Minggu, 27 Januari 2013

Membaca DPR dari Media


Membaca DPR dari Media
M Ichlas El Qudsi Anggota DPR RI, Fraksi PAN
REPUBLIKA, 26 Januari 2013

  
Ilmu komunikasi memberi banyak kontribusi dalam memahami pola interaksi manusia, di antaranya dengan memperkenalkan teori-teori yang menggambarkan hubungan antara penguasa dan rakyat. Salah satunya adalah Hypodermic Needle Theory. Teori yang berkembang pada 1930-an ini menganggap bahwa media memiliki kecerdikan, kepintaran, kejelian, serta kemampuan untuk memengaruhi penerima pesan sehingga selalu menerima berita apa adanya.

Khalayak, oleh teori ini, dianggap hanya sekumpulan orang yang mudah terpengaruh dan selalu menerima apa pun yang dikabarkan media. Teori ini pada masanya berhasil membentuk opini, bahkan konon membuat Spanyol dan Amerika terlibat perang, padahal jika berita yang disampaikan tidak dilebih- lebihkan peperangan bisa dihindari. 

Kisah lain yang diangkat sebagai sebab musabab lahirnya teori ini adalah pemberitaan mengenai invasi makhluk asing ke bumi yang sempat menggemparkan Amerika. Meski tidak terbukti, namun pesannya memengaruhi khalayak dan membuat panik. Hypodermic Needle Theory juga dikenal dengan teori jarum suntik. Teori ini telah dikembangkan dalam banyak teori komunikasi lainnya.

Karena itu, sebagian ahli komunikasi tidak lagi menggunakan teori ini. Teori jarum suntik dapat dipahami dalam ilustrasi sederhana. Media berperan sebagai jarum dan khalayak sebagai pasien yang akan diobati dengan cara menyuntik. Perumpamaan ini menyerupai berita-berita tentang DPR yang cenderung melekatkan citra negatif. Jika anggota DPR tampil kritis disebut pencitraan dan bila lunak dijuluki penakut. 

Ada banyak contoh berita tentang DPR yang tidak berimbang meski (harus diakui) sebagiannya merepresentasikan kebenaran, tapi tidak sedikit juga ditulis tanpa bukti akurat bahkan cenderung mengada-ada. Misalnya, beberapa waktu lalu salah satu koran nasional menulis bahwa fasilitas gedung baru DPR ada tempat spa dan pijat. Berita ini menyebar ke mana-mana dan segera membentuk opini negatif. Padahal, tak satu pun fasilitas itu ada dalam rencana. Bahkan, dalam rapat- ra at internal pembangunan gedung, tak satu kata pun yang menyangkut spa dan pijat dibicarakan. 

Ada lagi berita yang tak kalah heboh, yaitu tentang 10 oknum anggota DPR yang "memeras" BUMN. Nama-namanya kemudian dirilis dan sontak membuat anggota DPR (yang disebutkan namanya) menjadi bulan-bulanan. Tanggapan di media muncul dengan caci maki dan hujatan. 

Dari sini muncul pertanyaan penting bagi media, mengapa sejumlah berita yang tidak jelas sumbernya tersebut bisa begitu mudah dikutip dan menjadi headline di banyak media, bahkan tidak sembarang media yang menulisnya. Padahal, kode etik jurnalistik telah menggariskan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. 

Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dan, dalam penyiaran gambar serta suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Sayangnya kode etik tidak muncul dalam sajian berita. Terkadang demi kepentingan media, berita tanpa akurasi itu tampil bebas tanpa sensor. Kritik terhadap media bukan berarti pembelaan diri atau upaya lari dari fakta bahwa terdapat perilaku buruk anggota DPR, bukan pula ajakan persekongkolan. Tapi, kritik justru dalam kerangka membangun sinergi agar ada keseimbangan. Media tidak boleh tutup mata terhadap keterlibatan oknum anggota DPR dalam tindak pidana korupsi, sejumlah skandal, dan perilaku menyimpang. Namun, bukan berarti menulis dalam bahasa generalisasi seolah-olah seluruh anggota terlibat.

Mestinya, kasusnya dilihat satu per satu, orang per orang, agar rakyat tahu mana yang bersih dan mana yang jahat. DPR saat ini seperti akuarium, dapat dilihat dari sudut mana saja. Ini membuktikan bahwa DPR adalah institusi negara yang terbuka untuk di- akses dan dipublikasi. Kondisi ini juga menyadarkan anggota DPR bahwa sorot media selalu mengarah padanya.

Namun, anggota DPR juga manusia, kelemahan dan kealpaan pasti ada. Berita tentang anggota tertidur saat sidang atau merespons telepon (sms) saat rapat adalah sejumlah sisi buruk yang perlu dihindari meski itu manusiawi. Sekali lagi bahwa perilaku politisi adalah sesuatu yang perlu ditampilkan media, tapi tetap dengan prinsip keseim- bangan. Politisi berperilaku buruk harus dicatat sebagai perilaku perseorangan yang memanfaatkan jabatan sebab belum tentu orang lain dengan jabatan yang sama akan berbuat hal serupa. Begitu pula dengan prestasi seorang politisi, hendaknya juga ditulis dan disajikan terang benderang agar masyarakat tahu apa saja yang telah dilakukan selama menjabat. Saatnya media dan DPR bekerja sama mempromosikan berita keberhasilan dan mengungkap penyimpangannya secara terbuka dan adil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar