Senin, 31 Desember 2012

Rekayasa Tindak Pidana


Rekayasa Tindak Pidana
Nurkholis Hidayat ;   Advokat; Mantan Direktur LBH Jakarta
KOMPAS, 31 Desember 2012



Tulisan Adrianus Meliala di Kompas (24 Oktober 2012) berjudul ”Kriminalisasi” menarik untuk ditanggapi. 
Saya ingin menanggapi dua hal. Pertama, mengenai istilah kriminalisasi yang mengalami peralihan makna dari positif menjadi negatif, khususnya dalam arti makna ”... persepsi ’dijadikan’ atau minimal diupayakan untuk menjadi kriminal atau penjahat” ...sebagaimana disebut Meliala. Kedua, berkaitan dengan praktik umum dan realitas melakukan ”kriminalisasi” di kepolisian yang kelihatannya tak cukup dibahas olehnya, padahal barangkali realitas itulah yang menyebabkan istilah kriminalisasi mengalami peralihan makna.
Untuk masalah terminologi, saya sependapat dengan Meliala yang menyatakan bahwa terjadi peralihan makna. Banyak pengacara memang kerap kali menggunakan istilah ini untuk menunjukkan adanya pemaksaan dan rekayasa kepolisian atas suatu tindak pidana yang dituduhkan. Pelan-pelan publik dan media menerima istilah atau terminologi ini meski kurang pas makna gramatikalnya. Demikianlah terminologi kriminalisasi, serupa halnya kata anarkis yang juga mengalami penyempitan makna menjadi negatif dari makna sesungguhnya.
Realitas Kriminalisasi 
Sewaktu bekerja di LBH Jakarta dan menerima kasus-kasus masyarakat miskin, dalam kasus pidana saya mendapati dan mencatat setidaknya ada empat tahapan yang membentuk pola bersiklus kriminalisasi yang dilakukan penyidik kepolisian dalam memaksakan adanya suatu tindak pidana. Pertama, mengkriminalkan perbuatan perdata atau sengketa tata usaha negara.
Contoh dalam pola pertama ini, misalnya mengkriminalkan sengketa perjanjian utang piutang yang wanprestasi menjadi pidana penipuan, pinjam-meminjam jadi penggelapan, sengketa kepemilikan tanah menjadi penyerobotan, dan sebagainya.
Dalam sengketa tanah dan perkebunan, para petani sangat akrab dengan kriminalisasi seperti ini. Kita juga bisa mengingat bagaimana seorang janda pahlawan yang diadili dan sempat ditahan dituduh memasuki pekarangan orang lain di rumahnya sendiri, padahal kasus PTUN antara dirinya dan Perum Pegadaian sedang berlangsung.
Kedua, untuk mendukung teori kasusnya, polisi kemudian merekayasa fakta dan bukti-bukti, termasuk keterangan saksi dan berupaya mencocokkan dengan konstruksi pidana yang dituduhkan. Dalam proses ini, mulailah dibuat surat-surat dan dokumen, membujuk saksi dan korban kalau perlu dengan iming-iming uang untuk kian memojokkan target tersangka.
Ketiga, untuk tujuan rekayasa, tak jarang polisi melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan melakukan penyiksaan untuk memaksa para saksi dan tersangka memberikan keterangan yang diharapkan oleh polisi. Empat kali berturut-turut survei LBH Jakarta (2007, 2008, 2010, 2011) di sejumlah kota menemukan, rata- rata lebih dari 80 persen tersangka mengaku mengalami penyiksaan saat diproses di kepolisian dengan berbagai macam motif, seperti mencari informasi dan mendapatkan pengakuan.
Keempat, terkadang polisi kebablasan melakukan penganiayaan atau penyiksaan sehingga tersangka meninggal dunia. Karena panik, akhirnya polisi berupaya kembali merekayasa alasan kematian. Kasus kematian dua tahanan remaja di Polsek Sijunjung Padang yang ditangani LBH Padang memberikan gambaran jelas mengenai pola ini. Kasus ini hanya satu dari sedikit kasus yang terungkap dalam puluhan kasus kematian tersangka di tahanan kantor kepolisian.
Demikianlah akhirnya kita kerap kali mendapati kebohongan ditutupi oleh kebohongan berikutnya, rekayasa mereproduksi rekayasa berikutnya, tak berhenti dan menjadi siklus dan menyerupai lingkaran setan. Si korban yang lemah menjadi pesakitan, apalagi jika menghadapi proses tersebut tanpa bantuan hukum dari penasihat hukum.
Merugikan Polri
Kriminalisasi dalam konteks rekayasa oleh kepolisian sangat membahayakan dan merugikan tak hanya para korbanmya, tetapi juga integritas kepolisian. Rekayasa menyebabkan ketakpercayaan publik kepada polisi dan proses penegakan hukum. Adanya rekayasa oleh kepolisian kontraproduktif dengan upaya polisi menyelesaikan program reformasi birokrasi polisi yang mencanangkan tahapan lima tahun pertama sebagai tahun membangun kepercayaan. Sesuai tahapan, seharusnya saat ini reformasi sudah memasuki tahap kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan dan terutama dengan komponen masyarakat sipil lain yang selama ini kritis dengan kepolisian. Namun, praktik rekayasa kasus pidana menggerus pencapaian polisi selama ini.
Dalam banyak hal, ketiadaan penghukuman terhadap pelaku rekayasa dan minimnya akuntabilitas dalam proses pengungkapan kasus rekayasa kian memperparah kesan negatif terhadap kepolisian. LBH Jakarta dan Kontras pernah merilis jumlah kasus terkait praktik kekerasan dan kesewenang-wenangan polisi yang dilaporkan kepada Propam tetapi kurang ditindaklanjuti dengan baik. Kalaupun ada penghukuman dan penjatuhan sanksi, kerap kali informasi mengenai ini sangat susah diperoleh dan tak diberikan kepada pelapor atau korban jika tak diminta.
Kita berharap polisi kian profesional dan terhindar dari praktik tercela seperti itu. Semangat korps untuk melindungi rekan kerja jangan sampai mengalahkan risiko lebih besar terkait reputasi dan integritas institusi. Polisi harus berani membersihkan dirinya sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan banyaknya kasus kriminalisasi. Kombinasi isu profesionalitas yang terkait kapasitas SDM, infrastruktur, tingkat kesejahteraan, dan hal yang bersifat sistemik menjadi isu utama selain kultur institusi yang masih toleran dengan praktik kekerasan dan kesewenang-wenangan.
Mekanisme kontrol internal di semua tingkatan disertai penegakan disiplin, etik, dan proses hukum lain secara fair dan terbuka terhadap anggota dan perwira bermasalah menjadi titik genting.
Untuk meraih kepercayaan publik, polisi perlu membangun transparansi dan akuntabilitas. Pembaruan institusi, seperti mewajibkan diberikannya surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP), belum cukup untuk membangun transparansi dan akuntabilitas kepolisian. Informasi yang terbuka mengenai proses pengadilan dan penghukuman polisi yang bermasalah dinanti oleh para pencari keadilan, korban kesewenang- wenangan oknum polisi.
Selain faktor internal kepolisian, peraturan perundang-undangan juga memberi andil karena banyak pasal mudah mengkriminalisasi ekspresi warga negara. Misalnya penolakan atas tambang dan usaha perkebunan dapat diancam pidana. Ada puluhan aturan serupa yang dapat dengan mudah mengkriminalkan dan membungkam ekspresi warga. Peraturan perundang-undangan yang lentur mudah sekali ditafsirkan sesuai kehendak penguasa dan jadi justifikasi bagi polisi untuk mengkriminalkan warga negara.
Tipisnya persepsi atas kebebasan berekspresi dengan kejahatan karena menolak tambang, atau antara partisipasi publik dan pencemaran nama baik, di satu pihak menyulitkan polisi yang kerap bekerja dengan kacamata kuda, bekerja menegakkan hukum karena ada UU-nya atau ada pasal pidananya. Dalam titik ini, jatuhlah polisi dan penegakan hukum pada rule by law bukan lagi rule of law. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar