Sabtu, 26 Januari 2013

Masihkah Keragaman Jadi Habitus Bangsa?


Masihkah Keragaman Jadi Habitus Bangsa?
Benny Susetyo ;  Budayawan
SINAR HARAPAN, 26 Januari 2013



Setara Institute dalam laporan mengenai kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 mengemukakan, praktik intoleransi, diskriminatif, dan kekerasan masih terus terjadi. Bahkan, tahun ini terjadi peningkatan.

Dalam laporan per 15 Desember 2012 tersebut, Setara mencatat terdapat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan/berkeyakinan serta 371 tindakan pelanggaran dalam perspektif HAM yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir. Peningkatan jumlah peristiwa dan tindakan intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan terlihat meningkat dalam kurun waktu enam tahun terakhir.

Sekadar catatan, laporan pemantauan ini membagi empat kategori tindakan pelanggaran, subjek hukum dan pertanggungjawaban. Pertama, tindakan aktif negara (by commission). Kedua, tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Ketiga, tindakan kriminal warga negara. Keempat, tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat.


Data mencerminkan ada peningkatan gejala intoleransi di masyarakat karena hukum kurang optimal. Ada kesan pembiaran terhadap pelaku kekerasan. Ini mengkhawatirkan bagi keanekaragaman yang menjadi ciri khas bangsa ini. 
                         
Dibutuhkan sekarang kemauan pemerintah mengaktualisikan pilar  hidup berbangsa, yakni Pancasila, UUD 45, Bineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan. Paham memaksakan kehendak  dengan menggunakan kekerasan  jika dibiarkan terus–menerus dan berkembang tanpa ada upaya  untuk menegakkan hukum  bisa menciptakan  keretakan hidup berbangsa dan bernegara.

Pada akhirnya sebenarnya mengingkari empat pilar  hidup berbangsa dan bernegara bernegara. Karena itu dibutuhkan  kemauan dari pemerintah untuk menegakkan hukum dengan tidak pandang bulu serta tidak diskriminasii terhadap warga negara. 

Hal ini harusnya bisa diaktualisasikan dalam sejumlah tindakan. Problem  bangsa saat ini adalah  kehilangan  pemimpin yang memiliki kewibawaan dalam merawat pluralisme.

Karut-Marut

Aksi kekerasan terhadap rumah ibadah dan kekerasan kemanusiaan merupakan masalah yang serius. Kegagalan negara yang mempunyai kekuatan pemaksa (keamanan) dalam mengatasi atau mencegah kekerasan, seperti menandakan lemahnya fungsi negara. Ironi lemahnya fungsi harus segera dibenahi untuk meminimalkan “kebuntuan”.

Pembaruan makna atau penafsiran Pancasila harus dihidupkan. Dibutuhkan  sekarang politik dari penguasa  untuk membumikan multikultural menjadi sebuah kebijakan  hidup berbangsa dan bernegara dan mendorong  dialog antaragama dan komunikasi antariman.

Dengan demikian, ini akan menjadi sesuatu yang amat berharga dalam rangka menciptakan  saling  memahami dan  menghargai  perbedaan. Konsep penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama.

Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama.

Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.
Ini lebih  utama  daripada membuat Undang-Undang Kerukunan  tetapi melupakan hal dasar pendekatan  lebih humanis.

Orientasi ini harusnya diupayakan pemerintah  dalam  merawat  roh Bineka Tungal Ika  menjadi sebuah  gugus insting guna memengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi antarwarga negara.

Ke depan dibutuhkan political will pemimpin  negara untuk mengembalikan roh konstitusi bagi kehidupan  bangsa ini agar bangsa mampu hidup dalam suasana yang harmonis serta mengembalikan kembali kerukunan sejati di mana setiap anak bangsa merasakan Indonesia rumah bersama bagi semua orang yang tingal di negeri tercinta ini tanpa merasa didiskriminasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar