Minggu, 27 Januari 2013

Ekosistem


Ekosistem
Sarlito Wirawan Sarwono  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 27 Januari 2013



Pada 27 Maret 2009 dini hari, Situ Gintung di Ciputat jebol. Entah berapa juta meter kubik air tumpah, menyiram permukiman Cirendeu dan penghuni-penghuninya yang sedang tidur lelap. 95 jiwa melayang dan tidak terhitung kerugian material yang ditimbulkan. 

Kami, sejumlah warga yang tinggal di sekitar Situ Gintung (saya tinggal di Kompleks UI, Ciputat, tepat di tepi situ) sangat prihatin melihat situ yang indah itu, tiba-tiba kering kerontang, dan mengharapkan agar situ itu dan kehidupan masyarakatnya bisa kembali normal. Karena itu, kami bersepakat untuk membentuk sebuah perkumpulan yang kami beri nama MPSG (Masyarakat Peduli Situ Gintung). 

Tanggal 19 November 2009, saya dengan beberapa teman dari MPSG menghadap Menteri Pekerjaan Umum Bapak Djoko Kirmanto untuk menyampaikan keprihatinan kami dan malam harinya menteri langsung mengutus Dirjen Pengairan dan Dirjen Sumber Daya Air beserta Kepala Balai Besar ketika itu, Bapak Pietoyo Subandrio. Mereka menemui masyarakat Situ Gintung yang berkumpul di gedung ISCI (International Sport Center Indonesia) juga di tepi situ, guna menyosialisasikan rencana pemerintah untuk memperbaiki bendungan dan memulihkan kondisi Situ Gintung kepada keadaannya semula. 

Pertemuan yang diadakan di Gedung ISCI, Situ Gintung itu telah melegakan masyarakat dan benar, kurang dari dua tahun kemudian bendungan sudah pulih dan kondisi Situ Gintung sudah kembali seperti semula. Bahkan sekarang dilengkapi dengan jogging track, rumah penjaga, dan Bangunan Pusat Informasi Situ. Akan tetapi setelah beberapa saat kondisi Situ Gintung pulih, terlihat bahwa penjagaan dan pemeliharaan situ sangat kurang. Keramba-keramba ikan yang membahayakan dan sudah dilarang oleh Kepala Balai Besar Bapak Pietoyo sewaktu briefing sebelum perbaikan, muncul lagi. 

Beberapa halaman liar penghuni yang seharusnya untuk jalur jogging track belum berhasil dibebaskan, sepanjang jogging track bukan hanya menjadi sarana olah raga dan rekreasi keluarga di pagi hari, tetapi pada malam hari dijadikan ajang berbuat mesum, bahkan lampu-lampu dipecahkan oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab, dan kabel-kabel listrik dipotong dan dicuri. Rumah jaga sudah dikontrakkan/disewakan kepada para PKL (pedagang kaki lima), Pusat Informasi Situ dan lapangan parkir terbengkelai dan tidak terawat. 

Untuk menanggulangi keadaan ini,kami dari MPSG dan organisasi serupa di Situ Gintung pernah mencoba menghubungi lurah, camat, bahkan wali kota Tangerang Selatan, namun jawaban-jawaban beliau-beliau jauh dari memuaskan. Salah satu alasannya adalah bahwa Situ Gintung tersebut belum diserahkan dari proyek ke pemda,sehingga pemda merasa tidak punya wewenang untuk mengatur Situ. Sementara itu, peluang ini disalahgunakan terus oleh sebagian masyarakat, bahkan sebagian ada yang didukung oleh oknum aparat pemerintah sendiri, sehingga mengancam kelestarian situ yang baru selesai direnovasi tersebut dan bukan mustahil pada suatu saat bendungan akan jebol lagi. 

Di UI, ada sebuah program studi tentang Ilmu Lingkungan atau Ekologi. Dalam ekologi ada yang namanya ekosistem, yaitu sistem (alamiah) yang mengatur tata hubungan antara seluruh isi bumi (makro sistem) maupun isi lingkungan tertentu (mikro sistem), baik makhluk hidup maupun benda mati. Misalnya, air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, atau kalau beberapa tumbuhan mati, maka hewan pemangsa tumbuhan itu ikut mati, sebaliknya mungkin lahir jenis makhluk baru yang lebih sesuai dengan keadaan jaman. 

Gajah yang kita kenal sekarang jauh lebih kecil dari mammoth (gajah raksasa) yang pernah hidup jutaan tahun yang lalu, tetapi sekarang sudah punah. Manusia adalah makhluk di dalam ekosistem yang paling aktif mengintervensi sistem yang ada untuk kepentingannya sendiri. Manusia membangun rumah, membuat bendungan, mengembangkan kota, mengeruk tambang, yang semuanya mau atau tidak mau harus mengubah ekosistem walaupun tidak selalu merusak lingkungan. 

Situ Gintung, misalnya, pada hakikatnya adalah sebuah bendungan yang dibuat pemerintah Belanda tahun 1930-an untuk mengairi sawah-sawah yang terhampar di bawahnya, yang sekarang menjadi permukiman Cirendeu. Intervensi terhadap ekosistem yang dilakukan pemerintah pada waktu itu tidak mengganggu ekosistem secara keseluruhan,karena ada pintu air, ada kali-kali dan situ-situ lain di sekitar yang tidak diganggu, hutan dan tanaman tetap menjamin resapan air yang baik dsb. 

Tetapi pada tahun 2009, ketika bendungan itu jebol, tidak ada seorang pun (termasuk pemerintah) yang berpikir tentang ekosistem di lingkungan situ. Sawah sudah jadi perumahan, situ-situ dan kali-kali di sekitar sudah diuruk menjadi perumahan atau tempat buang sampah, air situ dijadikan tempat usaha keramba ikan sehingga mempercepat pendangkalan, resapan air jadi permukiman dan sebagainya, sehingga akhirnya bendungan pun jebol. 

Celakanya, ketika Kementerian PU sudah merenovasi situ, kelihatannya orang tetap tidak peduli pada lingkungannya. Sarana dan prasarana tidak terpelihara, masyarakat membangun keramba lagi,dan pemerintah lokal lepas tangan. Ujung-ujungnya, jangan salahkan bunda mengandung jika suatu saat kelak Situ Gintung jebol lagi. 

Tanggal 17 Januari 2013 Jakarta terkepung banjir. Jokowi dan Basuki langsung terjun ke lapangan. DKI dinyatakan darurat banjir. Bendungan-bendungan yang bocor segera ditutup. TNI sampai Satpol PP dikerahkan semua. Perahu karet, kendaraan amfibi marinir, penyelam militer dan sipil semua dikerahkan. Posko-posko didirikan bersama masyarakat, dan Rumah susun disiapkan untuk para pengungsi. Tetapi bukan itu saja. Gubernur sadar bahwa banjir ini adalah akibat salah sistem.

Maka sebelum banjir terjadi, Jokowi sudah sowan (mengunjungi) gubernur Jabar dan gubernur Banten.Pada saat banjir sedang kencang-kencangnya, bahkan Jokowi berkoordinasi dengan presiden dan para menteri. Semuanya itu demi penanggulangan banjir secara sistemik. Walaupun demikian, ketika dalam acara “100 Hari Jokowi- Basuki” di tv, pewawancara bertanya, “apakah sudah semua upaya ini Jakarta tidak akan kebanjiran lagi, Jokowi tidak bisa memastikan?” “Jakarta sudah kebanjiran sejak 1932,” katanya. 

“Daerah-daerah resapan air sudah jadi be-ton bangunan, dan mereka sudah mengantongi izin. Kalau saya (Jokowi) mengusir mereka, dan mereka PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)-kan saya, dan saya kalah....mau apa?” Jadi, walaupun ada Jokowi dan Basuki sebagai gubernur dan wagub, banjir Jakarta akan terulang dan terulang lagi, sama dengan Situ Gintung yang akan jebol lagi, selama manusia-manusia yang menjadi bagian dari ekosistem tidak peduli pada ekosistem dan malah terus-menerus membuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam yang mengatur ekosistem, seperti terus-terusan membuang sampah sembarangan, membangun gedung-gedung di jalur hijau, atau rumah-rumah di bantaran sungai, atau selama LSM atau mahasiswa terusmenerus membela PKL (pedagang kaki lima) yang melanggar aturan tata kota. 

Dalam setiap pertarungan manusia melawan alam, ujung-ujungnya manusia pasti kalah. Alam kok dilawan. Di situlah perlunya setiap manusia, siapa pun dia,harus sadar ekosistem, yaitu bahwa dia tidak hidup sendirian di ruang hampa, melainkan hidup bersama seluruh isi alam dan menjadi bahagian dari suatu ekosistem tertentu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar