Minggu, 27 Januari 2013

Keputusan Naif MK


Keputusan Naif MK
Aribowo Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
REPUBLIKA, 26 Januari 2013



Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan naif. Kali ini keputusan naif MK dijatuhkan pada Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Keputusan MK membubarkan RSBI dan SBI ibarat ada seorang siswa yang kaki kanannya dilatih terus untuk menendang bola. Akibatnya kaki kanannya lebih padat dan indah daripada kaki kirinya. Melihat hal ini maka MK memutuskan untuk memotong kaki kanan tersebut. 

Di mana kenaifan keputusan MK itu? Pertama, alasan MK membubarkan RSBI dan SBI yang dibacakan oleh hakim Anwar Usman tentang biaya sekolah yang cenderung mahal. Harus diakui sebagian besar SBI/RSBI cenderung memungut biaya tambahan besar. Kira-kira, hanya Surabaya yang menggratiskan seluruh biaya RSBI/SBI. Saya setuju dan sependapat dengan MK agar pungutan mahal dihapuskan. Mestinya sekolah di RSBI/SBI harus gratis seperti di sekolah negeri standar lainnya. MK dan pemerintah harus memaksa pemerintah daerah dan pusat untuk membiayai SBI/RSBI seperti sekolah lainnya. 

Hanya, perlu dicatat, yang cenderung tidak bisa belajar di SBI/RSBI tidak hanya anak orang miskin, tetapi anak orang kaya (sebenarnya menengah atas dan atau menengah) pun tidak bisa. Anak orang kaya sekali biasanya sekolah di sekolah swasta yang mahal dan di luar negeri. Jika anak orang kaya nilai UN- nya jelek atau di bawah persyaratan RSBI/SBI maka otomatis dia tidak bisa masuk SBI/RSBI.

Anak yang sekolah di RSBI/SBI ditentukan oleh nilai UN dan tes masuk RSBI/SBI. Ini artinya siswa yang diterima di RSBI/SBI ditentukan oleh kemampuan akademiknya dan bukan semata-mata karena faktor kaya dan miskin. Kalau ternyata realitasnya berdampak banyak yang masuk adalah anak orang kaya maka anak orang miskin yang nilai UN-nya bagus dan hasil tes masuk RSBI/SBI bagus (harusnya) bisa dibiayai negara.

Kalau dasar masuk sekolah negeri, apa pun programnya, atas dasar kaya dan miskin maka MK yang diskriminatif. Saya khawatir cara berpikir MK ini akan mengarah bahwa anak orang kaya itu penyakit. Anak pintar itu penyakit. Mereka harus dilorot ke belakang untuk bersama-sama anak orang miskin, anak yang dianggap kurang cerdas, dan dianggap kurang mampu secara akademik. Padahal, realitasnya tidak seperti itu. 

Kedua, MK menilai, siswa RSBI/SBI yang banyak menggunakan bahasa Inggris itu berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia. Keunggulan peserta didik yang tolak ukurnya kemampuan berbahasa asing dinilai tidak tepat. Saya sangat setuju negara memperkuat siswa Indonesia berbahasa Indonesia.

Salah satu tujuan pembaharuan kurikulum nasional adalah memperkuat kemampuan dan kebanggaan bahasa dan budaya Indonesia. Seratus persen setuju untuk itu. Tetapi, kemampuan bahasa asing harus juga diperkuat. Jika anak-anak Indonesia menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing maka dia bisa mengikuti dan 
menentukan pergaulan dunia. 

Hakim MK harus tahu, secara kultural, anak Indonesia-selain bagian dari budaya Indonesia-juga bagian dari budaya dunia. Satu contoh, pada 1980-an, Mahatir Muhamad membuat kebijakan besar tentang etnis Melayu di Malaysia. Etnis Melayu sering kali kalah dengan etnis Cina dalam hal perdagangan, studi ke Inggris, Australia, Amerika Serikat, dan sebagainya. Hal itu disebabkan etnis Melayu ku rang menguasai bahasa Inggris. Karena itu, Mahatir memutuskan untuk memberlakukan bahasa Inggris (asing) menjadi bahasa kuliah dan sekolah. 

Saat ini, banyak siswa dan mahasiswa Malaysia etnis Melayu mahir berbahasa Inggris. Banyak orang Melayu yang studi ke Australia, Inggris, dan negara Eropa atau Amerika Serikat. Pertanyaannya adalah apakah mereka terkikis rasa kebangsaan dan kebanggaannya sebagai bangsa Malaysia? Hal itu dilakukan pula oleh Pemerintah Brunei Darussalam. Sampai hari ini ternyata bangsa Malaysia dan Brunei Darussalam tidak terkikis nasionalismenya. Bahkan, dunia pendidikan Malaysia dan Brunei Darussalam berkembang pesat sekali.

Amin Rais studi lama di Amerika Serikat, begitu balik ke Indonesia sangat kritis terhadap AS. Mohamad Hatta kuliah di Belanda, setelah pulang menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan. BJ Habibie perilakunya sangat Jerman Barat (Eropa atau Barat). Begitu pulang ke Indonesia, ia mati-matian membuat pesawat terbang untuk kebanggaan bangsa yang dirancang, dibuat, dan dibiayai oleh bangsa Indonesia. Celakanya karya besar pesawat terbang itu diporakporandakan oleh para politisi.

Ketiga, RSBI/SBI dianggap hakim MK seperti penyakit tumor: harus diamputasi! Sistem pendidikan yang bagus dan terukur itu dibubarkan dan sistemnya harus mengikuti sekolah negeri standar lainnya. Yang sudah jalan jauh tiba-tiba ditarik kembali ke belakang. Bukan yang belakang yang harus didorong ke depan dan yang di depan harus diperbaiki sehingga gerbongnya bisa diisi semua lapisan masyarakat yang berkualitas (bukan oleh ukuran kaya dan miskin). Bahkan, hakim MK Akil Muchtar dengan sombongnya menyatakan tidak ada masa transisi. Harus langsung dilaksanakan keputusan MK. Untung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan cepat "melobi" MK agar diberi masa transisi. 

Menurut saya, keputusan MK ini justru menimbulkan ketimpangan luar biasa bagi anak-anak bangsa di kemudian hari. Anak-anak orang kaya banyak sekolah di sekolah swasta mahal dan berkualitas. Bahkan, banyak yang disekolahkan ke Singapura, Australia, Merika, Inggris, Kanada, dan sebagainya. Mereka sudah berkiprah di dunia internasional: mulai bidang perdagangan, hukum, teknologi, pendidikan, dan perbankan. Sementara itu, anak-anak negeri yang banyak itu ditahan oleh para hakim MK agar tetap bersama-sama, guyup, dan riuh rendah di "belakang". Mereka dipaksa untuk menjaga "budaya nasional dan bangsa" yang dibayangkan sangat subjektif dan sempit oleh para hakim MK. 

Justru keputusan MK akan berdampak menimbulkan diskriminasi bangsa pada kemudian hari. Mereka mentang-mentang mempunyai kekuasaan besar, keputusannya final dan mengikat. Dalam pemikiran ini, keputusan MK tentang RSBI/SBI sangat naif dan mengerikan. 


1 komentar:

  1. Mengenai M. Amien Rais, saya berbeda pandangan. Awalnya saya mengira sama seperti itu, dia anti Amerika. Tapi setelah dia menjadi ketua MPR, lalu MPR di zaman dia ini melakukan perubahan mendasar pada pondasi negara ini, yang kemudian buntut-buntutnya dirasakan sampai sekarang dan sampai kapan pun negara ini ada. Buntutnya bukan serasa sop buntut, tapi negara ini menjadi seperti pepatah, "hidup segan mati tak mau"... Semua menjadi kuat, semua menjadi lemah... Sehingga bisa saling menjantuhkan, atau bisa sama-sama jatuh.... Tak ada lagi sosok atau lembaga yang bisa menjadi kunci penentu untuk mengatur. Tak ada lagi yang ditakuti, tak ada lagi yang disakralkan, tak ada lagi yang dihormati. Semua gara-gara M. Amien Rais....

    BalasHapus