Senin, 28 Januari 2013

Indonesa 2030


Indonesa 2030
Odang Mochtar ; Praktisi Jaminan Sosial
KOMPAS, 28 Januari 2013



Disebutkan bahwa pada tahun 2030 kita memiliki 135 juta penduduk penyandang consuming class dengan 71 persen penduduk perkotaannya memproduksi 86 persen produk domestik bruto. Kita juga membuka peluang pasar 1,8 triliun dollar AS dalam jasa konsumen, pertanian, perikanan, sumber daya alam, dan pendidikan (McKinsey).

Kalau itu adalah ramalan makroekonomi, bagaimana dengan kemampuan keuangan 28,8 juta penduduk berusia di atas 60 tahun pada 2030? Apakah nasib ekonomi mereka akan sama dengan penduduk lansia sekarang yang sebagian besar mengharapkan bantuan langsung tunai, kartu sehat, belas kasihan sanak keluarga sekitar, atau bahkan menjadi pengemis di simpang jalan? Tidak!

Dengan mengasumsikan bahwa presiden meneken turunan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta kita peduli dan patuh melaksanakannya, bisa jadi pada 2030 penduduk berusia di atas 60 tahun memperoleh hak tunjangan pensiun mirip pegawai negeri sipil, yang besarnya sedikitnya 30 persen upahnya pada 2030! Bagaimana caranya?

Gerakan buruh melalui demonstrasi, yang tercatat menghasilkan putusan kenaikan upah minimum provinsi yang oleh menteri tenaga kerja dikatakan naik rata-rata 19 persen dan disahkannya UU BPJS di pengujung tahun 2012, ke depan ini harus efektif mewujudkan kesejahteraan materiil (upah dan jaminan sosial), sekaligus kekuatan alternatif memerangi jurang ketidakadilan ekonomi.

Sampai dengan musibah banjir Jakarta, dinamika realisasi hasil pergerakan itu masih mendaki batu terjal: upah minimum provinsi 2013 menghadapi penolakan dari organisasi pengusaha Apindo dan Kadin lengkap dengan ancaman keluar dari lembaga tripartit. Sementara itu, hak jaminan pensiun dan kesehatan masih menunggu seperangkat peraturan turunan kedua UU SJSN dan BPJS.

Keberanian Presiden

Segudang kontroversi di kalangan pemangku kepentingan jaminan sosial harus berujung pada keberanian presiden meneken peraturan pelaksanaan. Untuk itu semua, harus disingkirkan kontroversi apakah buruh ikut membayar iuran jaminan kesehatan sesuai dengan perintah UU SJSN? Berapa tingkat dan bagaimana struktur iurannya? Layakkah peraturan pelaksanaan jaminan sosial mengatur juga pilihan peserta tingkat manfaat dan, karena itu, bolehkah BPJS mengelola iuran (sukarela)?

Sangat perlu dicatat: seluruh iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana jaminan sosial yang dimaksud UU SJSN, yang karakternya sangat berbeda dengan penerimaan iuran (premi) dalam industri asuransi.

Sebenarnya ketiga pihak memiliki kepentingan bersama. Pekerja butuh upah (dan jaminan sosial) layak yang berkorelasi dengan daya beli. Kemudian, dengan kewajiban dalam SJSN/BPJS, pengusaha mentransfer sebagian biaya jaminan sosial ke konsumen. Pemerintah berkepentingan buka lapangan kerja seoptimal mungkin. 
Temukanlah keseimbangan dinamis! Jika tak ketemu, maka presiden memutuskan.

Mampukah bangsa ini, khususnya buruh dan pengusaha, mencapai konsensus: kita harus punya visi bersama ”membangun lapangan kerja dengan produktivitas optimal setinggi mungkin”. Bersatu kita tangguh, bercerai kita runtuh. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar