Rabu, 30 Januari 2013

Maju-Mundur Kebijakan Rumah Subsidi


Maju-Mundur Kebijakan Rumah Subsidi
Hadziq Jauhary ;  Consumer Financing Analyst BTN Syariah, Semarang
JAWA POS, 30 Januari 2013



KEMENTERIAN Perumahan Rakyat memastikan jumlah serapan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau KPR bersubsidi pada 2012 berjumlah 73.923 unit atau setara Rp 3,03 triliun. Jumlah tersebut hanya 55,5 persen dari target 133.000 unit.

Jika dibandingkan pada 2011, realisasi itu lebih buruk karena yang terserap mencapai 109.592 unit senilai Rp 3,7 triliun. Padahal, menurut Riset Bank Indonesia, realisasi FLPP 2011 yang dimanfaatkan hanya 1,66 persen. Selebihnya, melalui skim KPR komersial. Meski begitu, Kemenpera yakin penyerapan KPR bersubsidi tahun ini mencapai 350.000 unit dengan perincian 348.500 untuk KPR sejahtera tapak dan 1.500 unit KPR sejahtera rusun.

Apakah target itu akan tercapai? Tak mudah menjawabnya, terlebih jika berkaca pada penyaluran FLPP dua tahun terakhir dan berubah-ubahnya kebijakan Kemenpera terkait FLPP. Namun, terus bertambahnya angka backlog                              (perbandingan kebutuhan dan pasokan perumahan rakyat), mengharuskan pemerintah mau tidak mau menggapai target tersebut.

Data BPS menunjukkan, pada 2012 angka backlog mencapai 13,6 juta unit rumah. Angka backlog diperkirakan bertambah 800 ribu unit per tahun dan terus bertambah jika pemerintah tidak segera menemukan solusinya. Semakin banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum difasilitasi tempat tinggal layak, akan membuat derajat hidupnya semakin rendah yang akhirnya berpeluang meningkatkan rasio penduduk terbelakang. Terlebih ditambah dengan faktor makin mahalnya bahan kebutuhan pokok dan barang komoditas primer lain.

Upaya serius harus dilakukan Kemenpera guna mengakselerasi realisasi FLPP pada tahun ini. Jangan sampai kebijakan bingung dan ragu-ragu 2012 kembali diulang Kemenpera yang mengakibatkan realisasi FLPP tertunda berbulan-bulan. Masa berlaku perjanjian kerja sama operasional (PKO) dengan bank-bank penyalur FLPP harus dikawal. Jika memang tahun ini habis masa berlakunya, harus segera dievaluasi. Apabila diputuskan kerja sama tersebut diperpanjang, perpanjangan PKO dilakukan sebelum lewat bulan terakhir berlakunya PKO tersebut. Tertundanya perpanjangan itu berakibat menurunkan realisasi FLPP.

Harus ada ketegasan kebijakan bahwa skim KPR dengan FLPP tak lagi berubah-ubah secara tiba-tiba di tengah jalan. Kemenpera harus membuat                    statement yang bisa menegaskan bahwa skema KPR FLPP untuk MBR tidak lagi berubah-ubah, maju-mundur, atau "on" dan "off" secara tiba-tiba di tengah jalan. Target membangun 350.000 rumah dengan skema FLPP tersebut sulit tercapai tanpa kontrol dan konsistensi pelaksanaan kebijakannya. Betapa tidak? Pengembang takut program ini tiba-tiba dihentikan lagi.

Singkatnya, kebijakan rumah bersubsidi ini mutlak soal trust. Jika pengembang sudah tidak memercayai Kemenpera, mereka tak sudi lagi mendukung kebijakan rumah bersubsidi. Wajar saja para pengembang lebih memilih membangun rumah komersial karena menjanjikan margin keuntungan lebih tinggi serta tidak menghambat arus kas. Jika pengembang ngambek, Kemenpera pasti kelabakan. Padahal, banyak masyarakat bawah yang menantikan rumah subsidi itu.

Pada akhir tahun lalu, beberapa pengembang sempat menanyakan kelanjutan program FLPP. Jawabnya, tak pasti ada lagi KPR FLPP seperti 2012. Ternyata benar, hingga saat ini pun pemerintah belum menegaskan bahwa kebijakan FLPP seperti tahun lalu akan terus dipertahankan hingga akhir tahun ini. Di antaranya, perihal batasan harga jual dan nilai KPR FLPP maksimal, kebijakan PPh 1 persen dan pembebasan PPN, dan kebijakan suku bunga tetap 7,25 persen annuitas per tahun bertenor 20 tahun.

Anjuran untuk Kemenpera 

Beberapa langkah taktis harus dilakukan Kemenpera. Pertama, menggencarkan sosialisasi kebijakan rumah bersubsidi kepada MBR melalui petugas-petugas di kelurahan/desa se-Indonesia maupun media massa elektronik dan cetak. Sosialisasi yang gencar jangan hanya dilakukan di akhir tahun, seperti yang kita lihat tahun lalu.

Kedua, berkoordinasi dengan badan/kantor pertahanan serta pelayanan perizinan terpadu di kota/kabupaten se-Indonesia agar semakin mempermudah perizinan untuk rumah program FLPP. Harapannya, semaksimal mungkin menekan biaya produksi rumah subsidi, terlebih di tengah harga tanah dan material yang cenderung terus merangkak naik. Kita juga berharap, rumah subsidi tak lagi bermutu rendah dan terletak di daerah pelosok yang jauh dari pusat kota.

Ketiga, mendorong Perum Perumnas lebih berperan dalam penyediaan rumah bersubsidi. Setahun belakangan, tampaknya, peran Perumnas semakin mengendur, digantikan para pengembang swasta. Padahal, seharusnya, Perumnas menjadi lokomotif dalam menyediakan rumah rakyat yang murah, terjangkau, dan layak.

Langkah selanjutnya, memangkas jumlah bank penyalur sehingga nanti Kemenpera lebih mudah mengawasi dan mengontrol kesungguhan bank demi mengakselerasi pencapaian KPR FLPP. Tahun lalu ada 21 bank penyalur, yakni enam bank nasional (BTN, BTN Syariah, Bukopin, Mandiri, BNI, BRI Syariah) dan 15 bank pembangunan daerah. Namun, pada praktiknya, penyaluran FLPP masih didominasi BTN (konvensional dan syariah) dengan kontribusi 91 persen dari total penyerapan atau setara Rp 2,76 triliun.

Apabila hanya ada satu atau dua bank yang mau concern menyalurkan KPR FLPP dengan bukti realisasi yang jauh lebih tinggi, kenapa Kemenpera tidak merampingkan jumlah bank penyalur? Dengan demikian, mereka tak lagi dibingungkan harus ke mana mendapat KPR bersubsidi. 

Ujung kepastian kebijakan ini adalah agar semakin banyak masyarakat bawah yang tak lagi tinggal di rumah tidak layak, kumuh, dan berisiko mengganggu kesehatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar