apakah kemenangan itu akan menjamin bagi keterbebasan Mesir dari karut-marut keamanan dan kegaduhan politik secara berlebihan sebagaimana berlangsung dua tahun terakhir ini?

Mesir dikenal sebagai gudang sekaligus pabrik sumber daya manusia berkualitas di Timur Tengah. Hasil-hasil pemikiran para intelektual, racikan ideologi para pemimpin gerakan, karya para sastrawan serta hasil kebudayaan negara ini tersebar dan berpengaruh luas ke berbagai negara Arab. 
Implikasi sederhana bagi kenyataan ini misalnya, dialek Arab Mesir dipahami hampir oleh seluruh lapisan penduduk Arab hingga wilayah barat, seperti Maroko. 

Hal ini disebabkan penetrasi film-film Mesir dan karya sastra mereka ke berbagai negara Arab dalam tingkat sangat tinggi. Hal  itu tidak terjadi pada kebanyakan dialek-dialek Arab yang lain, bahkan negara-negara yang memiliki kemampuan finansial sangat besar dan memiliki perusahaan multinasional di bidang yang strategis. Itu semua adalah keunggulan Mesir yang terus terpelihara dalam waktu yang sangat lama.

Semua modal itu sebenarnya membuat Mesir memiliki potensi untuk mewujudkan semua cita-cita revolusi, sekaligus menciptakan terobosan penting dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan yang menjadi model di dunia Arab. Namun, semua keunggulan itu ternyata tidak serta merta mendorong kelahiran kematangan sikap tiap elemen di Mesir dalam upaya membangun demokrasi yang kuat dan stabil. 

Pentas politik di Mesir selama dua tahun terakhir ini justru terus memperlihatkan tontonan sebaliknya; egoisme kelompok yang begitu telanjang, sikap mau menang sendiri tanpa tanggung jawab memadai, dan tidak legawa menerima kekalahan demi kepentingan yang lebih luas. Sikap politikus dan sejumlah pemimpin gerakan di jalanan Mesir kadang tidak lebih dewasa ketimbang murid taman kanan-kanak. 

Lebih buruk lagi, kondisi memprihatinkan ini terus dieksploitasi oleh anasir-anasir rezim lama yang merasa terancam jika terwujud Mesir baru yang demokratis, stabil, dan menegakkan keadilan hukum. Celakanya, orang-orang ini memiliki resources yang amat besar sebagai hasil jarahan mereka terhadap harta negara selama beberapa dekade. Mereka yang semula bertiarap itu kini tampil kembali di atas panggung politik Mesir, baik dengan baju elemen masyarakat sipil, para penguasa media, maupun pemain-pemain di balik layar partai politik. 

Menjadi Ancaman

Mereka akan melakukan apa pun sebab itu menyangkut survival dan eksistensi.
Mereka tidak akan menghentikan genderang perang pascareferendum konstitusi ini. Musuh mereka adalah siapa saja yang ingin membangun Mesir yang kuat dan demokratis serta berani menegakkan hukum terhadap anasir-anasir kekuatan lama. 

Apalagi, proses pembuatan rancangan konstitusi baru itu sejak awal dipermasalahkan terutama mengenai keterwakilan elemen-elemen masyarakat Mesir dalam badan perumus draf konstitusi itu. Ikhwan dituduh mendominasi badan itu dengan menerapkan representasi hasil parlemen yang telah dianulir. 

Kini Mesir memerlukan sikap kenegarawanan pemimpin kelompok dan gerakan, pemimpin yang mengutamakan kepentingan negara dan rakyat di atas egoisme kelompok dan ambisi kekuasaan. Sistem apa pun yang akan digunakan saat ini tanpa ada semangat kebersamaan tak akan memecahkan masalah.  

Adalah naif menurut hemat saya bila kelompok oposisi yang tergabung dalam Front Penyelamat Nasional menyuarakan tuntutan referendum ulang. Tuntutan aneh lain yang mulai terdengar pascareferendum ini adalah pemilu ulang presiden setelah hasil pemilihan parlemen yang relatif demokratis juga dibatalkan. 

Saya bukanlah pendukung atau simpatisan gerakan semacam Ikhwan al-Muslimin, namun menurut hemat saya permainan kelompok-kelompok lama plus egoisme dan euforia kebebasan di Mesir yang hampir tanpa kontrol etis sudah sulit dinalar dan berisiko  mengancam masa depan negeri itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar