Sabtu, 29 Desember 2012

Perjuangkan Kedaulatan Energi


Perjuangkan Kedaulatan Energi
Ardhiyana Putra ;  Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada
SUARA KARYA, 27 Desember 2012



Keputusan cukup mengejutkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai gugatan yang diajukan oleh beberapa tokoh intelektual muslim atas UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas telah dikabulkan, meski hanya sebagian dikabulkan, setidaknya telah mampu menganulir keberadaan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai wakil pemerintah dalam urusan kuasa pertambangan. Adapun Mahkamah Konstitusi menilai keberadaan lembaga ini bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan ini laksana angin segar bagi sebagian kalangan. Alasannya, keberadaan BP Migas yang cenderung berpihak pada kepentingan asing dari pada kepentingan negara dan rakyat. Hal ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang sudah ada dimana banyak aset di bidang migas yang jumlahnya 74 persen justru dikuasai kontraktor asing. Sebut saja pengelolaan Blok Cepu oleh Exxon Mobile, Blok Mahakam oleh Total E&P dari Perancis dan Inpex Coorporation dari Jepang, dan yang terbaru adalah LNG Tangguh yang secara aneh "dimenangkan" oleh British Petroleum.
Rentetan pengkhianatan yang dilakukan oleh BP Migas tentu patut disayangkan. Hal ini mengingat pemerintah memiliki Pertamina yang notabene merupakan perusahaan milik negara. Seharusnya menjadi kewajiban negara untuk memprioritaskan pengelolaan potensi kekayaan alam kepada anak bangsa sendiri. Karena segala kekayaan alam yang dimiliki adalah anugerah yang sepenuhnya menjadi milik dan diperuntukan bagi bangsa yang mendiami wilayah tersebut.
Di bumi Indonesia justru kebalikannya, arus liberalisasi secara nyata menjangkiti model pengelolaan kekayaan alam di sektor migas. Setidaknya proses tersebut tercermin dari episode panjang kebijakan di sektor hulu pemerintah. Dimulai dengan model pengelolaannya yang sama sekali tidak mencerminkan kedaulatan dan martabat bangsa. Mulai dari izin konsesi, kontrak karya, produk sharing contract, maupun kontrak kerja sama. Kesemuanya memberikan porsi lebih pada kontraktor asing.
Bisa jadi selama ini masalah memang berada di sektor hulu. Setidaknya ini tercermin dari beberapa pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 terkait wewenang BP Migas, yakni dapat menunjuk penjual minyak bumi dan, atau gas bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Mengikuti logika ini, berarti sama saja menempatkan Pertamina dalam posisi yang setara dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Eksesnya jelas, dengan pertimbangan sumber daya dan infrastruktur yang (dianggap) lebih mumpuni, perusahaan-perusahaan asing cenderung lebih diprioritaskan. Terlebih, dalam kerja eksplorasi dan eksploitasi bebas dilakukan tanpa campur tangan pemerintah. Minimnya peran Pertamina terlihat dari total 275 Wilayah Kerja Pertambangan (WKP), Pertamina hanya menguasai sekitar 12 persen saja. Sangat miris, ditengah upaya restrukturisasi dan reformasi Pertamina yang kian menunjukkan kinerja positif.
Namun, bubarnya BP Migas, tidak serta merta menjamin terciptanya kedaulatan energi. Asumsinya, mekanisme politik yang nantinya turut andil dalam porsi lebih besar menentukan arah gerak bangsa ini. Celakanya, yang tengah menjadi tren dalam konstelasi politik Indonesia adalah kecenderungan transaksional dan terjebak dalam vested interest. Tidak hanya di sektor energi yang memang menjanjikan keuntungan besar, pun di ranah lain seperti pangan, teknologi, dan sektor lainnya kita belum mampu menunjukkan mar-tabat sebagai bangsa yang besar.
Bangsa yang besar tentu tidak dilihat dari kuantitas penduduk yang mendiami sebuah wilayah semata. Terlebih penting, bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga akan segala kekayaan yang dipunyai, yang dengan segala daya dan upaya akan berusaha mempertahankan demi tercapainya faedah bersama. Sedangkan kebutuhan bangsa ini sekarang adalah doktrin kedaulatan yang mampu menginternalisasi dalam mindset kebijakan yang dihasilkan pemerintah.
Memang benar bahwa minyak adalah sumber energi yang paling strategis, berada di jantung ekonomi modern. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi industri bergantung pada minyak. Dengan nilai strategisnya itulah, minyak telah sejak lama menjadi bahan sengketa yang sarat intrik politik sekaligus konspirasi. Dalam diplomasi, minyak adalah senjata yang ampuh dan efektif.
Pertanyaannya, negara macam apa yang rela atau dengan mudahnya menjual "kedaulatan" demi kepentingan asing? Dalam konteks ini, merujuk pada konsep Jawa, sadhumuk bathuk, sanyari bumi tak belani nganthi mati, yang bermakna, "walau hanya seluas ujung jari, bumi/tanah milik (negeri) kita, harus kita pertahankan."
Adagium ini mengisyaratkan pentingnya mempertahankan, bukan hanya keutuhan wilayah dan kedaulatan negara, tetapi juga martabat bangsa. Bukankah dalam novelnya, Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa "kita harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".
Adil sejak dalam pikiran dimaknai sebagai upaya penuh pertimbangan dengan mendasarkan diri pada asas manfaat dan kepentingan orang banyak. Paradigma semacam inilah yang senyatanya kurang dipahami dan dihayati oleh segenap elit politik, elite birokrasi di Indonesia. Sehingga tak ayal orientasi tindakannya selalu diliputi rasionalitas sempit dibumbui pragmatisme. Kebijakan adalah persoalan untung rugi. Yang menguntungan akan dibela, yang rugi tentu saja dibiarkan. Tentu bukan cerminan tindakan yang berkeadilan.
Ingat sebuah pesan patriotisme yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, "karmane vadni adikaraste maphalessu kada chana." Atau, laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang, sebab jika bukan engkau yang memetik buahnya, maka anakmu yang akan memetik, jika bukan anak-mu, pastilah cucumu yang akan memetiknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar