Sabtu, 29 Desember 2012

Skenario Besar Konflik Mesir


Skenario Besar Konflik Mesir
H Obsatar Sinaga ;  Sekretaris Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Pasca Sarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
SUARA KARYA, 26 Desember 2012



Di permukaan, orang hanya mendengar bahwa krisis horizontal di Mesir diawali dengan revolusi politik di negeri itu sejak 25 Januari 2011. Kondisi semakin memburuk dengan dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 23 November 2012. Sejak itu presiden dianggap menjalankan pemerintahan tidak demokratis.
Keputusan mengeluarkan dekrit, di belahan dunia manapun cenderung dinilai tidak demokratis karena dekrit memberikan kewenangan tanpa batas kepada penguasa. Karena itu, massa oposisi yang menentang diturunkannya dekrit turun ke jalan menggunakan alun-alun Tahrir di Pusat Kota Kairo.
Sementara itu, Presiden Mesir Muhammad Mursi terjepit dan menggalang kekuataan massa untuk menentang kekuatan oposisi yang terus demonstrasi menentang dekrit presiden 22 November lalu. Ratusan ribu pendukung Mursi dari Ikhwanul Muslimin dan Salafy turun ke jalan di Universitas Kairo. Kondisi ini mencirikan adanya potensi terjadinya krisis horizontal di Mesir.
Lantas, apakah memang pemicu utama dari konflik horinzontal di Mesir adalah dekrit semata? Apakah pertikaian antara penguasa baru Mesir dengan oposisi tidak melibatkan negara besar (greatpower) dalam perluasan pengaruh di pemerintahan hasil revolusi Mesir?
Presiden Mesir Muhammad Mursi mengeluarkan dekrit yang berisikan tentang : (1) Mahkamah Konstitusi tidak berhak membubarkan dewan konstituante, (2) Lembaga peradilan tertinggi tidak berhak meninjau semua keputusan sejak Mursi menjabat sebagai presiden sampai konstitusi baru disahkan, (3) semua keputusan Mursi sebagai presiden bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Substansi dekrit presiden ini mengandung makna pemberian kekuasaan begitu kuat kepada Mursi. Akhirnya, inilah yang menimbulkan kontroversi dan memancing kemarahan pihak oposisi untuk menggerakan massa menentang kekuasaan Mursi.
Memang apabila dikaji dari sisi substansi, cukup beralasan pihak oposisi melancarkan serangan kepada pemerintah berkuasa. Tendensi kekuasaan yang dihasilkan oleh dekrit tersebut menunjukkan bahwa Mursi menjadi penguasa yang kekuasaannya tidak dapat digoyahkan oleh kekuatan apapun. Akan tetapi justru dekrit tersebut muncul sebagai akibat dari pertikaian politik yang melanda negeri itu sejak Mursi berkuasa. Pemerintahan hasil revolusi Mursi tidak dapat bekerja maksimal karena adanya gerakan yang tidak memberikan kepercayaan penuh kepada Mursi untuk memimpin Mesir.
Karena itu muncul tuduhan dari pihak oposisi terhadap pemerintahan Mursi sebagai ancaman terhadap demokrasi di Mesir. Inti Persoalannya adalah, pertama, pemerintahan Mursi lebih mengarah kepada sistem teokrasi karena merupakan pemerintahan dukungan ikhwanul muslimin dan Salafi sebagai kekuatan fundamentalis Islam. Kekuatan ini dianggap akan membawa arah pemerintahan Mesir ke sistem garis keras yang lebih tidak demokratis. Selain itu, kedua, kekuasaan pemerintahan Mursi merupakan bahaya laten bagi pemerintahan di negara-negara lainnya sebagai good neighbour. Karena, jika pemerintahan dengan dasar teokrasi ini berhasil, tidak menutup kemungkinan akan merembet ke negara-negara tetangganya. Dengan demikian, oposisi memiliki kepentingan yang sangat kuat untuk memberikan bargaining politik kepada kubu Mursi agar rezim kerasnya tidak mengarah ke teokrasi.
Dapat dipahami bahwa sistem internasional tidak memberikan pola seperti pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Saat ini sistem internasional berada dalam peta kekuatan yang tidak berpusat pada satu negara seperti Amerika Serikat atau Rusia. Sistem internasional membentuk kekuatan yang terbagi secara merata dari beberapa negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan itu disebut greatpower sebagai pengganti super power yang mengatur tata internasional. Kekuatan mekanisme terletak pada kemampuan untuk mengatur mekanisme kerja antar negara.
Sistem dengan peran greatpower ini memberikan tekanan pada kemenangan iklim demokrasi dalam kancah pertarungan dengan sistem komunisme Eropa Timur. Akan tetapi, sistem komunisme meskipun mengalami kegagalan di Eropa masih membuktikan sifat survive di Cina. Setidaknya, negeri rumpun bambu itu mampu menyesuaikan dengan perubahan tata dunia dengan menampilkan pola ekonomi pasar sosialis yang saat ini menjadi trend menjanjikan pada tata dunia baru. Ini lantas disebut sebagai neoliberalisme.
Selain itu, kondisi greatpower memberikan kemungkinan bagi peran dari negara-negara besar itu untuk melakukan kerja internasional mereka secara bersama da-lam menjaga kembali sistem otokrasi totaliter yang biasa-nya dikembangkan dalam pemikiran teokrasi. Artinya, negara-negara besar memandang bahwa bahaya laten yang dianggap menjadi ancaman bagi neo liberalisme adalah kekuatan teokrasi yang berasal dari kaum fundamentalis Islam.
Persepsi ancaman ini berlaku pula pada pemerintahan Mursi di Mesir yang dinilai merupakan ancaman baru yang dimulai dari pusaran kekuatan studi tentang Islam. Mesir selama ini dikenal sebagai pusat perkembangan budaya Islam yang ditandai dengan adanya Al-Azhar University sebagai stimulator perkembangan studi Islam. Akan tetapi, saat ini Kairo sudah tidak menyimpan kekuatan itu lagi dengan terjadinya revolusi di Mesir.
Apabila dipahami secara lebih mendasar, peran greatpower untuk memporakporandakan kekuatan Islam di Mesir masih belum selesai. Skenario awal memang dimulai dengan menggulingkan regim Hosni mubarak. Kejatuhan Hosni Mubarak menjadi awal dari setting yang diatur untuk menghancurkan negeri yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam di dunia.
Skenario besar itu berlanjut membenturkan kekuatan Mursi dengan dukungan ikhwanul muslimin yang dianggap menjadi ancaman baru bagi negeri tetangganya, dengan kelompok kaum oposisi yang didukung greatpower. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar