Kamis, 31 Januari 2013

Aceng dan Jalan Menurun


Aceng dan Jalan Menurun
Hartono Sri Danan Djoyo ;  Guru, Hipnoterapis, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA, 30 Januari 2013



MENGAWALI ulasan, perlu membuat sintesis sederhana terhadap beberapa orang di sekitar kita. Ada seorang atau sekelompok yang bisa kita golongkan sebagai orang baik. Label untuk mereka melimpah, sesuai dengan kebaikan yang mereka lakukan atau berikan. Mereka kita kenal dengan sebutan ’’si juru adil’’ saat memutus, ’’si amanah’’ saat memimpin, dan ’’si penyabar’’ tatkala bersinggungan dengan kepentingan pribadinya.

Mereka selalu menyediakan alasan bagi kita untuk meluangkan ruang hati lebih lebar, mengikuti apa yang mereka pinta. Orang demikian tersebar merata, dari strata tinggi hingga rendah. Mereka paham benar bahwa yang terpenting dalam kehidupan bukan jenis peran melainkan kesungguhan memerankan kehidupan.

Sebaliknya, ada yang kita kelompokkan sebagai orang ’’sebaiknya’’. Berbeda dari kelompok pertama, label untuk orang atau kelompok ini pun bermacam-macam: telengas, keras hati, arogan, dan sebagainya. Selalu saja hati kita terusik untuk mengajari mereka dengan awal artikulasi, ’’sebaiknya’’.

Sebagaimana kelompok pertama, orang ini pun tersebar merata pada semua lapisan eksistensi. Seolah-olah mereka lupa bahwa apa pun posisi mereka, kelebihan yang dimiliki sejatinya merupakan atribut semu yang harus mereka kembalikan pada ’’sang pemilik’’.

Tahun 1960 Dr Maxwell Maltzl meletakkan dasar-dasar pyscho-cybernetic. Dia menjelaskan bahwa dalam diri manusia ada gerakan internal yang membentuk kecenderungan menampilkan sosok pribadi tertentu.

Kecenderungan itu membentuk kendali otomatis yang tanpa dia sadari (unconsciously) selalu memperjuangkan citra diri yang diyakini ideal. Orang baik akan selalu memperjuangkan kebaikannya, demikian pula orang ’’sebaliknya’’.
Yang perlu mendapatkan cukup pemahanan adalah bahwa kendali otomatis itu terbentuk dari hasil belajar semasa kecil. Apa yang anak pelajari dari lingkungan dan orang terdekat akan menjadi program yang kelak menjadi sistem kontrol jalan kehidupan.

Individu kecil yang kemudian jadi sosok matang saat dewasa, benar-benar karena faktor pengasuhnya (orang tua dan saudara). Itu artinya bahwa seperti apa citra diri seorang individu benar-benar sebatas modal pengetahuan yang ada di pikiran.
Berangkat dari teori cybernetic, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang pemimpin lahir karena dilahirkan. Kualitas seorang raja lahir dari keluarga (berkualitas) raja, dan jelata lahir dari kaum yang sama.

Kehadiran ’’kasta’’ atau ’’darah’’ tertentu yang dicitrakan melekat pada sosok individu merupakan contoh dari edukasi atau pengaderan seseorang menjadi pemimpin. 

Yang menjadi persoalan adalah sudahkah materi sistem psycho-cybernetic kepemimpinan utuh diterima oleh individu calon pemimpin? Setelah memasang kendali untuk meraih kekuasaan, benarkah orang tua juga telah memasang kendali saat (anak yang kemudian menjadi dewasa) berkuasa, dan kendali ketika hendak mengakhiri kekuasaan? Perlu menggugat realitas itu mengingat Kondisi demikian perlu digugat melihat kenyataan bahwa begitu banyak pemimpin (bupati, gubernur, hingga menteri) tersandung masalah. 

Jalan Menurun

Desentralisasi kekuasaan yang digulirkan dalam paket kebijakan otda (1999) menambah panjang deret fakta akan keberkurangan pemahaman teori cybernetic. Sejak 2004 dilaporkan lebih dari 173 kepala daerah terjerat masalah, dan 70% di antaranya telah berkekuatan hukum tetap (Info Publik, 17/04/12). Itu artinya mereka harus berhenti di tengah jalan, turun dari kekuasaan. Deret itu makin panjang bila fortofolio pemimpin ditarik lebih lebar ke jalur birokrasi dan partai.

Menjadi Reflektor

Persoalan yang menjerat mereka beragam, umumnya mengerucut pada dua persoalan besar: korupsi dan libido seks. Dua persoalan itu begitu lekat dengan kekuasaan; hingga mengesankan bahwa seks dan korupsi linier dengan tingginya kekuasaan. Artinya, makin besar kekuasaan seseorang, makin terbuka kecenderungan mereka bergelut dengan persoalan seks dan korupsi. 

Kemunduran mantan menpora Andi Alifian Mallarangeng karena sangkaan korupsi dan upaya pemakzulan Bupati Garut Aceng M Fikri karena pernikahan kilat menjadi bukti kuat bahwa pemahaman cybernetic belum sempurna. 

Meski terlambat, kesigapan Andi turun dari jabatan begitu ia ditetapkan sebagai tersangka jauh lebih bermartabat dibandingkan ketika dirinya harus menunda untuk jangka yang lebih lama. 

Hal senada berlaku pada Aceng. Demi melihat desakan kuat publik Garut, pemakzulan terhadap dirinya oleh DPRD bisa jadi menjadi penanda positif bagi dia untuk mengakhiri kekuasaan. Itu artinya upaya untuk melawan putusan MA melalui pengacara (SM, 23/01/12) tak perlu diteruskan. 

Dalam perspektif hipnoterapi, kejadian (luar biasa) seorang individu dak sepenuhnya terlepas dari pemahaman mereka. Diinginkan atau tidak, seorang individu akan mengalami peristiwa sebatas instalasi program bawah sadar.  Sinyal kejadian telah mereka terima sebelumnya, dalam beragam bentuk namun umumnya ditandai mobilitas publik dan ketidaknyamanan psikologis. 

Teori psycho-cybernetic bisa menjadi reflektor bijak bagi pemimpin yang masih berkuasa. Cepat atau lambat mereka harus melintasi jalan menurun. Turun secara elegan, turun dengan bermartabat, atau turun terbanting, sepenuhnya jadi opsi bagi yang menjalani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar